Kelas Sastra yang Memakan Korban***

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

❄❄❄

Orang-orang suka musim panas, mungkin karena kembang apinya. Namun, aku suka musim panas mungkin karena gadis itu.

Kamura

Oh ya ampun, satu temannya sedang jatuh cinta. Dia menyukai seseorang? Kamura sedang menyukai seorang gadis? Pada saat musim panas? Tapi ini masih musim dingin, musim semi pun agak lama.

Natsu tersenyum kecil, ternyata pria itu membutuhkan teman curhat. Masalahnya, Natsu tak pernah mengerti persoalan yang menyangkut pautkan perasaan. Mungkin Matsu dapat mengerti, dia kan orangnya dewasa, atau Yori yang selalu menjadi tempat Natsu berkonsultasi tentang perasaannya terhadap Nishimura.
Namun sayang, kenyataannya Kamura hanya memiliki satu orang teman. "Kurang sosialisasi sih!" Gumam Natsu masih di depan lokernya, ia mengeluakan sehelai kertas biru muda dan pena bertinta hijau.

Hmmm ... andaikan musim panas terajadi sepanjang tahunnya. Apakah gadis itu akan melihat bintang yang keindahannya tertutupi oleh ledakkan kembang api? Atau jangan-jangan justru dialah yang menemuimu terlebih dahulu.

Natsu

Pria itu tersenyum menatapi surat biru muda itu. Kali ini bertintakan hijau. Ini surat kedua baginya. Dan kalimat terakhir, dia berharap kalimat itu yang akan menjadi nyata.

Gadis itu, Kamura menarik nafas pelan. Gadis berambut kecoklatan yang menangis di padang rumput belakang sekolah. Saat itu musim panas. Musim yang akhir-akhir ini ditunggu-tunggunya.

"Mau cerita?" Suara itu tiba-tiba saja muncul di belakangnya. Kamura membalik badan dan mendapatkan satu-satunya teman yang dia miliki. Dia tersenyum aneh kepadanya.

"Hmm...senyum-senyum sendiri, lagi jatuh cinta ya?" Perempuan itu menarik lengannya dan mengajaknya duduk di salah satu bangku lorong sekolah, terlihat beberapa anak berbisik-bisk membicarakan mereka. Tapi Kamura tak perduli, fokusnya hanya kepada gadis ini saja.

"Nah, sekarang ceritakan seperti apa pertemuanmu dengan gadis itu, saat musim panas, kan?" Natsu mengerjapkan matanya beberapa kali, ia memasang telinga. Kamura salah tingkah, terdiam beberapa saat setelah menatap lekat temannya.

Tak mendapatkan respon, Natsu melanjutkan, "ngomong-ngomong aku suka musim panas, lho!"

"Oh, ya?" terdengar sedikit kekagetan dari suara Kamura tadi, lawan bicaranya hanya mengangguk meyakinkan. "Oichi-chan, kamu pernah menangis di padang rumput?" Kamura bertanya, sekedar basa-basi.

Natsu mengerutkan dahinya, "pertanyaan macam apa itu? Tapi kalau menangis sih aku akhir-akhir ini sering melakukannya."

"Gara-gara Nishimura?" Tanpa berpikir Kamura langsung melontarkan pertanyaan, membuat sinar di mata Natsu yang tadi menggebu ingin tahu menjadi meredup. Kamura berdeham langsung mengganti topik. "Ngomong-ngomong, aku bertemu dengannya saat dia sedang menangis di belakang taman sekolah."

"Oh ya?" Natsu kembali, histeris membuat Kamura lebih lega, "Kamura-kun bisa jatuh cinta dengannya karena apa?"
"Aku ... aku tidak tahu."

Natsu mengerutkan dahinya kembali, "tidak tahu? Kenapa?"

"Ak-aku tidak tahu, karena tiba-tiba saja rasa itu ada, yang pasti aku suka." Ia mengucapkannya secara blak-blakan, membuat Natsu kian mengerutkan dahi.

"Apakah Kamura masih sering bertemu dengannya?"

"Mungkin."

"Mungkin? Aneh."

Kamura tersenyum lalu mengangguk pelan, "aku rasa kami sudah semakin dekat."

Natsu kembali mengerutkan dahi. "Apakah perempuan itu..." dia tersenyum jahil, "AKU!"

Kamura terdiam menatap Natsu yang tersenyum aneh kepadanya. Kemudian setelah beberapa detik mereka berdua tertawa bersama-sama, tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. Beberapa orang terlihat terkejut mendapati Kamura yang sedang tertawa. Para adik kelas malah ikut tertawa kecil-melihat Kamura bukan mereka berdua.

"Aku pernah menangis di padang rumput belakang sekolahku saat SMP dulu." Natsu menerawang kedepan, mulai bercerita setelah mereka berhenti tertawa. Kamura kembali memerhatikan dengan seksama, "saat itu waktu kelusan SMP, di sana aku menemui Nishimura." Natsu berhenti beberapa saat, menarik napas. Kamura masih tak melepaskan pandangannya.

"Aku bodoh ...," Natsu tertawa hambar, "saat itu aku ingin meminta kancing bajunya yang kedua. Tapi saat aku menemui dia, kancingnya sudah habis semua."

Pernyataan itu menusuk hati Kamura, ia benar-benar dapat merasakannya meskipun hanya sedikit.

"Lalu aku menyatakan perasaanku kepadanya entah untuk yang keberapa kalinya. Seperti biasa ia memintaku untuk menjauhinya." Natsu masih menatap kosong ke depan, "dan akhirnya dia mengatakan hal menakutkan itu." Gadis itu menatap langsung ke arah mata Kamura, "kau tahu apa? Dia pindah ke Kyoto. Saat itu dia langsung pergi dan aku menangis sesenggukan. Bertahun-tahun aku menyukainya dan aku tidak ingin dia pergi begitu saja. Semenjak itulah aku memutuskan untuk meninggalkan Ine dan mengikutinya ke Kyoto. Di sinilah aku sekarang." Natsu tersenyum hambar ke arah Kamura yang terdiam, "masih menjadi Natsu yang penuh penolakkan."

Kamura tak dapat mengatakan apa-apa, dia tidak menyangka alasan Natsu pergi hanyalah Nishimura yang menurutnya selalu menjadi masalah Natsu. Oichi-chan memang keren.

"Kamu menyesal?" perlahan Kamura membuka suara, bertanya. Dan dijawab gelengan dari Natsu, "tidak sama sekali." Perempuan itu masih tersenyum.

"Kamu masih menyayanginya?" Kamura bertanya lagi.

"Sampai kapanpun." Jawaban Natsu barusan membuat jantung Kamura berdetak kencang.

"Kamu yakin perasaanmu dapat berubah suatu ketika?" Kamura menatap mata Natsu lebih dalam, berusaha mencari setitik keraguan di sana, tetapi tak ditemukannya.

"Aku yakin." Natsu tersenyum, "saat aku masih akan menjadi Natsu yang selalu ditolaknya, saat itu pula hatiku akan berpaling secara lambat, tapi pasti."

Natsu terdiam lama, begitu pula dengan Kamura. Hanya suara helaan napas yang terdengar.

"Meskipun aku tidak mencintainya lagi suatu hari nanti, tapi aku akan tetap menyayanginya. Perasaan seorang perempuan itu tak akan pernah berubah. Dia akan jatuh cinta dengan satu orang dan itu akan selalu. Selamanya." Natsu menatap desauan angin di hadapannya. Kamura masih memandang lekat temannya itu, mulutnya bungkam, bibirnya datar, tapi ia merasakan sesuatu di dalam dadanya yang sedang tersenyum.

"Oichi-chan ...," panggilnya pelan.

"Mmm," jawab Natsu tanpa menoleh ke arahnya.

"Rasanya aku ingin sekali mempunyai seorang gadis yang menangisiku. Jika ada aku tak akan menyia-nyiakannya."

Natsu menoleh, menatap Kamura dalam.

"Hal itu tidak ada gunanya." Natsu menangkap ekspresi keterkejutan di wajah Kamura. "Lagipula ... seharusnya Kamura-kun yang bercerita tentang gadis yang kau sukai, ini malah aku yang curhat." Natsu tertawa geli tanpa suara, namun Kamura masih diam memandanginya.

"Oichi-chan ...." panggilnya lagi.

"Ya?"

"Boleh aku memelukmu?" perkataan Kamura seketika membuat Natsu terkesiap. Natsu menoleh kaku ke arahnya.

"Te-tentu saja boleh," ia tersenyum aneh, "tapi bel sudah berbunyi! Sayang sekali, mungkin di lain waktu, dahh Kamura-kun." Natsu lari pergi ke kelas. Kamura menatapi punggung gadis itu diam, lalu bangkit menyusul Natsu.

"Pelajaran Bu Yoshida, Oichi-chan, sudah belum puisinya?" Pertanyaan Kamura barusan membuat Natsu teringat akan kebohongan anak itu yang pura-pura tidak mengerti sastra.

Natsu memasang kuda-kuda untuk menendang lutut pria di sampingnya.

❄❄❄


"Selanjutnya, puisi Matsunewa Yanao akan dibacakan oleh Hugo Kobayashi!" Suara berat Bu Yoshida membuat hampir seisi kelas tertawa. Mereka bukan mentertawakan suara dari Bu Yoshida melainkan siapa yang harus membaca puisi. Sepertinya anak kelas ini tak ada yang berminat sedikitpun terhadap pelajaran ini.

"Aduh, puisiku dibacakan oleh Kobayashi lagi." Matsu menepuk jidatnya setelah mendengar nama Kobayashi sebagai pembaca puisinya. Terdengar Yori yang sengaja tertawa langsung di depan Matsu.

"Tidak apa Matsu, Yang malu-maluin kan dia, bukan puisi kamu." Ucap Yori setelah berhenti tertawa.

"Bukan itu masalahnya!" wajah Matsu memerah. "Puisiku juga menyebalkan! Pasti Bu Yoshida mengamuk setelah ini."

"Lho? Bukannya aku kemarin sudah mengajarimu?" Natsu menatap heran temannya itu.

"Ya, tapi kemarin kau hanya mengajariku tiga bait pertama."

"Terus? Ada apa dengan puisimu?" Tanya Natsu.

"Sudah! Dengarkan saja nanti."

Kobayashi yang sudah maju ke depan tersenyum geli melihat kertas puisi Matsu. Apanya yang lucu?

"Ayolah Kobayashi-kun, cepat, bacakan saja!" Tsuda berteriak tak sabaran.

"Iya sabar." Kobayashi berdeham, lalu mulai membacakan, "Pria Bermata Sayu. Karya Matsunewa Yanao." Kobayashi melirik ke arah Matsu, teman-teman di kelas bertepuk tangan.

"Lho kamu pakai judul itu?" Natsu mengerutkan dahi.

"Tidak ada pilihan lain." Matsu berbisik.

"Eh Matsu, puisi itu untuk siapa?" Yori menoleh kearahnya.

"DIAM!" Matsu melotot, lalu menoleh ke arah Kobayashi yang sudah membacakan, terlihat ekspresinya seperti menahan tawa yang membuat Matsu semakin sebal.

"Aku melihatmu...

Mata sayu yang membuat jantungku berdetak.

Untuk yang pertama kali, dan akan kukenang berkali-kali.

Terima Kasih." Seisi kelas terkaget mengangakan mulut, begitu pula Bu Yoshida. Terlihat matanya hampir lapas memelototi Kobayashi.

"Cuma itu?" Bisik Natsu tak percaya. "Itu seperti haiku yang tak jadi."

"Apa boleh buat, aku tak tahu harus menulis apa lagi."

"Matsu Chan ...."

"Matsunewa Yanao!!!!!" Teriak Bu Yoshida kencang, seisi kelas tersentak kaget terutama Matsu yang kakinya gemetaran melihat Bu Yoshida tadi menghentak meja.

"Ya, Bu?" Takut-takut Matsu berdiri.

"Lari lapangan basket sepuluh kali!" perintahnya sambil menunjuk lapangan basket di luar kelas. "Sekarang!" cepat Matsu langsung berlari keluar kelas sambil tertunduk malu.

"Berarti saya juga harus lari bu?" seketika suasana kelas bertambah runyam saat suara itu memotong di tengah kemarahan guru empat puluh tahunan itu. Tsuda sudah berdiri dari tempat duduknya, seluruh mata tertuju ke arahnya.

"Eh, sebenarnya kemarin saya melihat-lihat di internet tentang cara membust puisi, terus saya menemukan contoh puisi dua baris. Jadi ... saya hanya buat puisi dua baris. Hehe!" Tsuda terkekeh kaku, dan langsung lari keluar kelas menyusul Matsu sebelum ia terkena omelan Bu Yoshida yang sudah terlihat seperti orang kebakaran jenggot.

"Sekarang!" Bu Yoshida menghentakkan meja lebih keras, "siapa lagi yang mau mengaku malas membuat puisinya sebelum ibu potong leher kalian satu per satu!"

"Eh, Ibu Yoshi!" Kobayashi di depan mengangkat tangan, sekarang mata satu kelas beralih kearahnya dengan ekspresi yang tak lain berbeda dengan Tsuda sebelumnya.

"Sebenarnya saya tidak mengerti membuat puisi itu seperti apa. Jadi...saya tidak mengumpul tugas puisi itu." Ia terkekeh kaku sama seperti Tsuda sebelumnya sambil menggaruk-garuk kepala.

Bu Yoshida mengangkat rotannya tinggi-tinggi ke arah Kobayashi. Namun, pria itu langsung berlari keluar kelas menyusul dua lainnya sebelum terkena sabitan rotan yang menakutkan dari guru tersebut.

"Saya langsung saja lari sepuluh keliling!" Kobayashi berlari tanpa menoleh ke belakang. Pandangan membunuh Bu Yoshida beralih ke murid yang tersisia di kelas. Semua terdiam, merinding ketakutan, yah Natsu dapat merasakannya. Kelas ini memang tidak menyukai pelajaran Sastra Jepang. Rata-rata hampir semuanya.

"Sekarang ada lagi yang mau terkena rotan?" Bu Yoshida menatap lekat siswa-siswa yang ketakutan. Dalam hati, Natsu tertawa geli mendapati wajah pucat pasi yang tampak di wajah Yori.

Anak itu akan jadi korban.

❄❄❄

-WINTER-

Yosh!! Tetap semangat di masa pandemi yang penuh ketidakpastian ini😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro