Mendadak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagai mana?" tanya Lusi. Dia langsung berdiri menghampiri sang putri begitu pintu terbuka. Wajahnya terlihat cemas, mungkin firasat ibu sangatlah kuat, mungkin saja Lusi juga merasakan kekhawatiran yang sama seperti Andrea.

Andrea tersenyum lembut, ia meraih tangan sang ibu dan mengusapnya lembut. "Semua berjalan dengan lancar, Ma. Jangan khawatir."

Bahu Lusi yang semula tegap perlahan turun disertai helaan nafas. Air wajahnya yang khawatir berangsur memudar tergantikan dengan wajah bahagia. "Mereka setuju jika Dokter Rey melamarmu, Sayang?"

Andrea menganggukkan kepala cepat. "Setuju, Ma. Orang tua Kak Rey akan datang kemari besok."

"Benarkah itu, Sayang? Mama bahagia sekali." Lusi meraih tubuh Andrea dan memeluknya sesaat, mengantarnya masuk ke dalam kamar karena sudah larut malam.

Malam itu Andrea tertidur lebih tenang dari hari-hari sebelumnya, ia merasa beban yang selama ini memberatkan pundaknya berangsur 

Andrea mengulurkan tangannya meraih ponsel saat sebuah dering ponsel memekakan indera pendengarannya. Tanpa melihat siapa penelponnya ia menggeser tombol gulir hijau dan menempelkan benda pipih kesayangan sejuta umat itu pada daun telinganya. Suara lembut dan manis milik Rey menyapanya dari seberang sana.

"Ya?"

"Kamu baru bangun tidur rupanya. Maaf aku mengganggumu, tapi Papa dan Mama memintaku untuk mengabarimu jika mereka akan datang ke rumahmu pagi ini. Tepatnya beberapa jam dari sekarang, Mama sangat antusias ingin segera meresmikan hubungan kita dan membawa pulang kamu."

"Hah? Pagi ini? Apakah tidak lebih baik siang atau sore saja? Kamu baru saja dinas malam dan pulang, apakah tidak sebaiknya kamu istirahat dulu?"

"Aku akan beristirahat setelahnya, An. Tenang saja."

"Hem, baiklah. Aku akan bilang sama Mama dan Papa dulu."

Begitu sambungan telepon dimatikan Andrea segera bergegas keluar dari kamar dan mencari keberadaan sang ibu yang tentunya masih di dalam kamar bersama ayahnya karena saat itu masih pukul enam pagi.

"Ma, ini Andrea. Tolong keluar sebentar."

Lusi mendengar suara Andrea dengan jelas, sebenarnya ia sudah terbangun sejak beberapa menit lalu, hanya saja ia masih bergelung di bawah selimut tebal karena hawa dingin di daerah sana membuatnya malas untuk bangkit.

"Ya, Sayang." Lusi meraih sebuah syal dan segera mengenakannya.

Tangan Lusi meraih handle pintu yang terasa dingin seperti es, ia membuka kuncinya lalu menarik pintu itu agar terbuka. "Ada apa, An? Kenapa pagi-pagi sekali sudah bangun?"

Andrea kemudian mengatakan Rey baru saja menelpon dan memberitahu jika kedua orang tuanya akan datang pagi ini beberapa jam dari sekarang. Mata Lusi langsung melebar, seketika ia merasa panik karena belum melakukan persiapan untuk menjamu calon besannya.

"An, panggil Bibi Narni, Pak Imam dan Mark. Kita harus segera siap-siap. Mama ganti baju dulu." Lusi kembali masuk ke dalam kamar, sedangkan Andrea berjalan menuju dapur.

Seperti perintah sang ibu, Andrea memanggil ketiganya yang saat itu sudah bangun. Bi Narni dan Syifa sedang memasak, sedangkan Pak Imam dan Marka sedang duduk di bangku kayu yang terletak di dapur dengan kopi yang masih mengepulkan asap dan sepiring singkong goreng.

"Ada apa, Non? Kenapa kemari?" tanya Pak Imam yang reflek berdiri.

"Mama suruh Bibi, Pak Imam dan Mark ke ruang tamu sekarang." 

Begitu ketiganya menuju ke arah ruang tamu, Andrea berjalan menghampiri Syifa yang saat itu terlihat kewalahan. "Aku bantuin, Fa."

"Jangan, Non. Biar saya saja."

"Gak apa, cuma memotong sayur saja kan? Aku bisa kok, tenang saja. Kamu bisa lanjutin menggoreng ayamnya."

Di ruang tamu, Lusi memberikan kabar tentang rencana kedatangan orang tua Rey hari ini. Dia kemudian membagi-bagi tugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

***

Di tempat lain, Arum dan Hilman sudah siap sejak beberapa menit lalu. Saat ini dia menunggu putranya yang sedang bersiap.

"Rey, jangan lama-lama keburu siang. Kita masih banyak agenda lagi setelah ini yang harus dipersiapkan!" seru Hilman tidak sabaran.

Rey segera membuka pintu kamarnya dan berjalan turun ke lantai bawah, dia terlihat sangat tampan pagi ini mengenakan kemeja batik bercorak sama dengan milik kedua orang tuanya. "Ayo, Ma, Pa."

Mereka memasukan beberapa buah tangan yang telah mereka siapkan ke dalam mobil. Tidak banyak, tetapi cukup pantas untuk dibawa sebagai buah tangan. Sepanjang perjalanan Arum dan Hilman berdecak kagum, ia tak menyangka pemandangan di sekitar sana sangat indah di pagi itu. Hawanya sejuk, asri, berbeda dengan area tempat tinggal mereka yang terletak di perkotaan.

"Rumahnya masih jauh, Nak?" tanya Hilman. Nada bicaranya sudah terdengar halus dan tak mengandung tekanan di dalamnya. Itu pertanda tak ada lagi kemarahan di dalam hatinya.

Rey menganggukkan kepalanya, rumah yang ditinggali Andrea memang cukup jauh dan pelosok. Dia juga tidak tahu mengapa kedua orang tua Andrea memilihkan tempat tinggal anak mereka di daerah pelosok seperti ini. Bahkan jika mau, mereka bisa mengirim Andrea ke tempat yang lebih bagus dan nyaman.

Setelah lama dalam perjalanan, mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Mereka turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah yang sedikit terbuka itu. 

Tak berapa lama seorang pria dengan tubuh tinggi besar keluar untuk menyambutnya, dia adalah ayah Andrea. "Rey, ayo silahkan masuk."

Rey memberi kode kepada kedua orang tuanya yang berdiri agak jauh di belakangnya. "Ma, Pa, ayo sini."

Begitu Hilman mendekat, dia sedikit mengerutkan dahi dan mengacungkan telunjuknya.

"Tuan William?"

"Hilman?" ucap keduanya bersamaan.

Keduanya tampak terkejut ketika mereka bertemu. Patrick William seorang pengusaha yang juga menjabat sebagai seorang walikota saat ini. Tentu saja Hilman mengenalnya dengan baik, ia bahkan pernah menjadi mitra bisnisnya dalam beberapa periode di masa lalu. Hanya saja dia tidak menyangka, orang yang diceritakan istrinya tempo hari adalah mantan rekan kerjanya.

"Lama sudah tak bertemu, bagaimana kabarmu, Man?" Ayah Andrea mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

"Baik, Tuan. Saya tidak menyangka Andrea putri adalah putri Tuan William." Meski dia tahu jika Patrick William memiliki seorang putri dan pernah bertemu, tetapi itu dulu, ketika dia masih kecil.

Ayah Andrea terkekeh, ia menggiring Hilman dan istrinya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. "Apa dia tidak pernah mengatakannya?"

Hilman menggelengkan kepala, "Dia hanya berkata, jika dia putri dari Patrick. Aku tak menyangka jika itu anda, Tuan." Ya, Hilman hanya mengenal nama belakang yang biasa orang sebutkan untuk memanggil calon besannya itu.

Pertemuan sederhana serta mendadak antara dua keluarga itu berlangsung lancar. Mereka semua telah sepakat jika pernikahan akan diadakan dua hari setelahnya di gereja terdekat. Demi keamanan dan kenyamanan bersama, mereka akan mengadakan pernikahan secara tertutup dan sederhana tanpa awak media. Itu adalah salah satu syarat yang Andrea ajukan kepada orang tuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro