˗ˏˋ𝒯𝒽𝓇𝑒𝑒'ˎ˗

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, apa kalian bosan bertemu denganku? Maafkan aku, tapi, mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Jadi, akhir seperti apa yang kalian inginkan?

· • – ٠ ✤ ٠ – • ·

Satu hari berlalu begitu saja. Begitu tak sabar untuk segera mengakhiri masa-masa yang tenang di dalam hidup sang gadis yang kini mulai menginjak usia dewasanya.

Kini hadir hari dimana ia harus kembali ke tempat terkutuk yang disebut sekolah, dan tak lupa ia akan kembali bertemu orang-orang yang dipanggil teman.

Memikirkannya saja sudah membuatnya menghela napas lelah, dan kini ia sudah berdiri di depan gerbang sekolahnya.

Sudah ada begitu banyak siswa dari berbagai tingkatan yang sudah hadir dan menghuni seluruh bagian bangunan. Berkumpul dan berbincang dengan orang-orang di sekitar mereka, membahas apa yang terjadi di hari sebelumnya.

[Fullname], gadis itu kembali menghela napas. Ia merasa energinya terus terkuras walau hanya melihat lautan manusia yang bergerak kesana-kemari tanpa henti.

Dengan segera ia kembali menggerakkan kakinya menuju kelasnya, jika tidak segera mungkin akan ada yang memarahinya karena berhenti di tengah jalan. Hari ini ia sangat berharap bisa terhindar dari masalah-masalah yang ada.

Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak padanya. Di dalam perjalanan menuju kelasnya, ada banyak pasang mata melirik bahkan menatapnya benci, hal seperti ini sudah sering terjadi, tapi kali ini pandangan orang-orang itu terlihat berbeda dari biasanya.

'Aneh. Ada apalagi ini?' batin [Name] sambil terus berjalan dan berusaha keras untuk mengabaikan tatapan-tatapan yang sangat menganggu itu.

Semakin ia dekat dengan kelasnya semakin banyak pula yang menatapnya sama seperti sebelumnya. Kepala kecil milik [Name] terus bekerja mencari apa yang telah ia perbuat hingga orang-orang menatapnya seperti itu, dan yang ia dapatkan nihil. Ia hanya menangkap kalau yang menatapnya seperti itu hanyalah teman sekelasnya, karena sebelum ia mendekat ke ruang kelasnya semua terlihat baik-baik saja.

'Kenapa? Kenapa aku merasa ini pernah terjadi sebelumnya?' [Name] berjalan sambil menunduk, pikirannya fokus akan perasaan yang terasa familiar.

Rasa dimana ia sangat ingin kabur dari situasi yang membingungkan ini, ada banyak pasang mata menatapnya. Tapi ia tak bisa kabur begitu saja, bahkan di tempat yang sepi sekalipun. Karena bayang-bayang tatapan mereka sudah terukir begitu saja di memori otaknya.

'Ah ... Ternyata perasaan yang sama seperti 4 tahun yang lalu.'

Biar aku ceritakan secara singkat apa yang terjadi dan apa yang dialami [Name] waktu itu.

4 tahun yang lalu, sewaktu [Name] masih berada di jenjang menengah pertama. Ia menerima perlakuan buruk dari teman-teman sekelasnya hanya karena ia terus berada di peringkat atas.

Salah satu teman [Name] yang cukup terkenal di kalangan siswa seangkatannya, merasa tak senang dengan pencapaian [Name]. Ia iri dengan [Name] yang bukan apa-apa dibanding dirinya malah mendapatkan peringkat atas.

Dengan kepopulerannya ia berhasil menghasut teman sekelasnya untuk membenci dan mengucilkan [Name]. Dan setelah itu hari-hari yang dilalui [Name] penuh dengan pembullyan yang ia dapat dari teman sekelasnya.

Hingga suatu hari dengan keberanian yang berhasil [Name] kumpulkan sejak lama, ia mengadukan apa yang diperbuat oleh teman sekelasnya pada salah satu guru di sana. Dan setelahnya, guru itu sedikit menceramahi dan mengancam anak-anak yang membully [Name].

[Name] kira dengan mengadukan mereka pada guru itu akan menghentikan pembullyan yang mereka lakukan. Tapi [Name] dulu sangatlah naif, bukannya mendapatkan ketenangan ia malah mendapatkan yang lebih buruk dari sebelumnya.

Bahkan mereka mengancam [Name] jika kembali mengadu, maka kemungkinan [Name] akan menjalani 3 tahun yang terasa seperti neraka.

Tapi pada akhirnya semuanya tetap sama saja.

'Apakah dengan alasan yang sama juga? Padahal aku sudah menghindari untuk melakukan kesalahan yang sama? Lalu kenapa?'

Duagh!

Karena [Name] tak memperhatikan jalan alhasil ia menabrak seorang gadis, dan itu berhasil menambah masalah baru di hari [Name].

"Aw, sakit bodoh! Kedua matamu itu kau gunakan untuk apa hah?!" teriak penuh amarah gadis yang [Name] tabrak. Dengan teriakannya yang terdengar jelas hingga kelas sebelah berhasil membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian di lorong.

"Maaf—" ucapan maaf [Name] terpotong. Padahal ia sangat ingin segera menyelesaikan masalah ini dan keluar dari perhatian yang tak diundang ini.

"Ohh, ternyata si tukang adu sudah datang."

Kepala yang awalnya ia tundukkan, spontan ia angkat. Menatap terkejut serta bingung sang lawan bicara.

'Hah? Maksudnya apa?'

"Maksudmu apa, Hakatsuka?" tanya [Name] meminta penjelasan pada Hakatsuka, Hakatsuka Nako. Salah satu teman sekelas dan salah satu orang yang membully [Name].

"Apa? Kau mau pura-pura lupa?"

"Tapi aku memang tidak tahu apa yang kau maksud, Hakatsuka-san."

"Haha, lucu sekali. Teman-teman lihatlah dia. Dia lupa dengan perbuatannya sendiri? Apa itu masuk akal?"

"Hahaha aneh!"

"Yang benar saja."

"Kau ini anak berumur 16 tahun atau nenek-nenek tua, hah? Hingga melupakan hal seperti itu."

"Hahaha iya."

"Aneh!"

Dengan setiap kata yang dikeluarkan Hakatsuka serta tawa teman-temannya membuat situasi semakin membingungkan bagi [Name].

'Perbuatanku? Tukang adu? Apa maksudnya aku mengadukan pembullyan yang aku dapatkan?'

Dengan sedikit mengamati setiap perkataan dan perlakuan teman-temannya, terutama Hakatsuka Nako. Sedikit demi sedikit semua ujung benang permasalahan ini berhasil [Name] sambungkan. Dengan hasil yang malah menambah pertanyaan yang terus-menerus berputar di otaknya.

'Tapi bahkan kemarin saja aku tak masuk dan aku tak pernah ada niatan mengadukan apa yang mereka lakukan. Karena aku tahu jika aku mengadukan mereka maka akan berakhir seperti ini, tapi siapa yang mengadukan mereka?'

Di saat [Name] terus berpikir sembari menunduk, mereka—Hakatsuka dan teman-teman [Name] lainnya—yang berada di hadapannya terus tertawa dan memperhatikan [Name] yang diam saja.

Mereka berpikir jika diamnya [Name] merupakan ketidakberdayaan untuk menghadapi mereka semua.

"Hei [Name], mengaku saja jika i—"

"Iya, aku mengadukan apa kalian. Lalu kenapa? Kau takut? Payah," ucap [Name] memotong perkataan Hakatsuka.

Mendengar itu wajah Hakatsuka terlihat mulai memerah, kedua telapak tangannya ia kepalkan siap diluncurkan ke arah [Name].

[Name] melirik ke kedua telapak tangan Hakatsuka yang mengepal. Salah satu sudut bibirnya tertarik, hanya sebentar saja, [Name] mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula.

"Kau ingin memukulku? Apa kau juga akan mengajak anak buahmu untuk ikut memukulku? Sebenarnya apa yang kau bisa selain membully seseorang dan menyuruh orang lain untuk ikut terlibat dalam semua perbuatanmu?"

"Ap—"

"Kau kira selama ini aku diam saja karena tak bisa melawanmu? Dengarkan aku, aku selama ini diam dan terlihat bodoh hingga membiarkan kalian berbuat semau kalian itu aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu lebih dari yang aku alami waktu itu. Tapi sepertinya itu semua sia-sia ya? Sekarang semuanya sudah berantakan."

"Mungkin seharusnya sejak awal aku harus melawan saat kalian membullyku, dan merebut peringkat tertinggi yang sangat kau bangga-banggakan, Hakatsuka Nako."

"H-Hah? Merebut posisiku? Memangnya seberapa cerdas otakmu hingga mengatakan omong kosong seperti itu?"

"Omong kosong? Haha, terserah kau saja. Lebih baik aku pergi saja." [Name] berbalik, selangkah demi langkah ia berjalan menjauhi Hakatsuka.

"Oh ya!" [Name] berhenti, tubuh bagian atasnya sedikit memutar, cukup untuk melihat sang lawan bicaranya tadi.

"Jangan anggap aku mengaku kalah karena aku pergi lebih dahulu. Hanya saja aku muak berbicara denganmu."

"Tch!"

"Permisi," ucap [Name] pada kerumunan murid yang sedari tadi menonton perdebatannya, tapi sayangnya mereka tak ingin bergerak sama sekali untuk memberikan jalan pada [Name].

"Ck, awas!" Karena kesal, [Name] dengan paksa membelah kerumunan dengan tangannya. Orang-orang masih melihat ke arahnya hingga akhirnya [Name] menghilang di kelokan lorong.

Bel sekolah berbunyi, murid-murid mulai berhamburan berjalan menuju kelas mereka masing-masing walau harus diusir terlebih dahulu.

Semuanya pergi meninggalkan Hakatsuka yang tetap bergeming di tempatnya. Menahan amarah yang ia sangat ingin ia luapkan, amarahnya kian bertambah saat ia mengingat setiap perkataan yang dikeluarkan oleh gadis yang selama ini terlihat lemah dan bodoh.

· – • ✤ • – ·

Seusai kejadian pagi hari tadi, [Name] pergi membolos. Ia sudah tak peduli lagi dengan semua yang berhubungan dengan sekolahnya. Entah itu absensi kehadirannya, jam mata pelajaran yang dengan sengaja ia lewatkan, bahkan dengan masa depan nilainya mengingat ia membolos seperti ini.

Di sinilah [Name] berada, di lantai atas gedung sekolahnya. Duduk menatap tak minat pada pemandangan matahari terbenam yang tersaji di hadapannya. Semilir angin sore berhembus dengan nakal menerbangkan anak rambut sang gadis.

Pikirannya kembali melayang memikirkan siapa pelaku atas kejadian hari ini. Ia tak memiliki tersangka yang bisa ia curigai. Ia tak memiliki teman ataupun murid yang dekat dengannya, tak seorang pun.

Tidak mungkin jika itu merupakan murid yang tidak dekat dengannya. Mereka selama ini bersikap tidak acuh kepadanya. Tidak terlihat setitik niat pun di mata mereka untuk membantunya keluar dari pembullyan yang terjadi.

Siapa pun itu ia sangat ingin memukul orang itu. Walau niatnya memang baik, tapi tidak semua niat baik berakhir dengan baik juga. Dan [Name] sangat tahu itu.

Apalagi orang itu tak bertanya dahulu padanya jika ingin mengadukan semuanya. Jika iya, mungkin [Name] akan menghentikannya. Ia hanya ingin menjalani hari-hari di sekolahnya tanpa merasakan tatapan benci dari orang lain.

"Hahh, aku benci ini. Jika sudah begini, sudah tak bisa kembali seperti semula."

Brak!

Pintu itu ditendang dengan keras oleh seseorang, suara yang dihasilkan terdengar begitu memekakkan telinga.

Refleks [Name] menengok ke belakang, melihat sosok murid laki-laki pelaku pembuat kebisingan barusan, ia memiliki surai yang senada dengan langit sore saat itu.

'Ck, dasar orang aneh.'

[Name] kembali menghadap ke depan, mulai mengabaikan orang yang baru datang tadi. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dipikirkannya, ia merasa mengingat sesuatu yang familiar.

'Ahh, surai senja ya ... mirip dengan anak itu. sayang sekali aku tak bisa mengingat wajahnya, bahkan tak bisa bertemu lagi setelah itu. Sepertinya aku memang tak ditakdirkan untuk bahagia. Haha, lucu sekali.'

Lagi dan lagi, ia kembali mengingat masa lalu. Sungguh tak berguna ia mengingat masa yang telah berlalu, hanya dengan mengingat bukan berarti ia bisa mengingat wajah anak laki-laki itu dan bertemu untuk bermain bersama lagi.

Sebenarnya ia sudah tidak ada keinginan untuk bertemu lagi dengan mereka, ia sudah menyerah untuk itu semua.

Telinga [Name] mendengar langkah kaki mendekat, dan pasti itu murid laki-laki tadi. Karena tidak ada orang lain lagi selain mereka di atas sini.

"Hei!" panggil murid laki-laki itu.

[Name] hanya menanggapinya dengan melirik ke arah murid itu, ia tak berniat untuk menjawab panggilannya.

"Ck, kau baik-baik saja?"

"Hah??"

"Apa telingamu itu bermasalah? Aku baru tahu itu."

"Bukan begitu! Lagian itu keadaanku bukan urusanmu, kita ini tidak saling kenal."

"Tch, tentu saja itu urusanku. Bagaimanapun juga kejadian itu, terjadi di depan mataku! Jadi, kau baik-baik saja atau tidak?"

"Hah? Untuk apa kau peduli? Memangnya kau siapa?" Dengan kening yang mengerut, [Name] memutar tubuhnya, dan bangkit berdiri dengan jarak beberapa langkah dari murid laki-laki itu.

"Benci mengakuinya, namun, dulu kita sempat bertemu dan bermain bersama. Hanya saja tiba-tiba aku pindah, dan setelah itu aku mencarimu di tempat yang sama, tapi kau tidak ada. Aku ini teman masa kecilmu! Kau ingat?" Ia melangkah mendekat ke arah [Name], dan [Name] sedikit terkejut mendengar penjelasan laki-laki itu.

'Tidak mungkin anak laki-laki yang itu 'kan?' batin [Name], ia tak terlalu ingin berharap jika itu benar.

"...! Teman? Aku tak memiliki hubungan seperti itu." elak [Name].

"Kau punya! Ingat! Cobalah untuk mengingatku, [Name]!" Tiba-tiba saja laki-laki itu memegang bahu [Name] dan itu cukup membuat sang gadis terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu.

Tapi ada yang lebih mengejutkan daripada itu.

"Sebentar, bagaimana kau tahu namaku?" tanya [Name].

Karena di sekolah ia termasuk anak yang tidak populer dan tidak banyak yang mengingat nama sampah sepertinya.

"Tentu saja aku mencari tahu tentangmu setelah tau kau satu sekolah denganku." Lagi-lagi [Name] kaget. "Mencari tahu"??

"Termasuk pembullyan yang aku alami??" Mata [Name] terbuka lebar, tangannya kini memegang pergelangan tangan laki-laki itu.

"... Ten—"

Dengan spontan, [Name] langsung menghempaskan kedua tangan laki-laki di depannya, dan berteriak, "jadi, KAU YANG MENGADUKAN MEREKA?!!"

"BODOH! APA YANG KAU PIKIRAN SEBENARNYA?! SEMUANYA BERANTAKAN GARA-GARA KAU!"

"H-Hah? Tapi—" Laki-laki itu langsung bingung karena tiba-tiba gadis di depannya berteriak dan menyalahkannya.

Yang mengadukan teman-teman [Name] memanglah dirinya. Ia mengadukan itu kepada guru kemarin, atau lebih tepatnya kemarin saat [Name] tak masuk ke sekolah.

Tapi ia tak tahu jika itu akan membuat gadis yang awalnya ingin ia bantu justru marah.

"AKU TAU NIATMU SEBENARNYA BAIK, TAPI TIDAK SEMUANYA NIAT BAIK ITU BERAKHIR DENGAN BAIK JUGA! KAU LIHAT TADI PAGI?! ITU! ITU ADALAH HASIL DARI NIAT BAIKMU ITU! DAN SEKARANG SUDAH TAK ADA LAGI YANG TERSISA!!"

"...?!" Ia kembali digelar dengan apa yang diutarakan sang gadis, ia juga tak tahu kalau kejadian tadi pagi itu adalah akibat perbuatan semaunya.

"Maaf—"

"Maaf? Apa "maaf"-mu itu bisa mengembalikan semuanya? Tidak."

"Sia-sia sudah aku menahan perlakuan buruk mereka. Sia-sia aku membuat diriku terlihat bodoh di mata orang lain. Sia-sia aku menahan itu semua hampir satu semester."

"Gara-gara kau, hanya satu perbuatanmu yang tidak ada 24 jam itu, hanya itu saja cukup menghancurkan semua yang sudah aku lakukan berbulan-bulan."

"Kau, kau—bodoh sekali." [Name] mulai rubuh, tenaganya sudah terkuras begitu banyak setelah berteriak dan mengutarakan semua yang ada di hati dan pikirannya. Bahkan matanya sudah mulai mengeluarkan cairan bening.

"Maaf, maafkan aku, [Name]." Laki-laki itu berjalan menangkap tubuh lemah [Name], dan memeluknya sambil mengucapkan maaf.

"Maaf-mu tidak ada gunanya." Dengan tangan yang sudah tak memiliki tenaga, ia berusaha mendorong dada sang laki-laki karena ia merasa tak sudi dipeluk olehnya, tapi sayangnya ia sudah sangat lemas.

"Memang. Tapi biarkan aku minta maaf." bisiknya sambil mengelus surai serta punggung [Name], berusaha menenangkan perasaan sang gadis.

"Kenapa, kenapa kau berbuat semaumu? Kau bilang mengenalku 'kan? Kenapa kau tidak menanyakan kepadaku terlebih dahulu? Kenapa??" tanya [Name] secara beruntun, ia menundukkan kepalanya tak berniat menatap manik safir sang laki-laki. Samar-samar terdengar suara isak tangis yang berasal dari [Name].

"..."

"Aku sudah tak memiliki seorang pun yang peduli denganku, dan aku hanya berharap hidup tanpa bayang-bayang tatapan benci orang-orang. Kau sadar itu?!"

"Iya, aku sadar. Tapi, asal kau tau kalau aku peduli terhadapmu, [Name]."

"Kau tidak peduli denganku."

"Aku—"

"Tidak. Jangan berbohong, aku tau apa yang kau lakukan saat hari itu."

Laki-laki itu membatu, tidak tahu apa yang harus ia jawab untuk menyangkalnya. "Maaf." Yang ia lakukan hanyalah kembali meminta maaf.

Hari ini ia sangat mudah mengucapkan kata maaf, entah sudah berapa kali ia mengucapkan maaf kepada [Name]. Padahal ia bukan tipe yang mudah mengucapkan kata maaf, bahkan pada orang yang telah merawatnya selama ini.

"Lepaskan aku." ujar [Name] pelan.

"[Name]—"

"Lepaskan kataku!" Dengan sekuat tenaga [Name] membebaskan diri dari pelukan laki-laki itu.

[Name] melangkah mundur, berbalik menghadap ke pemandangan langit yang kian menggelap kala sang mentari kian tenggelam, pergi beristirahat setelah sehari penuh ia menemani para manusia di bumi.

Dan [Name] ingin seperti sang mentari.

Ia ingin segera beristirahat, ia sudah lelah. Bukan lelah karena menemani para manusia, tapi ia lelah menghadapi mereka semua. Entah secara fisik maupun secara mental. Ia sudah lelah dengan semuanya.

Ia ingin segera beristirahat. Jika bisa, ia ingin beristirahat selamanya. Hingga ia tak perlu lagi menghadapi para manusia melelahkan itu.

Kedua kakinya ia angkat, berjalan dengan lunglai menuju tempat yang sebelumnya ia duduki. Tempat yang paling ujung dari area atas gedung ini. Serta tempat yang cocok untuk ia melompat dari sini.

"Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?!" teriak sang laki-laki, ia berlari untuk menarik tangan [Name].

"Memangnya apa lagi yang dilakukan orang bodoh sepertiku? Lagipula aku tak dibutuhkan oleh dunia." Dengan cepat [Name] menghempaskan tangan sang laki-laki. Raut wajahnya terlihat lelah, air mata yang telah mengering kembali basah.

"[Name]!!"

"Lebih baik kau pergi dari sini, agar kedepannya kau tidak mendapatkan masalah karena diriku."

"Tidak. Tidak akan sebelum aku membawamu turun dari sini. Tolong [Name], jangan bertindak gegabah seperti ini." ucapnya meyakinkan [Name] untuk berhenti.

"Gegabah? Mungkin iya, tapi sejak 3 tahun yang lalu aku sudah berpikir untuk segera mengakhiri hidupku. Tapi aku menundanya."

"Apa kau tidak bisa menundanya kembali?"

"Sayangnya tidak." [Name] tersenyum lembut, senyuman yang sudah lama tak ia tunjukkan kepada orang lain.

"... Apa kau ingin menghilangkan bebanmu terlebih dahulu sebelum melakukannya?" tawarnya. Mungkin itu lebih terlihat seperti mengulur waktu.

[Name] terdiam, tawaran laki-laki itu terdengar menarik. Tapi, ia tidak terbiasa menceritakan apa yang ia alami kepada orang lain. Bisa dibilang, ia buruk dalam berinteraksi atau bercerita.

"Maaf, aku sebenarnya ingin, tapi aku tak terbiasa bercerita. Jika kau berkenan, kau bisa membacanya di buku harianku. Itu ada di dalam tasku. Aku harap kamu tidak mengatakan kepada siapa-siapa setelah membaca itu semua. Untuk kali ini saja." [Name] kembali tersenyum, binar matanya yang telah hilang kini kembali bersinar. Sungguh terlihat begitu indah, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona. Serta kepercayaan yang sebelumnya sudah hancur lebur kini kembali bangkit.

"Sekarang aku bisa pergi 'kan?" tanya [Name] lembut. Wajahnya begitu lelah. Matanya terlihat begitu sayu. Senyuman di wajahnya bahkan terlihat dipaksakan.

"Aku memang tidak ada alasan lebih untuk menghentikanmu, [Name]," ucap laki-laki itu. Suara serta tatapannya juga ikut melembut.

"Tapi, aku cukup senang dengan waktu yang kau berikan." sambungnya dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya.

"Terima kasih, dan maafkan aku, Nakahara Chuuya ... -kun."

Ia menghilang. Menghilang bersama angin malam yang berhembus kencang. Menghilang dari hadapan sang laki-laki dengan surai senjanya yang bergerak melambai-lambai.

Matanya terbuka lebar, terkejut mendengar ucapan terakhir [Name].

'Ia ... ingat dengan namaku ... ?'

"Pfft, kenapa ia bisa-bisanya berbohong tidak mengenalku? Aneh, dasar gadis cengeng yang aneh." Nakahara Chuuya, Chuuya dia tertawa. Menertawakan kebodohan apa yang dilakukan oleh sang gadis, dan juga menertawakan kebodohan dirinya sendiri.

— END —

KLISE?
ANEH?
PLOT HOLE?
MAAPPPP BGT YA😭🙏

Memang, dalam perencanaan Swastamita itu suka berubah-ubah di tengah pengerjaan. Bahkan pas mau ending masih bingung mau mati atau engganya😞💔

Suatu saat kalau semisalnya aku ada niat, aku rombak besar²an ini book 👎

Unsur musiknya di mana?
Jadi, awalnya aku berniat bikin songfict, lagunya apa? My R—

Tapi sepertinya melenceng ya? Maap:((

Tapi yang penting, BOOK INI SELESAI UYEYY🎉🎉

Terima kasih banyak kepada Readers ku yang setia baca Swastamita😩❤️❤️

Btw, ini tanpa revisi, jadi kalau ada kesalahan tolong beritahu ya🙏

Psst, psst Halu_Project chap akhir katanya besok aja ya? Udah malem😃

Bai Bai💗💗
[ 7 Des 2021 ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro