Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku telah sampai di kantor dengan selamat. Tidak ada yang berubah dari tempat yang hampir setiap hari aku datangi ini--kecuali hari minggu dan tanggal merah tentunya. Resepsionis yang selalu siap dengan senyuman manis meski dibuat-buat, rekan kerja yang sibuk dengan pekerjaan mereka, semua sama. Hanya pagi ini ada sesuatu yang aneh berdiri di dekat lift, seorang perempuan berbaju putih dengan rambut panjang. Dia tidak masuk ke dalam lift untuk sampai pada lantai selanjutnya, melainkan hanya berdiam diri dan menatap orang-orang yang sedang terburu waktu.

"Mbak, mau ke lantai berapa?" tanyaku ramah tapi dia tetap diam dan hany melihatku tajam.

"Atau mungkin Mbak ingin bertemu dengan seseorang?" tanyaku lagi dan tetap tanpa jawaban. Karena tidak ada respon, akhirnya aku memilih untuk segera naik ke lantai tujuh di mana kantorku berada. Sepanjang di dalam lift, orang-orang melihatku sambil sesekali mereka berbisik dengan rekan di sampingnya. Entah naluri atau apa, hanya aku merasa mereka sedang membicarakanku jika dilihat dari tatapan mereka. Aku melihat penampilanku hari ini--khawatir ada yang tidak sesuau--tapi semuanya baik-baik saja, tidak ada yang aneh.

Kenapa mereka menatapku seperti itu? Penampilanku baik, tidak ada yang miss.

***

"Mbak Vira, dipanggil sama Pak Akandra ke ruangannya!" kata sekertaris kakakku tersayang. Di sini aku memang putri pemilik perusahaan, tapi bukan berarti jabatanku tiba-tiba menjadi seorang manajer, aku sama dengan karyawan yang baru memiliki pengalaman kerja dua tahun, meniti dari bawah hanya sebagai staff.

"Bilang lima menit lagi aku ke sana, laporannya belum selesai," kataku yang memang hari ini aku harus menyerahkan laporan penjualan kepada sang manajer pemasaran, Akandra Pramudiya.

Lima menit sudah berlalu dan kini aku sudah berdiri di hadapan seorang pria berbadan tinggi dengan hidung mancung. Dia menatapku secara seksama dari atas hingga bawah--sungguh ini sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh seorang Akandra.

"Ada yang aneh sama saya, Pak?" tanyaku berusaha senormal mungkin. Come on jangan pada aneh begini karena aku memanggilnya begitu formal, semua karena profesionalisme pekerjaan.

"Aku sekarang lagi bicara sebagai abangmu, Vira!" kata Bang Akandra dan aku hanya bisa menelan ludah dengan susah payah serta jantung yang tiba-tiba berdegup begitu kencang. Aku tahu betul jika Bang Akandra sudah tak melihat tempat, artinya ada sesuatu yang sangat penting dan harus dibicarakan secepatnya.

"Vira lakuin kesalahan apa, Bang?"

Tidak ada jawaban dari abang yang satu ini, dia hanya menarik napas dalam lalu berdiri mengitari mejanya hingga duduk di kursi yang tepat ada di sampingku dan membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Dia menatap kedua netraku lekat seolah mencari sesuatu di dalam sana.

"What?" tanyaku kepadanya bingung.

"Ehm ...." Bang Akandra sedikit berdehem sebelum menjawab pertanyaanku. "Sejak Abang sampai di kantor, Abang mendengar para karyawan menggosipkanmu, Vira."

"Menggosipkanku? Soal apa? Soal Vira yang masih saja jomblo padahal Vira ini cantik tiada tara gitu?" tanyaku dengan sikap pecicilan yang tak pernah bisa hilang ketika berhadapan dengan kakakku yang satu ini.

"Bukan itu, dengarkan Abang dulu, Vir!" kata Akandra dan aku langsung menyatukan kedua bibirku untuk memberi tanda jika aku akan benar-benar diam. "Abang sebenarnya ga tega ngomong ini sama kamu, Vir, tapi gimana lagi daripada penasaran sampai rumah."

"Apa?"

"Tadi, para karyawan bergosip jika kamu sepertinya kurang waras."

"What? Aku kurang waras? Maksudnya gimana, Bang?" tanyaku kaget dengan apa yang baru saja abang tersayangku katakan.

"Tenang dulu, Vir!" kata Akandra menenangkanku. "Jadi, para karyawan melihatmu bicara dengan tong sampah yang ada di dekat lify tadi pagi."

"Bicara sama tong sampah?!" kataku sambil membulatkan mata tidak percaya dan hanya dibalas anggukan oleh pria yang ada di hadapanku. "Tadi pagi Vira ga bicara sama tong sampah, Bang, Vira nanya sama gadis yang sejak Vira masuk kantor berdiri di dekat lift dengan wajah kebingungan. Jadi Vira tanya mau ke lantai berapa, mau ketemu siapa?"

"Tapi di sana hanya ada tong sampah, Vira!"

"Tadi beneran ada seorang perempuan, Bang. Coba deh tanya sama sekertaris Abang, tadi dia ada di sana kok."

Akandra berdiri dari duduknya dan langsung mengambil telpon yang ada di meja. Dia terlihat menghubungi seseorang dan dapat kupastikan jika lwan bicaranya adalah sekertaris yang ada di depan ruangannya itu. Setelah beberapa saat, akhirnya dia menutup telpon dan kembali duduk di tempat semula.

"Benarkan ada perempuan di dekat lift tadi?" tanyaku dan dibalas dengan sebuah gelengan. "Tidak mungkin tidak ada, Bang, jelas-jelas Vira melihat perempuan itu di sana!"

"Tapi kenyataannya memang tidak ada siapa-siapa di sana selain tong sampah, Vir," jawab Akandra mantap dan hal itu sudah jelas membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin perempuan yang tadi kulihat tidak ada di mata orang lain sedang di mataku perempuan itu benar-benar nyata?

"Ta ... tapi ... Vira benar-benar melihat perempuan itu di sana, Bang!" kataku dengan suara agak tinggi.

"Perempuan apa?" tanya suara seorang pria dari arah pintu dan aku langsung melihatnya di mana pria terkasihku sedang berjalan ke arahku dan Akandra, dia adalah Hutoma Pramudiya--ayahku dan Akandra.

"Ini, Yah, Vira keukeuh bilang kalo dia melihat seorang perempuan di dekat lift dan berbicara padanya. Sedang karyawan yang lain bilang tidak ada perempuan di sana, yang ada hanya tong sampah," jawab Akandra yang sepertinya saat ini benar-benar tidak ingin menggunakan keprofeseionalismeannya.

"Ayah juga mau membicarakan hal itu, beberapa karyawan juga menggosipkan soal hal itu," kata ayah yang kemudian duduk di sofa yang ada di ruangan Akandra.

"Tuh 'kan, Abang bilang apa, Vir? Di sana itu hanya ada tong sampah, bukan perempuan yang kamu maksud! Logika saja ya, Vir, jika di sana ada perempuan, mana mungkin para karyawan menggosipkanmu sampai seperti itu?" terang Akandra.

"Tapi, Bang, Vira benar-benar melihat seorang perempuan di sana," kataku keukeuh.

"Stop! Kalian tidak usah bertengkar lagi! Tadi Ayah sudah mengecek rekaman CCTV dan yang kamu ajak bicara itu memang tong sampah, Vir!" kata ayah dengan begitu meyakinkan dan hal itu membuatku kaget.

"Tapi, Yah ...," kataku yang masih ingin membantah perkataan ayah.

"Mungkin saran mommy-mu ada baiknya juga, Vir," kata ayah memotong perkataanku, "sebaiknya kamu mengambil cuti dan liburanlah sejenak untuk me-refresh otakmu. Soal pekerjaanmu, biar nanti dikerjakan oleh karyawan lain!"

"Tapi, Yah ...."

"Tidak ada tapi-tapian, Vir, ini keputusan Ayah dan kamu harus mentaati!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro