I Just Couldn't Save You Tonight

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⋇⋆ 𝐀𝐜𝐭 1 : 𝐆𝐮𝐦𝐮𝐬𝐬𝐞𝐫𝐯𝐢 ⋆⋇

31 Desember 20xx,
Di pinggir sungai

Pukul sepuluh malam. Termangu menatap pantulan rembulan, ditemani oleh cuaca yang semakin dingin tiap helaan napas beserta rasa geli di dada.

Aneh. Satu kata yang dapat mendeskripsikan keadaannya saat ini.

Gadis itu sudah merelakan kepergiannya. Tetapi, di sisi lain, ia masih mengharapkan kehadirannya.

Dia masih menginginkan pelukan hangat pria itu.

Suaranya masih menggema di tiap lorong kepala.

Bagaimana tawa riangnya kala gadis itu melontarkan lelucon kecil.

Bagaimana tiap detik berlalu begitu cepat ditemani orang terkasih yang telah pergi itu.

Bagaimana tiap dekapan serta kecupan singkat mengakhiri pertemuan mereka.

Sungguh, ia rindu dengan semua hal kecil namun manis tersebut.

Pantulan rembulan pecah akibat semilir angin yang berhembus kencang. Kulitnya terasa dingin akibat sentuhan Si Angin nakal itu.

Gadis—[Name]—mendesah; menghela napas panjang nan berat. Rasanya teramat kesal dengan suasana pada malam detik-detik pergantian tahun itu. Jika saja dia tidak membuat janji apa pun, dia pasti sedang tidur cantik berbalutkan selimut berbahan lembut yang menambah nyenyak tidurnya.

"Mengapa pula aku membuat janji dengannya?" [Name] mengacak rambut temaramnya penuh rasa kesal.

Kantuk mulai menyerang. Tinggal menunggu waktu baginya menang dan mengambil kesadaran [Name].

Netra sayu [Name] kembali menatap ke bawah—ke arah pantulan rembulan berada. Gadis itu mengedarkan pandangannya, mencari tempat untuk sekadar bersandar dan mengistirahatkan dirinya sesaat.

"Andai saja dia ada di sini."

Menarik dirinya dari kolam perandai-andaian, [Name] memejamkan matanya. Mulai terlena dengan suasana nyaman di sekitarnya, [Name] pun terlelap dengan rasa lelah akibat detak jantung jam.

***

Satu jam lamanya [Name] tertidur pulas di bawah pohon. Perlu diketahui bahwa terlelap di bawah pohon bukanlah tindakan baik.

Mengapa? Karena, pada malam hari pohon menghasilkan karbondioksida yang bilamana terhirup dapat berakibat buruk bagi kesehatan tubuh.

Seharusnya, [Name] paham akan hal sederhana itu.

Kelopak mata terbuka perlahan. [Name] menguap kecil sembari merenggangkan tubuhnya. Ia gosok kedua matanya, mengerjap-ngerjapkan netranya—menyamakan pantulan cahaya rembulan.

[Name] kembali menguap. "Lama," gumamnya mulai tak sabaran.

Tak ada yang dapat [Name] bicarakan. Lagipula, dia ingin berbicara dengan siapa? Angin? Jangkrik?

Bosan menunggu namun tak ada pilihan lain, [Name] pun berdiri dari duduknya, merenggangkan badan untuk kesekian kali, lalu pergi mengelilingi danau. Kaki melangkah, pikiran menghilang, mulut terus bergumam—hanya itu yang dapat [Name] lakukan.

Satu putaran penuh yang melelahkan membuat [Name] kembali terduduk. Menekuk lututnya, menghela napas dan mengeluh.

Hanya ada satu hal yang dapat [Name] lakukan saat ini. Menatap pantulan rembulan ditemani serangga kecil yang memainkan alat musik mereka.

⋇⋆ 𝐀𝐜𝐭 2 : 𝐖𝐢𝐬𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐧𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 ⋆⋇

11:11.

Angka kembar yang tak ada artinya, tidak begitu spesial, hanya sebuah angka biasa.

"Dimana Satoru?"

Kembali mengeluh—entah apa yang ia keluhkan. [Name] mengacak-acak rambutnya, frustasi.

Perasaan hangat itu muncul. Menjadi pertanda tersendiri bagi yang merasakan.

"Tch, aku tidak merindukanmu. Sama sekali tidak!"

Samar-samar terdengar suara tawa kecil; kekehan. Udara dingin seakan dibakar, berubah menjadi lebih hangat. Apalagi setelah [Name] mendapatkan apa yang dia harapkan. Sebuah elusan pada pucuk kepala.

"Sudah menunggu lama?"

"Aku menunggumu dari jam sepuluh tepat, lho, Satoru," jelasnya diakhiri decakan sebal.

Gojo—tanpa disuruh—duduk di samping [Name], membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Kembali mengacak gemas surai [h/c] si gadis.

"Udaranya dingin. Kenapa kau tidak memakai pakaian yang lebih tebal?"

"Malas."

"Kau bisa sakit, [Name]."

"Biar saja. Biar aku dapat perhatian lebih darimu," celetuknya, mengarah pada candaan.

"Apa aku harus menikahimu sekarang juga, ya?"

Wajah [Name] memanas. "Aku hanya bercanda!" serunya sambil memukul-mukul paha Gojo.

"Aku juga."

"Hah?"

"Aku juga hanya bercanda," sambung Gojo, tersenyum jahil.

[Name] membeku di tempat, memproses ulang kejadian yang baru saja ia alami. Dia kembali meledak, menyumpah serapahi dirinya sendiri.

[Name] menghela napas. "Aku marah padamu."

Gojo tertawa, lebih tepatnya meledek melalui tawanya. "Karena candaan ku tadi?"

"Bukan." Dia menggeleng. "Kau terlambat dan aku marah."

Pria berkepala dua dengan penutup mata itu terdiam. Benar-benar bungkam ketika mendengar pernyataan [Name]. Bahkan, kata maaf tidak mampu keluar dari tenggorokannya, tersangkut di sana akibat rasa bersalahnya.

Hening.

Suasana menghening sesaat.

Suara bising serangga, tiupan angin, dan yang lainnya tidak terdengar lagi. Pendengaran mereka seperti disumpal oleh kapas seberat satu ton.

Gojo tertawa lagi, kali ini terdengar kaku. "Maaf, maaf. Maaf membuatmu menunggu lama, [Name]."

Meski kata maaf keluar dengan mudahnya, Gojo maupun [Name] tahu bahwa mereka sama-sama tidak membutuhkan kata-kata itu.

"Iya, tak masalah."

Kebisingan dalam senyap membuat [Name] semakin lelah. Melirik melalui ekor matanya, penasaran dengan kegiatan yang dilakukan si pria.

"Percuma," gumamnya.

"Huh? Kau mengatakan sesuatu?"

Bola mata diputar, pertanda lelah. [Name] memalingkan wajahnya, bertopang dagu. "Buka penutup matamu."

"Untuk apa?"

"Buka saja."

Tak biasanya [Name] meminta hal aneh seperti itu.

Segera Gojo kabulkan keinginannya. Mungkin saja, [Name] merindukan netra indah sang pria.

"Sudah. Lalu?"

Atensi [Name] kembali tertuju pada Gojo. Memalingkan wajahnya—kembali menatap lawan bicara, [Name] meraih pipi; rahang Gojo.

"Indah."

"Kau selalu mengatakan hal yang sama setiap kali melihat mataku," balas Gojo, menghela napas.

Si gadis terkekeh. "Biar saja. Toh, aku menyukainya."

Gojo hanya tersenyum. Suka dengan pujian sederhana yang diutarakan padanya.

***

"Sudah 11:11," celetuk [Name], menghitung mundur detik pergantian tahun.

"Tahu tidak?"

"Tidak. Memangnya apa?"

"Katanya, jika kau membuat permohonan di jam 11:11, maka permohonanmu akan terkabul," jelas Gojo dengan niat iseng.

"Benarkah?"

"Tentu saja. Buatlah permintaan," titahnya diakhiri senyum jahil singkat.

Si gadis menutup matanya, menyatukan kedua telapak tangan dan mulai mengucapkan permintaannya. Setelah kelopak mata dibuka, Gojo—dengan ide iseng baru—berusaha untuk menjahili [Name] lagi.

"Lalu, katanya, jika kau melempar koin ke dalam danau ini, lalu mencium pasanganmu, niscaya hubungan mereka akan langgeng," celetuk Gojo, menunggu respon si gadis.

"Benarkah?"

Gojo mengangguk, "iya, cobalah."

[Name] merogoh saku roknya, menemukan sebuah koin perak di dalamnya. Berdiri dari duduknya, menarik Gojo bersamanya. Di buangnya koin tersebut ke dalam danau, mencium pipi Gojo sedetik kemudian.

Banyak ide jahil lainnya yang Gojo utarakan dan dicoba oleh [Name]. Kasihan gadis itu.

Tetapi, siapa tahu permohonan [Name] benar-benar dikabulkan. Suatu hari nanti.

⋇⋆ 𝐀𝐜𝐭 3 : 𝐇𝐚𝐩𝐩𝐢𝐞𝐬𝐭 𝐘𝐞𝐚𝐫 ⋆⋇

Detik-detik terakhir di tahun tersebut dihabiskan oleh dua sejoli itu untuk bercerita dan bertengkar kecil. Jangan pula lupakan kejahilan yang terus diterima si gadis.

Dua pasang mata menatap ke atas, menunggu tanda berakhirnya tahun. [Name] menguap, kantuk kembali menyapanya.

"Mengantuk?"

"Sedikit."

"Tidur saja," saran Gojo.

"Aku akan ketinggalan acara pergantian tahunnya nanti."

Gojo tidak menjawab, membiarkan [Name] dengan sifat keras kepalanya.

"Satoru," panggil [Name], menyita perhatian Gojo.

"Hm?"

"Tahun akan berganti beberapa saat lagi. Apa kau masih ingin menyimpan rahasia dariku?"

Sayup-sayup terdengar suara tawa yang tertahan, itu berasal dari Gojo. "Rahasia? Aku tidak merahasiakan apapun darimu."

"Kau merahasiakan sesuatu."

"Tidak."

"Akui saja."

Mulut besar Gojo kembali dibungkam. Membuatnya mau tak mau harus membeberkan rahasianya.

"Kalau tidak mau mengatakannya, biar aku yang katakan. Aku sudah tiada, kan, Satoru?"

Gojo tidak menjawab, hanya mengangguk lemah.

"Terbangun di pinggir danau tanpa ingatan apapun kecuali tentangmu, bukannya itu aneh?"

"Malam itu—," Gojo berbeo. Suaranya bergetar seakan ingin pecah. "—Aku tidak dapat menyelamatkanmu," sambungnya.

"Kenapa?" Raut kecewa serta sedih terlukis di wajah [Name]. "Kenapa aku bisa mati?"

"Eksekusi."

Iris [h/c]-nya membulat, tak percaya dengan pernyataan Gojo. Detak jantung [Name] tak karuan, seolah-olah akan meledak.

"Entah apa yang terjadi sampai kepala Desa menjatuhkan hukuman untukmu. Mereka, para warga menenggelamkanmu ke dalam danau ini."

Lengkap sudah serpihan memori si gadis. Tak ada yang perlu ditanyakan atau diutarakan lagi sekarang.

"Aku ingat," gumam [Name] masih terkejut.

Bersamaan dengan itu, kembang api meledak di angkasa, menghiasi langit temaram tak bertuan hari itu. [Name] tersenyum, lega sudah cawan kosong bernamakan rasa keingintahuan dalam hatinya.

"Hei, Satoru, tahun sudah berganti."

"Apa harapanmu tahun ini?"

"Aku sudah memintanya, kok, tadi."

"Apa?"

"Selalu seperti ini, walau jarang."

Senyum tercipta, menambah kehangatan suasana luar ruangan. Gojo menepuk kepala [Name] pelan, mengacak-acak rambutnya.

"Maaf."

"Apa pantas kau berkata seperti itu?"

"Terima kasih, kalau begitu."

[Name] terkekeh. "Terima kasih kembali. Terima kasih atas tahun terindah di hidupku, Satoru."

Lembaran baru terbuka, kapal baru berlayar. Entah insan mana yang akan ikut pelayaran dan yang akan tertinggal. Entah lembar ke berapa yang penuh noda dan yang putih bersih.

Selama lembaran buku belum dikoyak, [Name] tetap akan menunggu waktunya.

Setahun sekali. Pertemuan langka dengan si pria berjuta ide jahil.

Takkan pernah lelah ia menunggu.

***

⋇⋆ 𝐄𝐧𝐝 ⋆⋇

Tell me, Sharon\(^o^)/

° Merindu :

Merujuk pada perasaan utama yang digambarkan dalam fanfict ini. Perasaan rindu tak bertuan; perasaan rindu tak terbatas yang dirasakannya, yang terus menghantuinya.

Perasaan ini pula yang membuat [Name], kalian, para readers berusaha untuk menunggu Gojo.

° Gumusservi :

(n.) Moonlight shining on water.

Yah, kalian tahu lah di dasar danau itu ada apa.

Yap, mayat [Name].

Gak, ya, gak dark:<.

Ini termasuk perumpamaan, jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja.

Kayak gitu, kira-kira.

° Wishing number :

11:11 dipercaya sebagai angka ajaib yang dapat mengabulkan permohonan seseorang, lho.

Bukan hanya itu saja.

Katanya, di suatu negara(aku lupa negaranya apa) ada mitos yang mengatakan bahwa pada jam 11:11, tanggal 11 November, jika kita menghitung sampai angka 11, kita dapat kembali ke 111 tahun yang lalu.

Yah, itu mitos, sih.

Meski tidak dimasukan ke dalam act 2, permohonan [Name] terkabul.

° Happiest Year :

Merujuk pada rasa terima kasih kedua belah pihak atas tahun yang begitu indah bagi mereka.

° I just couldn't save you tonight :

Menunjukkan rasa penyesalan Gojo ketika telat menyelamatkan [Name].

Total words : 1539

Sebenernya, kamu lagi baca fanfict yang belum direvisi, makasih. Saya malas! //helank selamanya//

30 Desember 2021,
Sharon

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro