50

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sudah siap?" Davin muncul dari balik pintu menginterupsi perdebatan yang lagi-lagi terjadi di antara Kaizen dan Laszlo.

Remaja bermata sipit itu masih tak terima karena Laszlo meminta mereka untuk bertingkah seperti orang asing. Laszlo sendiri sudah capai member pengertian pada remaja pria yang keras kepala itu. "Sudah. Berangkat sekarang?" tanya Laszlo, mengabaikan Kaizen yang sedang melotot lebar sepenuhnya.

Kaizen menarik tangan Laszlo kasar. "Hei, Las! Bagaimana kau bisa sedingin ini pada satu-satunya sahabatmu?" tanya Kaizen gusar.

Laszlo menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. "Kai, kalau orang lain lihat mereka akan mengira kita sepasang mantan kekasih dan aku mencampakkanmu dengan kejam," ujar Laszlo lelah.

Ia melepaskan genggaman Kaizen pada tangannya, lalu meremas pundak remaja pria itu sembari menatap ke dalam matanya. "Itu hanya sementara, Kai. Lalu ingatlah! Mau kau merengek seperti apa pun, keputusanku tak akan berubah," tegas Laszlo dengan nada yang tak ingin dibantah.

Kaizen menunduk lemas. "Baiklah. Aku paham. Kau juga harus ingat, kalau ada hal berbahaya yang terjadi padamu, lemparlah guli sihir itu dan aku akan langsung teleportasi ke tempatmu berada," lirih Kaizen menyerah.

Laszlo mengangguk tegas. Kemudian, menepuk bahu Kaizen pelan, member semangat pada remaja itu. "Berhati-hatilah. Sampai jumpa 2 minggu lagi. Kau juga harus pergi ke tempat ibumu berada 'kan besok?"

Kaizen mengangguk kecil. Mereka memang sengaja tidak berangkat dalam waktu yang bersamaan. Untuk urusan sekolah, mereka membuat cerita seolah-olah Laszlo meninggal akibat sakit parah. Hal itu bukanlah hal sulit mengingat Laszlo pernah mimisan hebat hingga pingsan di sekolah.

"Baiklah. Aku berangkat dulu," pamit Laszlo yang hanya diangguki lemas oleh Kaizen.

@_@

"Davin, kita pergi ke tempat latihan saja. Kau perkenalkan aku sebagai anak yang kau ambil dari tempat budak. Kau melihat potensiku sebagai prajurit, lalu mengangkatku sebagai murid," ucap Laszlo mengulang kembali skenario yang telah mereka susun dua malam sebelumnya.

Davin tertawa kecil. "Apa kau gugup, Nak?" tanya Davin dengan nada mengejek. Ia sudah memperhatikan anak ini selama dua bulan penuh dan ia tahu Laszlo memiliki kebiasaan jelek sama seperti ayahnya. Mengucapkan rencana mereka secara berulang-ulang ketika ia merasa gugup.

Laszlo tersenyum tipis. "Begitulah," balasnya sekenanya. Ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Remaja 14 tahun itu mengulangi kegiatan tersebut selama beberapa kali hingga kegugupannya memudar sedikit demi sedikit.

"Kita sudah sampai," ucap Davin berhenti di sebuah benteng yang dijaga oleh dua orang prajurit dengan jirah hitam yang terlihat elegan dan kuat.

Kegugupan yang sempat memudar, menebal dengan cepat. Ia menarik ujung baju Davin tanpa sadar. "Sebentar," ucapnya dengan suara gemetar.

Dari balik benteng ini, ia bisa mendengar suara riuh para prajurit dan calon prajurit yang sedang berlatih. Suara pedang kayu yang beradu dengan patung kayu untuk melatih tebasan memenuhi gendang telinganya. Bukan hanya itu saja, suara teriakan dari para instruktur yang terdengar galak pun mencapai telinganya hingga menambah kegugupan.

"Percayalah padaku. Kau bisa melakukannya. Kita sudah pernah latihan pedang dan kau mempunyai bakat. Aku yakin Komandan Navis juga akan setuju dengan masuknya kau ke dalam pasukan," ujar Davin menenangkannya.

Davin menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap pintu kayu yang kokoh itu dengan pandangan yakin. Sebuah anggukan tegas ia berikan pada Davin. "Saya sudah siap, Guru," tegasnya membuat Davin tersenyum bangga.

Davin menuntun Laszlo masuk ke dalam benteng pertahanan klan. Kemudian, ia menggiring remaja itu langsung pada salah seorang sahabatnya. "Navis!" teriaknya dengan suara lantang.

Seorang pria yang mempunyai bekas luka seperti dikoyak sesuatu di wajah sebelah kirinya menoleh dengan cepat. Alih-alih menampilkan mimik senang karena sedang bertemu teman lama, ia malah menujukkan mimik tak senang. "Apa ini?" sinisnya sembari memandang Laszlo remeh.

"Anak yang kutemukan. Ia hendak dijual sebagai budak. Saat itu, aku melihat perlawanannya yang sengit. Jadi, aku berpikir untuk membawanya dan mendidiknya sebagai prajurit kita," jelas Davin dengan suara ringan.

Navis menatap Laszlo dengan tatapan curiga. "Dia memang terlihat kurus. Tapi, dia memiliki kulit yang halus seperti anak seorang bangsawan. Apa kau yakin dia seorang budak yatim piatu?" tanya Navis setelah memperhatikan Laszlo dengan saksama.

Laszlo tersentak kaget, tetapi ia segera menutupinya. Seharusnya ia tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi dan menyiapkan penanggulangannya. Ia melirik Davin sekilas. Anehnya, pria itu terlihat begitu tenang.

"Aku sudah menyelidikinya. Ia memang seorang anak bangsawan yang sudah runtuh. Tetapi dia bukan anak yang susah diatur. Dia juga terlihat memiliki kemauan belajar yang tinggi. Kedua orang tuanya telah meninggal akibat dirampok, itu sebabnya ia dijual di tempat pelelangan budak," jelas Davin santai seolah memang begitulah adanya.

Laszlo tertegun. Tak ia sangka Davin begitu hebat dalam membuat skenario dadakan. Kalau tahu begitu, ia tak akan segugup itu tadi. Memalukan sekali. Ia akan mencatat hal ini benar-benar di dalam otaknya. Ke depannya, ia tak akan membuat kesalahan sekecil apa pun.

Di saat Laszlo sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, ia merasakan sebuah tangan besar mendarat di kepalanya. Ia mendongak dan langsung bertatapan dengan Davin yang tersenyum lebar. "Apa kau sudah siap, Las?"

Laszlo menatap Davin bingung. "Siap untuk apa, Guru?" tanyanya heran.

Davin menggeleng pelan. "Ingat, Las. Di sini adalah medan perang. Kau harus selalu fokus," ujar Davin memperingati.

Laszlo mengangguk paham. Benar. Ia harus focus. Tak boleh ada waktu yang terbuang hanya untuk memikirkan hal yang sia-sia. Ia harus berusaha dengan keras agar bisa melindungi seluruh orangnya.

"Jadi? Apa kau sudah siap?" ulang Davin sekali lagi. "Kalau kau sudah siap, mulai sekarang gurumu adalah Navis. Ia adalah seorang guru yang baik, walau kejam. Kau akan berkembang dengan pesat bila berlatih dengannya. Aku harus kembali untuk memimpin pasukan dan berperang kembali."

Laszlo terdiam selama beberapa saat sebelum mengangguk patuh. "Baik, Guru. Saya mengerti." Kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada Navis yang tengah menatap mereka berdua dengan tatapan menilai. "Mohon bantuannya, Guru," ujarnya sembari membungkuk sopan.

Navis mendengkus. Walau begitu, ia tak mengatakan apa pun pada Laszlo. Ia menatap Davin tajam. "Katakan! Dia bukan anakmu, 'kan?" tuduhnya sembari menatap Davin dengan tatapan sengit. "Kau tidak macam-macam dengan wanita lain, 'kan? Apa kau berselingkuh dari adikku dan mempunyai anak dengan wanita lain?" lanjutnya lagi dengan nada tak senang.

Mata Laszlo membulat. "Apa? Jadi tuan ini adalah kakak Emily?" seru Laszlo tak percaya.

Davin segera membekap mulut Laszlo. "Tenanglah!" bisiknya pelan. "Kau bisa membongkar identitasmu di sini kalau kau bertingkah seperti ini," lanjutnya lagi masih dengan berbisik.

Navis menatap Laszlo dengan tatapan curiga. "Kau pernah bertemu dengan Emily? Mengapa kau memanggil namanya dengan begitu akrab, Bocah Tengik?"






---------------------
1049.23032022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro