38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nathan terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa hebat di sekujur tubuhnya. Kepalanya pun terasa begitu berat seperti ada batu besar yang menimpanya. Ia menggelengkkan kepalanya pelan, berharap agar rasa berat itu segera hilang. Namun, perbuatannya sia-sia saja. Kepalanya berdenyut hebat.

"Anda sudah bangun, Tuan?"

Pandangan Nathan yang mengabur, menghalanginya untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Namun, samar ia bisa melihat jirah hitam dengan sedikit corak merah yang dikenakan oleh pria itu; jirah kebanggaan kesatria dari klan Vutoo. Ia pun bisa melihat bukan hanya satu atau dua orang saja yang ada di sana, cukup banyak orang yang berkumpul. Namun, ia tak bisa menghitung jumlah pastinya. Dinilai dari suasananya yang sangat berisik, ia memperkirakan bahwa ada lebih dari 50 orang di dalam sini dan di luar sana.

Kening Nathan berkerut. Kesatria klan Vutoo? Bukankah ia sedang melakukan perjalanan bersama kedua orang tuanya menuju desa di perbatasan klan? Akan tetapi, kesatria yang berkumpul? Nathan duduk dengan tegak, mengabaikan setiap sendi serta otot tubuhnya yang berteriak kesakitan.

"Ibu dan ayahku?" tanyanya histeris begitu otaknya mengingat kembali apa yang dialaminya sebelum ia ambruk.

Ingatan terakhirnya, ia memusatkan seluruh kekuatannya, lalu menyerap api sebanyak yang ia bisa. Namun, itu tak semudah yang ia pikirkan. Ia memang berhasil menyerap sebagian besar api yang mengamuk dan menghanguskan sebagian benteng. Akan tetapi, hal itu membuatnya harus menguras seluruh kekuatannya dan berakhir pada luka dalam hingga berujung ambruk.

Nathan berusaha sekeras mungkin agar bisa memfokuskan padangannya. Walau otaknya sudah mengatakan padanya bahwa tak mungkin ada yang selamat dari ledakan sebesar itu, tetapi hatinya menolaknya. Setelah cukup lama berusaha, Nathan bisa melihat raut wajah komandan kesatria tertinggi keluarga Vutoo yang muram. Hal itu semakin membuat hatinya memberontak.

Air matanya mengalir tanpa bisa ia cegah. "Tidak! Tolong katakan padaku kalau itu tidak terjadi. Aku mohon padamu, Jake," isak Nathan.

Davin menerobos masuk ke dalam tenda darurat itu. Ia langsung berlari menuju Nathan yang sudah terisak hebat. Ditepuknya pelan bahu Nathan dengan harapan bahwa tindakannya bisa memberikan sedikit kekuatan pada Nathan.

"Nathan!" Seorang gadis remaja menerobos masuk ke dalam tenda dengan panik. Matanya bergerak liar ke kanan dan kiri mencari sesuatu. Begitu melihat tubuh Nathan yang dibalut perban seluruhnya, ia segera berlari ke arah Nathan dan memeluknya.

Nathan membalas pelukan itu. Rasanya hangat. Ia kembali teringat pelukan Cathleen yang selalu diberikan padanya ketika ia merasa sedih dan tertekan.

"Tidak apa-apa. Menangis saja," bisik gadis itu lirih.

Mendengar hal itu, tangis yang sedari tadi Nathan tahan pun pecah tak terkendali. Ia berteriak dan terisak secara bersamaan. Tangisan keras yang membuat siapapun yang mendengarnya ikut larut dalam kesedihannya. Tangisan yang menghantarkan seluruh luka yang dipikulnya.

Pelukan gadis itu semakin erat. Sesekali, tangan rampingnya menepuk punggung Nathan pelan. Ia pun turut menangis bersama Nathan.

Di sebelahnya, Davin masih menepuk bahu keduanya dalam diam. Matanya mulai memerah dan berair. Beberapa prajurit yang melihat Nathan di sudut tenda pun tak kuasa menahan air mata mereka. Walau sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahannya, tetap saja ada beberapa tetes yang lolos begitu saja.

"Maaf, Tuan. Kami semua menunggu perintah dari Anda," ujar Jake dengan suara yang tenang. "Para pemberontak bergabung dengan klan lainnya. Situasi sekarang cukup sulit untuk dihadapi. Kami semua menunggu perintah dari pemimpin kami." Jake berlutut diikuti oleh semua bawahannya yang ikut berada di dalam tenda.

"Ayah!" teriak Davin tak tahan lagi. Ia mengerti bahwa mereka butuh pemimpin. Namun, bukankah sekarang ayahnya yang merupakan komandan tertinggi bisa memberikan perintah terlebih dahulu menggantikan Nathan yang secara tiba-tiba menjadi pemimpin klan.

Tangisan Nathan terhenti. Beban baru mengimpitnya sekarang. Ia harus mengendalikan dirinya agar bisa berpikir dengan jernih. Ia merupakan pemimpin klan sekarang. Ia harus membuang semua emosi pribadinya agar ia bisa meminimalisir korban jiwa yang jatuh nantinya. Kini, setelah sang ayah tiada, ia mengerti ia harus selalu fokus dan berkepala dingin.

Davin menatap Nathan tak percaya saat Nathan menyentuhnya pelan. Mencegahnya agar tak melawan sang ayah. Tatapan Davin menajam saat Nathan mengurai pelukannya dari Chrisabella, lalu mencoba berdiri. Tanpa diminta, Davin mengulurkan tangannya dan membiarkan Nathan menopang padanya.

"Laporkan situasi terkini dengan cermat dan singkat. Jangan sampai melewatkan satu hal pun. Sekecil apa pun," titah Nathan dengan suara tenang membuat seisi tenda tercekat karena perubahannya yang begitu mendadak.





-------------------
692.27012021
Hola!!
Maapkan keterlambatan seharinya..
Soalnya ada masalah..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro