20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa?!" Michio menggebrak meja begitu salah satu prajurit pengintai yang dikirimnya kembali ke markas rahasianya. Kegelisahan begitu kental tercetak di wajahnya. "Ini ... kita sudah berakhir," gumamnya gelisah. Ia berjalan mondar-mandir sembari memilin kedua tangannya.

Pasoon berdeham keras menarik perhatian Michio. "Tenanglah," ujarnya dingin. Kedua matanya menerawang, menatap lurus ke depan. Tangannya terkepal kuat hingga buku jarinya memutih. Giginya saling bergemeletak.

Michio tak bisa menahan tawa sinis meluncur dari bibirnya. Napasnya mengembus keras. "Tenang?!" salaknya gusar. Michio tersenyum miring. "Setelah kau mengumpankan pertahanan terbaik kita dan prajurit terbaik kita, kau masih bisa menyuruhku tenang?!" geramnya marah.

Pasoon bangkit dan mencengkram baju Michio kesal. "Diamlah! Berikan aku waktu untuk berpikir," titahnya sebal. Matanya menatap tajam Michio yang menepis tangannya kasar. "Lagi pula, siapa yang kau bilang mengumpankan siapa?" dengusnya.

Wajah Michio memerah. Ia berbalik menarik kerah Pasoon kasar. "Apa maksudmu?" semburnya tak terima.

Tawa mencemooh meluncur dari bibir tipis Pasoon. Matanya menatap nyalang pada Michio yang menatapnya garang; menentang. "Apa kau pikir aku tak tahu?" ejeknya membuat wajah Michio semakin memerah. "Kau kan yang menyarankan agar kita kabur dan meninggalkan Torin sendiri untuk melawan pasukan klan Vutoo yang menyerang?"

Michio melepas cengkramannya dan terbahak kuat. "Apa? Aku menyarankan untuk kabur?"-Michio tertawa keras sampai memegang perutnya yang mulai kram. Disusutnya air mata yang menetes di sudut mata akibat terlalu banyak tertawa. "Bukannya kau yang lebih dulu kabur, bahkan semua tenda milikmu di markas sana sudah kau bongkar sebelum penyerangan itu datang, 'kan?" Kini giliran tawa mencemooh meluncur dari bibir Michio.

Wajah Pasoon merah padam. Tak ia sangka Michio sempat memperhatikan tempatnya mendirikan tenda saat terburu-buru kabur dari serangan musuh. "Kau juga sama saja," ucapnya tak mau kalah.

***

Laszlo langsung melompat dari kursinya saat indra pendengarannya menangkap suara dari arah bawah. Matanya melirik jam di meja belajarnya dengan cepat; masih pukul 4 sore. Seharusnya tak ada orang di rumah selain dirinya. Takut rumahnya dimasukki oleh orang asing, kakinya pun dilangkahkannya dengan hati-hati menuju bawah.

Laszlo mengendap-ngendap sembari mengintip dari balik dinding ke arah ruang tamu. Sebuah sosok tinggi dan kekar memakai coat panjang berwarna hitam berdiri membelakanginya. Laszlo segera memutar langkah menuju dapur dan menyambar pisau dapur yang paling besar; pisau yang biasanya digunakan untuk memotong daging.

Genggaman Laszlo pada pisau semakin kuat saat ia memantapkan hatinya menerjang menuju ruang tamu, tempat di mana sosok mencurigakan itu sedang melihat-lihat sambil menilai-nilai suasana ruang tamu. Laszlo menerjang sosok tersebut di saat ia lengah karena tak merasakan ancaman. Laszlo menekan punggung sosok-yang ia yakini seoarang pria-itu dengan bobot tubuhnya, pisau yang dipegangnya diarahkannya ke leher lawan.

"Katakan! Apa yang kau cari di rumah ini? Bagaimana bisa kau masuk ke sini?" desak Laszlo sambil memastikan suaranya sedingin mungkin.

Pria itu berusaha memberontak, tetapi Laszlo malah semakin kuat menekan tubuh pria tersebut. Akhirnya, pria itu terdiam dan hanya menoleh ke arah yang berlawanan dengan tempat pisau agar tidak terluka. "Woah! Tenang, sobat," ujarnya setenang mungkin. Walau suaranya terdengar bergetar akibat gugup.

Laszlo memelintir tangan yang sudah ia tahan dengan kuat. "Katakan! Jangan bertingkah!" titahnya.

Pria itu mengerang kesakitan. "Ba-baiklah. Aku akan menuruti apa maumu, tapi tolong biarkan aku berdiri dan duduk di sofa agar aku bisa menceritakan semuanya dengan tenang," pinta pria itu sarat akan permohonan.

Laszlo terdiam selama beberapa saat. Ia menimbang apakah aman membiarkan pria itu bebas dari pitingannya atau tidak. Ia tak boleh mengendurkan kewaspadaannya hanya karena pria itu terlihat sedang menyerah. Bisa saja pria itu hanya berpura-pura agar membuatnya lengah dan akan menyerang di saat ada celah sedikit saja.

"Aku suka sisimu yang mempertimbangkan semuanya dengan matang itu, Nak," ujar pria itu tiba-tiba saat Laszlo masih berperang dengan batinnya sendiri.

Mendengar hal tersebut, Laszlo semakin yakin bahwa pria itu adalah orang yang mencurigakan. Ia semakin menekan pria itu ke lantai dengan bobot tubuhnya dan mendekatkan pisau ke leher pria tersebut. "Aku tak akan menurutimu," ancam pemuda itu tenang.

"Hei, Nak! Apa kau tak tahu benda pipih yang ada di genggamanmu itu adalah benda berbahaya?" protes pria itu tak terima. "Itu bisa melukaiku, tahu?" sungutnya lagi.

"Memang itu tujuanku kalau aku merasa kau itu lebih baik disingkirkan saja," balas Laszlo sengit. "Jadi, katakan! Siapa kau dan apa maumu merobos masuk ke rumah orang," ujar Laszlo penuh penekanan.

"Oho! Kau anak yang menarik ternyata. Sangat berbeda dengan ayahmu," balas pria itu tenang. Laszlo yakin ia mendengar nada senang di ujung kalimat yang diucapkan oleh pria itu.

Akan tetapi, tunggu dulu! Sepertinya tadi pria itu mengatakan sangat berbeda dengan ayah. Apa itu berarti pria itu kenalan ayahnya? Di saat ia kaget dan bingung, pria itu membalikkan keadaan dengan mudah. Kini, Laszlo berada di bawah kungkungan pria itu dan ia bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Mata yang menatapnya penuh kerinduan serta hormat.

"Dasar kurang ajar! Apa yang kau lakukan sekarang, Davin?!"


-----------
Yo!
Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Gimana sama part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro