13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Menyerahlah, Diego!" Davin mengacungkan pedang besarnya tepat di hadapan Diego.

Diego berdecih pelan. "Kau tahu persis apa jawabanku, Davin." Pria berkulit coklat dengan luka memanjang di mata sepanjang wajah bagian kirinya tersenyum miris.

"Mati di medan perang saat sedang berjuang merupakan kematian yang terhormat. Menyerah hanya untuk pengecut," bisik Davin dan Diego bersamaan. Walau keduanya saling menatap dengan tajam, terlihat setitik kesenduan di ujung sana.

Suara pedang yang saling beradu memenuhi udara. Teriakan demi teriakan untuk membangkitkan semangat-atau mungkin lebih tepatnya amarah-membubung di langit. Pertarungan berlangsung dengan sengit. Aroma anyir yang tercium di sana semakin kental. Tanah yang semula coklat mulai berubah warna menjadi merah.

"Berhenti!" Semua pergerakan dari para prajurit terhenti akibat perintah yang diteriakkan oleh Nathan. Pria berjubah hitam panjang itu menunjuk ke tubuh Diego yang tergeletak tak berdaya. Di bawah tubuh itu terdapat kubangan berwarna merah.

Prajurit musuh memandang tubuh komandannya dengan wajah memucat. Pemimpin mereka sudah tak ada lagi. Beberapa dari mereka yang takut akan kematian pun berlari menjauh. Namun, beberapa yang setia dan menganggap gugur di medan perang merupakan sebuah kegirangan tetap berada di tempat, terus melawan.

"Berhenti! Jangan bunuh dia!" Nathan menahan prajuritnya untuk membunuh satu-satunya prajurit musuh yang tersisa. Ia melemparkan sesuatu pada prajurit tersebut yang langsung menangkap benda tersebut.

"Uwah!" Prajurit itu langsung melempar kepala Diego lantaran kaget.

"Bawa kepala itu kembali ke markas kalian. Sampaikan pada pemimpin kalian jika tak ingin berakhir seperti itu, berhenti saja," ujar Nathan tegas.

Prajurit tersebut mengangguk patuh. Diambilnya lagi kepala sang komandan dengan penuh hormat, lalu kembali ke markas besarnya sesuai perintah Nathan.

"Bawa tubuh Diego! Siapkan upacara kematian untuknya. Bawa juga prajurit kita yang gugur untuk mempersiapkan upacara kematian mereka," titah Nathan sebelum meninggalkan medan perang.

*****

"Las? Bangun, Nak!"

Laszlo langsung melompat turun dari tempat tidurnya begitu mendengar suara Marie. Akan tetapi, saat hendak berjalan menuju pintu, ia tersandung sesuatu yang besar hingga membuatnya terjatuh dengan bunyi 'brak' yang sangat kencang.

Sebuah ringisan tertangkap oleh indra pendengaran Laszlo. Syaraf pemuda itu langsung menegang. Belum pernah ada yang masuk ke kamarnya pagi-pagi begini. Ia langsung menoleh pada benda yang membuatnya tersandung.

"Tak bisakah kau lebih santai sedikit, Las? Apa kau tak tahu rasanya sakit sekali dilompati seperti itu olehmu?" sindir Kaizen sembari mengucek-ngucek matanya.

"Ah! Ternyata kau," desah Laszlo lega. Ia terdiam sejenak memikirkan bagaimana caranya temannya yang cerewet itu bisa masuk ke dalam kamarnya. "Tapi bagaimana caramu masuk?" gumamnya tanpa sadar.

Kaizen mendengkus sebal. "Aku masuk lewat jendela tadi subuh," sarkasnya sebal. "Bukannya kau yang mempersilakan aku masuk melalui pintu depan rumahmu, lalu kau juga yang mempersilakan aku masuk ke dalam kamarmu tadi malam? Jangan bilang kau lupa?!" sergah pemuda itu sebal. Nyawanya sudah terkumpul semua akibat pertanyaan Laszlo.

"Las? Apa itu? Kau di dalam sama siapa? Suara keras apa itu tadi?" tanya Marie sarat akan kekhawatiran.

Laszlo langsung menoleh ke arah pintu, mengabaikan Kaizen sepenuhnya. "Tidak ada apa-apa, Bu. Di sini ada Kaizen saja, kok. Bukan masalah besar," jelas Laszlo sambil bangkit dari posisi telungkup.

Marie mengangguk paham. "Ya, sudah. Cepatlah bersiap. Aku akan memasakkan sarapan untuk kalian," titahnya. Selang beberapa detik, terdengar suara langkah ringan yang semakin lama semakin kecil seiring semakin jauhnya Marie dari pintu.

Laszlo langsung menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, remaja pria itu keluar dengan rambut basah dan celana pendek serta kaus oblong berwarna putih polos.

Ia langsung bergerak menuju lemari, menyambar sebuah handuk putih dan langsung melemparkannya tepat di wajah Kaizen. "Mandilah," perintahnya tegas. Kaizen hanya bisa mendengkus sembari menyeret langkahnya menuju kamar mandi.

Laszlo kembali berkutat dengan isi lemari. Ditariknya sebuah kaus oblong berwarna pink dengan gambar kelinci imut berwarna ungu-hadiah dari Kaizen dua tahun yang lalu-dan menaruhnya di atas kasur. Ia mengetuk pintu kamar mandi pelan. "Bajumu sudah kusiapkan di atas kasur. Pakai saja yang itu, jangan mengacak-ngacak lemariku lagi," ujarnya begitu mendengar Kaizen bertanya 'apa'.

Kaizen menatap pintu lemarinya sejenak, menimbang-nimbang haruskah ia mengunci lemari. Beberapa menit berlalu, ia pun memutar kunci lemari dan mencabut serta mengantongi kunci tersebut. Kemudian, turun ke bawah dan duduk tenang di atas meja makan karena sarapan mereka semua sudah siap.

"Laszlo! Sialan, kau!" teriakan kesal Kaizen membuat kedua sudut bibirnya tertarik melebar. Mimiknya terlihat sangat puas karena berhasil membuat Kaizen masuk ke dalam jebakannya sendiri.

-------------------
715.30102021
Yeah! Sabtu ini aku gak lupa.
Semoga seterusnya juga gak lupa lagi..
Wkwkwkks

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro