01. Awalnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang gadis dengan gaya rambut twintail berdiri seraya memandang langit malam dari balik jendela. Di luar sana, tampak keping-keping salju yang mendarat melimburi bentala dengan indahnya. Namun, keindahan itulah yang membuat si gadis belia ini sedih.

Nakano Nisha tidak pernah menyukai salju, musim dingin dan kepindahannya ke kota metropolitan ini. Dirinya sudah terbiasa hidup di Okinawa yang punya iklim subtropis. Berbeda dengan keluarganya yang lebih mudah beradaptasi, Nisha selalu sensitif dengan udara dingin karena mengidap alergi. Bahkan di kamarnya terdapat empat penghangat ruangan.

Nakano Arisa, wanita paruh baya yang melihat kegundahan putri bungsunya dari ambang pintu turut merasa sedih. Arisa meletakkan keranjang berisi makanan di atas meja, lalu menghampiri Nisha dan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Ada apa, Nisha-kun? Kau masih sedih?" kata Arisa seraya memainkan bando telinga kucing hitam yang selaras dengan warna rambut sang putri.

"Mama, aku tidak mau tinggal di Tokyo," rajuk Nisha dengan bibir yang mencebik kesal.

"Tapi ... kita harus tinggal di sini."

Keluarga Nakano pindah ke sini bukan tanpa alasan. Ayah Nisha memang bekerja sebagai Dokter spesialis olahraga di Tokyo. Kemudian Aruka-kakak dari Nisha baru saja mendapatkan beasiswa di Tokyo University.

Awalnya hanya Hikaru yang merantau, dan sekarang Aruka juga. Daripada hidup berpisah-pisah, lebih baik menetap bersama. Pindah adalah solusi terbaik meski si bungsu tidak menyukainya. Mereka yakin, seiring berjalannya waktu, Nisha pasti bisa beradaptasi.

"Saat musim dingin, aku tidak mau berangkat sekolah," ancam Nisha.

Berbeda dengan putrinya yang bersumbu sangat pendek, Arisa menganggapi dengan sabar dan kepala dingin. "Nanti Mama dan Kakak coba carikan solusi dengan pihak sekolah. Mungkin Nisha-kun bisa sekolah secara online."

Nisha mengangguk meski sejujurnya ia belum puas.

"Ne, Nisha-kun. Tolong temani Mama antar kue ini ke rumah sebelah, ya? Kita orang baru, kita pasti perlu banyak bantuan mereka. Yang lain sedang sibuk, jadi cuma Nisha-kun yang bisa menemani Mama."

"Baiklah." Nisha setuju tanpa pikir panjang.

"Yosh, yosh." Satu kecupan lembut mendarat di pipi sang putri. "Anak pintar. Bersiaplah."

Arisa meninggalkan Nisha. Gadis itu menuju lemari dan mengambil jaket tebal, syal, payung dan sarung tangan. Meski Nisha tahu bahwa rumah tetangga mereka dekat sekali, tapi dirinya sangat enggan terpapar udara dingin.

Saat merasa sudah siap, Nisha pun keluar dari kamar. Sangat kontras dengan dirinya, Arisa tidak menambah sandang apa pun di tubuhnya. Wanita itu tetap mengenakan cardigan serta rok yang panjang seperti saat ia mendatangi Nisha di kamar tadi. Padahal yang asli orang Okinawa itu Arisa. Namun, ia tetap baik-baik saja. Memang yang bermasalah adalah tubuh Nisha itu sendiri.

Mereka keluar rumah hanya berdua saja. Kedua pria di rumah ini sama-sama sedang sibuk. Aruka sibuk dengan kursus bahasa Inggris, dan Hikaru dengan pekerjaannya.

Mereka melangkah dengan cepat hingga tak perlu waktu lama untuk sampai di pagar rumahnya tetangga baru. Tertera nama Aomine di sana sebagai penanda nama keluarga mereka. Karena pagarnya terbuka, Arisa dan Nisha langsung masuk dan berjalan cepat menuju ke pintu. Nisha menutup payungnya.

Arisa pun menekan bel. Selang beberapa detik, pintu langsung dibuka oleh wanita berambut cokelat yang sepantar dengan Arisa. Bedanya, wanita itu lebih berisi.

"Permisi," kata Arisa dengan ramah dan membungkuk. Nisha juga mengikuti gestur ibunya.

Nyonya rumah balas membungkuk lantas bertanya, "Ah, iya. Maaf. Tapi kalian ini siapa, ya?"

Seorang pria dengan rambut biru tua dan kulit kecoklatan ikut muncul di sebelah wanita itu. Mendengar suara lembut seorang wanita, dirinya jadi tertarik untuk melihat siapa tamu yang datang. Menyadari bahwa suaminya ikut menimbrung, wanita tadi melemparkan tatapan tajam, mengisyaratkan 'tidak usah gatal!'.

"Kami keluarganya Nakano Hikaru. Kami baru datang pagi tadi. Aku Nakano Arisa, dan ini putriku, Nisha."

"Salam kenal Bibi dan Paman."

Wanita pemilik rumah pun tersenyum ramah. "Ah, maaf, maaf. Aku dan suamiku baru pulang kerja, jadi tidak memperhatikan sekitar kalau ada yang pindahan. Anakku Daiki juga baru pulang main. Namaku Noriko."

Noriko dan Arisa pun berjabat tangan, lalu Noriko mencubit gemas pipi Nisha karena gemas.
Selain anak laki-laki, ia juga menginginkan yang perempuan agar keluarganya lengkap.

"Kalau namaku Hideki." Aomine Hideki mengulurkan tangannya agar dijabat pula.

Arisa pun menyambut tangan Hideki. "Salam kenal Aomine-san. Arisa desu."

"Panggil Hideki saja," pinta Hideki dengan suara yang sangat lembut.

Dasar buaya darat. Awas saja kau, ucap Noriko dalam hati dengan imajiner api di sekelilingnya.

"Eh? Kalau kalian baru pulang, apa kedatangan kami mengganggu? Wassaibiin. Ano, maksudku sumimasen." Arisa meralat permintaan maafnya karena takut kedua orang Tokyo ini tak paham.

"Tidak, kok. Kami sudah cukup bersantai. Kami senang dikunjungi tetangga baru. Bukan begitu, anata?" Noriko bertanya pada suaminya.

"Iya, santai saja. Apa itu tadi bahasa Okinawa?" Hideki peka dengan ucapan Arisa tadi.

"Iya, benar. Kami dari Okinawa. Kami ikut pindah ke sini karena kakaknya Nisha-kun mendapatkan beasiswa di sini," jelas Arisa.

"Ah, ternyata keluarga Nakano orang Okinawa. Aku tak menduga karena suamimu selalu bicara dengan bahasa Jepang biasa. Aku juga tak begitu akrab dengannya."

"Lebih tepatnya aku yang asal sana. Kalau suamiku orang Kyoto."

Hideki menyingkirkan dirinya untuk memberi ruang. "Ayo masuk. Tidak baik mengobrol di depan pintu. Aku buatkan teh, ya? Atau kopi?" tawarnya.

Noriko tambah panas hati, tapi lebih baik begini dari pada ditinggal bertiga saja.

"Tidak usah repot-repot, yang ada saja," jawab Arisa.

"Teh untukmu, dan susu untuk anakmu yang cantik ini. Ayo, mari."

Mereka pun duduk di sofa. Arisa memberikan keranjang bawaannya pada Noriko, lalu mereka lanjut bertukar cerita Sementara Nisha sibuk memindai interior rumah ini.

"Nah, itu Daiki, putra kami satu-satunya." Noriko menunjuk anak laki-laki yang mirip seperti suaminya. Daiki sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Dia seperti fotokopian suamimu." Atisa terkekeh. Itulah mengapa Noriko ingin anak perempuan satu lagi. Barangkali yang satu itu akan mirip dengan dirinya.

"Daiki, mereka keluarga Nakano, tetangga baru kita. Ayo, ajak Nisha-chan main."

Daiki pun membungkukkan tubuhnya menghadap mereka. Arisa tersenyum ramah. Bocah laki-laki itu pun mengibaskan tangannya untuk menyuruh Nisha mendekat.

Tanpa ragu Nisha berdiri untuk menghampiri Daiki. Dia sangat antusias punya kenalan baru. Mereka pun memisahkan diri di ruang tengah.

"Berapa umurmu?" tanya Aomine pada Nisha. Pasalnya, gadis itu terlihat sangat mungil.

"Aku 12 tahun."

"Hee?" Aomine terkejut mendengar jawaban itu.
"Berarti kau seumuran denganku. Tapi kenapa dadamu tidak sebesar temanku si Satsuki?"

Satu bogem mentah melayang di perut Aomine. "Hentai!!!"

"Sttt! Nanti dikira apa oleh Ibumu."

Terlambat sudah, Noriko sudah menyingkap tirai pembatas.

"Ada apa, Daiki?"

"Tidak." Aomine dan Nisha menjawab dengan serentak. "Kami cuma bercanda." Dan lagi.

Noriko geleng-geleng kepala dan kembali ke ruang tamu.

Daiki menggaruk tengkuknya. Doa baru sadar kalau tetangga barunya ini seorang perempuan, sehingga merasa tak punya permainan yang cocok.

"Hei. Aku tidak punya boneka Barbie, tapi aku punya PlayStation. Apa kau bisa main itu?"

Nisha mengangguk. "Aku juga tidak punya Barbie dan tidak pernah memainkannya. PS? Ayo main PS!!!"

Daiki menyiapkan kasetnya dan membagi stiknya pada Nisha. Mereka memainkan beberapa jenis permainan dengan heboh dan saling berbalas ejekan jika ada yang kalah. Pertarungan itu sangat panas. Keduanya memang sama-sama tipe orang yang 'ngotot' dan merasa dirinya paling hebat.

Sekitar satu jam lebih, suara bising kedua bocah itu tak lagi terdengar. Hideki pun menyingkap tirai untuk mengintip, disusul oleh Noriko dan Arisa di belakangnya. Ternyata anak-anak mereka kelelahan dan terkulai lemas di lantai dengan stik yang masih dalam genggaman.

Bermula sejak malam itulah keduanya menjadi akrab dan bersahabat.

✨⭐✨

Anggota Keluarga Nakano

𓆩ᥫ᭡𓆪 Nakano NISHA

𓆩ᥫ᭡𓆪 Nakano ARISA

𓆩ᥫ᭡𓆪 Nakano ARUKA

𓆩ᥫ᭡𓆪 Nakano HIKARU

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro