Pecundang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Baiklah, aku-" Syana menggelengkan kepala memberi isyarat kepada Andrea untuk tidak memberi tahu Anthony dulu sebelum bertemu yang dibalas anggukan kepala oleh Andrea.

"Aku apa An?" desak Anthony.

Andrea menghela nafas dalam. "Aku tidak bisa mengatakan ini lewat telepon, Sayang. Sebaiknya kamu segera kesini dan temui aku ya?" ucap Andrea kemudian.

"Oke baiklah, aku akan kesana. Tunggu aku ya," pinta Anthony.

"Hemm, hati-hati di jalan."

"Iya, Sayang."

Bip bip bip

Bunyi sambungan telepon terputus. Andrea kembali meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian berjalan menghampiri Syana yang duduk lesehan di lantai.

"Dia akan ke sini, Na."

"Syukurlah, paling tidak dia harus tahu semuanya, An," ucap Syana.

Andrea mengangguk. Binar bahagia terlihat dari wajah Andrea saat itu. Hatinya sedikit lega, paling tidak ada Anthony yang akan bertanggung jawab pikirnya.

Di tempat lain, seorang remaja laki-laki dengan tergesa keluar dari sebuah gedung perusahaan ternama di ibu kota. Ia berjalan setengah berlari menuju lobby kantor.

"Anthony," panggil Marcel.

"Papa," sapa Anthony berhenti sejenak.

"Kamu mau kemana? Kok buru-buru banget?" tanya pria paruh baya itu.

"Anthony mau ketemu temen dulu, Pa. Ada sesuatu yang penting. Anthony pergi dulu ya, Pa." Anthony kembali melangkahkan kaki.

Anthony dengan cepat masuk ke dalam mobil sport berwarna merah miliknya lalu melajukannya dengan kecepatan diatas rata-rata menuju jalanan puncak.

Sementara itu Andrea dengan pakaian yang masih ia kenakan tadi dan wajah pucatnya berjalan menuju cafe yang terletak di depan villa milik keluarga Syana.

Andrea memilih duduk di dekat kaca yang menghadap ke arah jalanan. Tak lama kemudian ia melihat mobil yang ia ketahui milik Anthony berhenti di pelataran cafe. Ia tersenyum melihat sosok yang ia tunggu-tunggu berjalan dengan gagah menghampirinya.

"Sayang," sapa Anthony sembari mengecup pipi Andrea.

Andrea hanya tersenyum menanggapinya. "Sudah lama menunggu?" tanya Anthony kemudian.

"Baru saja kok, mau pesan apa?" tanya Andrea sembari menyodorkan sebuah buku menu.

Anthony menggeleng lantas meraih kedua pipi Andrea. Mengamati wajah sang kekasih lekat. "Kamu sakit, Sayang?" tanya Anthony memastikan.

Andrea menggeleng lemah sembari tersenyum tipis. "Enggak kok, aku baik-baik saja."

"Tapi kamu terlihat pucat, An."

"Itu karena aku tidak menggunakan make up," kelit Andrea.

Anthony mengangguk anggukkan kepala mengerti. "Kamu bicarain apa? Kamu kangen ya sama aku?" goda Anthony.

Andrea meraih sebelah tangan Anthony lalu ia tempelkan di atas perutnya yang rata.

"Hei, jangan di sini, Sayang. Aku tahu kamu kangen banget sama aku tapi jangan di sini ya? Banyak yang lihat," ucap Anthony salah presepsi.

"Bukan aku yang rindu kamu Thon, tapi dia," ucap Andrea sembari melirik ke arah perutnya yang datar.

Anthony dengan reflek langsung menarik tangannya. "Apa maksud kamu, An?" tanya Anthony yang masih tak mengerti.

"Aku hamil anak kamu, Thon," ucap Andrea lirih.

"APA? Bagaimana bisa? Kita bahkan hanya melakukannya sekali An, kamu yakin?" tanya Anthony yang masih tak percaya.

Andrea menatap Anthony tajam. "Apa maksudmu?"

Anthony sedikit mendekat Andrea. Dengan suara pelan ia bertanya kepada Andrea. "Kamu yakin dia anakku?" tanya Anthony yang membuat Andrea kecewa.

"Jadi kamu meragukan aku? Bahkan kamu tahu aku pertama kali melakukannya denganmu!" ucap Andrea dengan suara meninggi.

"Oke, baik itu anak aku." Anthony pasrah.

"Jelas anak kamu, anak siapa lagi," ketus Andrea.

"Lalu bagaimana rencana kamu, Thon?" tanya Andrea.

"Kapan kamu akan menemui orang tuaku?" lanjut Andrea.

Anthony terdiam sejenak. Ia mulai berpikir. "Aku gak bisa An."

"Tidak bisa apa?" tanya Andrea tak mengerti.

"Aku gak bisa lanjutin hubungan kita ini."

Bagai disambar petir, hati Andrea saat ini benar-benar hancur. Harapan satu-satunya pun telah hilang. Air matanya turun begitu saja tanpa ia sadari.

"Kamu jahat, Thon. Kamu jahat!" ucap Andrea memukul mukul Anthony.

Anthony membawa Andrea pergi dari cafe itu, dan membawanya masuk ke dalam mobil karena tak ingin mereka menjadi pusat perhatian orang karena melihat Andrea yang menangis dan memaki Anthony.

"Tenanglah, An. Jangan kekanakan. Aku akan bertanggung jawab kok," ucap Anthony enteng.

"Gimana aku bisa tenang, ini masalah besar, Thon!"

"Sudah deh, tenang aja. Aku akan tanggung jawab. Berhenti nangisnya! Kamu bikin kepala aku tambah pusing."

"Ya sudah ayo, temui orang tuaku sekarang!"

"Untuk apa?"

"Kamu mau tanggung jawabkan?"

"Tidak! Aku akan bertanggung jawab membiayai semua biaya kamu selama di klinik," ucap Anthony yang membuat Andrea menyipitkan matanya.

"Maksudmu?" tanya Andrea.

"Kita gugurkan bayi itu!" pungkas Anthony.

Plak!

Sebuah tamparan melayang tepat di pipi Anthony. "Kamu benar-benar gila, Thon."

"Aku tidak punya pilihan lain An, aku memang sayang sama kamu tapi aku tidak bisa jika aku harus menikahimu saat ini. Aku harus mengejar impianku. Aku ini calon pewaris perusahaan keluargaku. Apa kata orang jika aku sampai menikah muda."

"Jadi itu alasanmu? Baik. Hubungan kita cukup sampai disini saja. Aku akan tetap mempertahankan anak ini. Aku yakin aku bisa."

"Terserah jika itu keinginanmu. Jangan bawa-bawa namaku. Dan jangan beritahu dia tentang siapa aku. Anggap saja tidak pernah ada dia diantara kita."

"Baik akan ku kabulkan permintaanmu. Aku akan menanggung semuanya. Dan kamu! Jangan pernah menyesal atas keputusanmu ini." Andrea turun dari mobil lalu berlari menuju ke villa dengan air mata yang berjatuhan sepanjang perjalanannya.

Dari saat itu Andrea bertekat melupakan Anthony dan membesarkan buah hatinya sendiri.

Syana terkejut melihat Andrea masuk ke dalam kamar sembari menangis sesenggukan. Ia pun bertanya kepada Andrea apa yang sebenarnya terjadi.

"An, kamu kenapa?" tanya Syana penasaran.

Andrea menghapus air matanya lalu menatap Syana dengan mata berkaca-kaca.

"Aku hancur, Na. Hatiku remuk."

"Maksud kamu apa, An? Jangan bilang kalau...." ucap Syana menggantung karena tak tega melontarkan pertanyaan itu kepada Andrea.

Andrea mengangguk. "Iya, itu benar, Na. Pecundang itu tak mau bertanggung jawab. Ia memintaku menggugurkan anak ini," jelas Andrea.

"Jangan An, itu bahaya. Apapun yang terjadi tolong jangan gugurkan bayi itu," ucap Syana menasehati Andrea.

"Aku tak mungkin sekejam itu, Na. Dia darah dagingku. Aku sudah membuat kesalahan besar dan aku tak mungkin mengulanginya. Aku akan terima apapun konsekuensinya nanti."

"Aku akan selalu ada untukmu, An."

"Terima kasih, Na."

Andrea memeluk Syana dengan erat. Ia lantas mengajak Syana untuk pulang.

"Kamu yakin mau pulang An?" tanya Syana yang khawatir.

Andrea mengangguk. "Aku harus pulang, aku harus bicarain semua ini sama orang tuaku. Aku enggak bisa sembunyiin ini dari mereka."

"Kamu benar, An. Apapun respon dari mereka aku harap kamu sabar. Hubungi aku jika kamu membutuhkan bantuanku," ucap Syana sebelum ia turun dari mobil Andrea.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro