06. Berkelahi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

tw : fighting, blood, harsh word, mention of bullying.

✨⭐✨

"Momozono-san, apa kau tidak mau bergabung dengan kami? Aku akan mentraktirmu!" tawar Nisha.

Entah sudah kali ke berapa Momozono Amaya menolak tawaran Nisha dengan gelengan.

Aomine menoyor kepala Nisha karena jengkel. Walau sudah berapa kali ditolak oleh Amaya, Nisha tetap bersikeras untuk mengajak gadis berambut merah muda pucat itu bergabung.

"Nisha, kau itu memaksanya hampir setiap hari. Lama-lama dia muak denganmu. Kalau tidak mau, ya biarkan saja. Ayo," omel Aomine, lalu menggeret tangan mungil gadis itu agar keluar dari kelas. Momoi ikut mengiringi mereka.

"Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja!" bantah Nisha sekaligus menghempas tautan tangan mereka. "Lagi pula, dia selalu murung sendirian. Orang seperti Momozono-san harus dipancing duluan biar mau berbaur. Memangnya kau tidak kasihan dia seperti tak punya teman?"

"Nicha benar, kok. Mungkin dia masih terlalu takut untuk bergabung," dukung Momoi, lalu memeluk Nisha dari belakang.
"Tidak apa, Nicha. Kau jangan menyerah!"

Nisha menggeliat karena merasa tak nyaman dipagut seerat itu.
"Sa-channn! Cepat carilah pacar yang bisa kau peluk-peluk!"

Sementara itu, ada seorang cowok berambut abu-abu yang melewati koridor kelas 1. Haizaki Shogo, ekor matanya sesekali melirik ke pintu-pintu kelas yang ia lewati, pikirnya barangkali ada sesuatu yang menarik.

Setiba di kelas 1-D, langkah cowok itu terhenti ketika menangkap satu-satunya gadis yang tengah menyantap bekal. Momozono Amaya, cewek dengan rambut pink yang lebih pucat dari milik Momoi itu benar-benar ditinggalkan sendirian.

"Cewek?" gumamnya.

Tanpa permisi, Haizaki memasuki kelas itu dan menghampiri tempat Amaya duduk. Dia menarik salah satu kursi agar dekat dengan si gadis."Kau makan sendirian saja, manis?"

Kedatangan Haizaki serta kalimat rayuan itu membuat Amaya jadi merinding ketakutan. Dia ingin kabur, tetapi kakinya terasa berat. Dia pun hanya bisa membentak dengan suara yang pelan, "P-p-pergi!"

"Eh? Setidaknya aku ingin cicip ini dulu." Bola-bola nasi dan sosis gurita milik Amaya pun dicomot Haizaki dengan tangan kosong.

Pasrah, Amaya pun berkata, "B-bawalah semuanya tapi jangan ganggu aku!"

Haizaki menyeringai, lalu melanjutkan menyantap makanan milik gadis polos itu. Dia sebenarnya tidak lapar, dia hanya ingin mencurinya.

"Astaga, ketinggalan!" Nisha menepuk jidatnya lalu beranjak dari bangku kafetaria.

Aomine dan Momoi serempak bertanya, "Apa yang ketinggalan?"

"Surat keterangan sehat dari Dokter! Itu harus dikumpul ke pelatih lariku saat istirahat. Jaa!" Nisha segera berlari meninggalkan kedua temannya untuk kembali ke kelas.

Bekal milik Amaya masih tersisa sedikit. Sementara sang empu hanya terduduk pasrah dengan menggenggam erat roknya sambil menahan tangis. Dia tidak sanggup berdiri, dia tidak bisa menghindar. Juga, dia takut Haizaki akan semakin marah kalau coba-coba untuk kabur.

Ingin sekali Amaya berteriak pada orang lewat, tetapi suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Sempat ada beberapa yang melihatnya, sialnya orang itu hanya acuh atau malah tersenyum-senyum, mengira kalau mereka berpacaran.

Haizaki tersenyum puas, lalu mencolek pipi Amaya. "Kau imut juga, sudah punya pacar belum?"

Amaya refleks menampar Haizaki, tetapi dengan refleks yang sama cowok itu mencegah. Haizaki tertawa mengejek. "Kalau belum punya pacar, aku masih lajang. Aku ini tampan loh."

Nisha tiba di kelas dengan timing yang pas, lantas berteriak dengan lantang. "WOYYY!!!"

Dua orang itu menoleh.

"Brengsek!!!" Nisha yang kepalang kesal pun mengambil kursi terdekatnya, lalu secara impulsif melemparkan benda itu pada Haizaki. Amaya menjerit ketakutan dan baru punya keberanian untuk lari dari sana, ingin mengadu pada siapa pun orang yang lewat di koridor.

Lemparan pertama berhasil Haizaki hindari, tetapi lemparan kedua berhasil mengenai kepalanya.

"Beraninya kau mengganggu temanku!!! Apa kau mau kubuat masuk UGD??? Mati kau, anjing!!!"

Nisha menghampiri Haizaki, lalu menariknya ke area depan papan tulis agar bisa menghajar lebih leluasa. Haizaki yang masih punya sisa-sisa kekuatan pun meladeni Nisha, mereka berbalas serangan membabi buta tanpa pandang bulu. Meski tinggi badan mereka terpaut jauh, tetapi Nisha dapat mengimbangi serangan Haizaki; karena memang sudah sering.

Sementara Amaya yang berpapasan dengan Akashi dan Midorima pun meminta pertolongan. Gadis itu langsung menarik tangan Akashi, mengarahkannya masuk ke kelas.

"Hentikan!" ucap Akashi dan Midorima serentak. Mereka sangat ngilu melihat wajah keduanya yang sudah memar dan berdarah. Seragam Haizaki dan Nisha pun sudah compang-camping tak keruan lagi. Akashi dan Midorima sama-sama melerai keduanya hingga benar-benar terpisah.

"Kau ini kan-" Midorima lupa-lupa ingat. Setahunya, ia pernah bertemu dengan cowok rambut abu-abu yang tubuhnya ia tahan itu.

"Haizaki, apa kau tidak punya malu karena berkelahi dengan perempuan?" tegur Akashi, tangannya masih menahan tubuh Nisha dengan erat agar tidak memberontak lagi. Ya, dia tahu sosok Haizaki karena juga bergabung dalam klub basket

"Aku tidak akan berkelahi dengan cewek gila itu kalau dia tidak menyerangku lebih dulu!" Haizaki berusaha melepas dirinya dari Midorima, masih belum puas untuk membalas Nisha yang menyiksanya dengan brutal. Di antara keduanya, memang luka Haizaki yang parah karena sempat Nisha hantam dengan kursi.

Nisha menginjak kaki Akashi hingga berhasil melepaskan diri, lalu menampar Haizaki bolak-balik. Amarah sungguh menguasai diri.

"Dan aku tidak akan menyerangmu kalau kau tidak menggoda Momozono-san! Dasar otak cabul! MATI SAJA KAU, ANJING!!!"

Baik Akashi dan Amaya sama-sama terperangah dengan sifat Nisha yang terlampau bengis. Selama ini yang mereka lihat adalah Nisha adalah sosok yang ramah dan sering tertawa. Rupa-rupanya, gadis manis itu tampak seperti berandalan.

Takut jika Haizaki mati di tangan Nisha, maka Midorima menggeret cowok itu keluar dari kelas. Nisha yang masih kesal pun berteriak, "Awas kalau kau menginjakkan kaki di kelasku lagi. Akan kukirim kau ke neraka!!!"

Tak peduli dengan luka-lukanya, Nisha langsung memeluk Amaya. Selama ini, dia adalah orang yang paling mengkhawatirkan gadis bermarga Momozono itu karena selalu menyendiri. Ternyata apa yang dikhawatirkan Nisha justru lebih parah.

"Momozono-san, setelah hari ini, kurasa kau jangan sendirian di kelas saat jam istirahat. Tak apa kalau kau tak ingin bergabung denganku atau anak lain. Setidaknya kau jangan di tempat yang sepi karena orang brengsek seperti itu selalu ada di mana saja."

"A-arigatou, Na-kano-san ...," jawab Amaya dengan lirih. Banyak yang ingin ia ucapkan, tetapi ia tak mampu mengeluarkan kata terlalu banyak.

Midorima menginterupsi. "Kau bisa menceramahinya lain kali, tapi sekarang harus ke UKS nanodayo."

Nisha melepaskan Amaya. "Tapi aku mau mengantar surat ke pelatihku."

"Aku yang akan mengantarkannya, yang mana tasmu?" Kali ini Akashi yang angkat bicara.

Bukannya menjawab, tetapi Nisha malah diam terpaku. Dia baru teringat kalau sempat menginjak kaki Akashi dengan kasar agar cengkramannya terlepas.

Sadar akan kecanggungan di antara mereka, Amaya melangkah ke tempat tas Nisha dan mengambilnya. Gadis itu pun menyerahkannya pada si pemilik.

"Terima kasih, Momozono-san." Nisha mengambil surat kesehatan itu dan menyerahkannya dengan ragu-ragu pada Akashi. "... Pelatih yang kumaksud itu Naoki-sensei."

"Baiklah." Akashi melangkah keluar kelas, lalu menoleh untuk sekali lagi. "Midorima, segera antarkan dia ke UKS. Darahnya makin banyak."

Takut kalau Nisha semakin parah, Midorima mengambil jalan ninja. Dia mengangkat tubuh mungil si gadis kucing hitam itu tanpa permisi seperti karung beras. Nisha memberontak tak terima-

"WOYYY!!! KENAPA KAU MALAH COSPLAY JADI DAIKI-KUN??? TURUNKAN! TURUNKAN AKU!!!"

-Dengan bahasa Okinawa yang hanya sedikit Midorima mengerti.

Tak peduli, Midorima terus mempercepat langkahnya. Mereka jadi pusat perhatian beberapa orang karena terlihat seperti orang pacaran, tetapi saat sadar dengan wajah Nisha yang babak belur, mereka mengenyahkan pikiran itu.

Sementara Amaya berjalan mengiringi mereka.

Setiba di UKS, para siswa komite kesehatan yang sedang berjaga pun bersigap memberikan pertolongan, tetapi Midorima mengatakan biar dia saja yang mengurus Nisha. Hitung-hitung sebagai pengalaman awal dari anggota komite kesehatan yang baru. Cowok berambut hijau itu memang mendaftar di sana.

Midorima mulai mengobati luka-luka Nisha. Ada luka di pelipis, sudut bibir dan hidung. Midorima menempelkan kapasnya dengan hati-hati.

"Shhh, perih," desis Nisha.

"Kau jangan berkelahi lagi. Kau itu perempuan, nanti wajahmu hancur-nanodayo," ceramah cowok berambut hijau itu. "Aku tidak peduli padamu, tapi Akashi yang tampak sangat peduli padamu walau kau tadi sempat menginjak kakinya. Aku juga tidak suka kucing."

Nisha menautkan alisnya. "Apa hubungannya dengan tidak suka kucing???"

"Kucing itu di mana-mana suka mencakar dan liar. Barusan aku menyaksikannya sendiri."

"Jadi, kau takut dengan kucing, yaAAAAA!!!" Nisha melengking kesakitan karena bagian yang disentuh Midorima sangat perih.

"Ssttt, pelan-pelan, baka! Nanti dikira apa-nodayo." Midorima menaikkan kacamata dan menyugar rambut hijaunya frustrasi. Sempat ada salah satu perawat yang menyingkap tirai, tetapi Midorima meyakinkan kalau Nisha hanya terlalu lebay.

Tirai dibuka kembali, kali ini Akashi yang masuk ke bilik.
"Aku sudah mengantar surat pada pelatihmu," ujarnya.

Nisha terdiam sejenak sebelum akhirnya berucap, "Terima kasih, Akashi-san. Dan ... maaf soal yang tadi."

Akashi tersenyum, meyakinkan Nisha bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Tak apa-apa, karena niatmu memang baik."

Midorima selesai dengan tugasnya. Cowok itu melepas sarung tangan dan menaruh kotak P3K di tempat semula. Walau lukanya sudah diobati, tetapi sejujurnya Nisha belum lega.

Sepertinya ia akan berbohong lagi.

"Terima kasih Midorima-san. Sudah, kan? Aku mau lanjut makan di kafetaria bersama temanku." Nisha beranjak dari ranjang.

Midorima langsung menatap tajam gadis itu. "Kau ini gila apa? Kau habis kehilangan banyak darah, lebih baik istirahat dulu!"

"Loh? Makanya aku mau lanjut makan di sana biar darahku bertambah lagi."

Tidak salah, tetapi tidak pula benar. Akashi angkat bicara, "Midorima benar, Nakano-san. Kau memang butuh makan, tetapi saat ini kau juga perlu banyak istirahat. Aku yang akan bawa makananmu ke sini."

"Tapi aku tadi sudah merepotkan-"

"Tidak repot," potong Akashi cepat. "Kita teman, kan? Aku senang membantumu."

"Onegaishimasu," ucap Nisha, lalu Akaahi meninggalkan bilik.

Karena diceramahi Midorima lagi, Nisha membaringkan dirinya. Tak lama perawat datang membawa roti dan susu hangat, setidaknya itu manpu untuk mengganjal perut lapar Nisha saat ini.

Akashi kembali lagi dengan membawa nampan makanan Nisha yang sempat tertinggal. Ada nasi, ayam goreng, beberapa mochi mangga dan teh susu yang baru tersentuh sedikit. Diletakkannya makanan itu di ranjang, lalu berkata, "Kata Aomine dan Momoi, mereka akan menjengukmu setelah makan. Tadinya mereka ingin langsung ke sini, tapi aku menyuruh mereka makan dulu."

"Baiklah."

Nisha menyantap makanannya, Midorima diajak berbincang dengan perawat, Amaya pamit entah ke mana. Hanya Akashi yang berada di samping Nisha saat ini.

"Nakano-san tampaknya sudah ahli dalam urusan seperti ini," sindir Akashi, membuat Nisha terkekeh.

"Ya, bagaimana? Ayahku sendiri yang bilang kalau ada yang menginjak kepalaku, injak balik kepalanya! Jangan mau ditindas orang lain, apalagi menangis pasrah."

Prinsip yang mencerminkan sikap mandiri dan berani, sangat bagus dimiliki perempuan seperti Nisha agar dapat melindungi dirinya sendiri. Namun, kalau terlalu brutal seperti tadi, tentunya agak memiliki konsekuensi serius. Terlebih lagi Nisha ini orang yang terlalu impulsif.

"Apa ayahmu preman?"

Nisha mengangkat bahunya. "Entahlah? Yang aku tahu dia mantan atlet sepak bola. Pasti dia tipe pemain yang seperti Sergio Ramos."

Gantian Akashi yang terkekeh. Selera humor Nisha masuk pada dirinya. "Orang bilang, anak perempuan itu mirip ayahnya."

"Tapi bagiku tidak." Nisha tak bisa menampik kalau sifat berani, keras kepala dan gen 'atlet'-nya memang mirip Hikaru. Namun, selain itu semuanya bertolak belakang. Jika mereka memang mirip, tentulah tidak akan ada perang dingin di rumah itu. Nisha bahkan lupa kapan terakhir kali Hikaru menyayangi dan membanggakannya? Seakan anak Hikaru hanya satu; kakaknya.

Midorima masuk kembali ke bilik, disusul oleh Amaya.

"N-nakano-san di-izinkan," ucap Amaya dengan terbata.

"Ah, jadi Momozono-san tadi minta izin? Terima kasih."

Amaya mengangguk dan mengacungkan jempol.

Sejujurnya Nisha, Akashi dan Midorima sama-sama heran. Mengapa gadis berambut pink pucat itu selalu bertingkah gugup?

"Apa kau memang bicara seperti itu-nanodayo?" tanya Midorima.

"Husss, kau ini terlalu frontal! Dan apa-apaan kalung berbentuk stroberi itu nanodayo???" sergah Nisha yang baru sadar dengan aksesoris yang dikenakan cowok itu.

"Cara bicaraku memang begini." Midorima menunjukkan kalungnya. "Dan kalung stroberi ini adalah benda keberuntunganku. Cancer sedang berada di urutan kedua-nanodayo. Aku yakin, zodiakmu pasti di antara yang tersial."

"Hah? Aku bahkan tidak tahu zodiakku apa. Aku lahir 12 April."

Dengan cepat Midorima dapat menebak. "Aries menduduki peringkat tiga terbawah. Lucky itemmu adalah globe."

"Jadi aku harus menenteng-nenteng globe sepanjang hari? Ckckck, yang benar saja." Nisha beralih menatap Amaya. "Mengulangi pertanyaannya yang kurang beradab, tapi apa yang membuat Momozono-san selalu gugup dan menyendiri? Aku selalu penasaran dengan itu."

Suasana jadi hening, Amaya jadi tambah ragu mengatakannya. Saat Akashi mengulang pertanyaan Nisha, gadis itu akhirnya bersuara.

"... A-aku bicara gagap," ungkap Amaya dengan terus terang.
"J-jadi a-aku takut dengan t-tugas kelompok."

Gagap, suatu kondisi gangguan wicara yang menyebabkan pengulangan bunyi dan suku kata. Momozono Amaya mengidapnya sejak lahir, itu membuatnya selalu tidak percaya diri karena ia pernah mengalami perundungan. Makanya, Amaya menarik diri dan selalu menolak mentah ajakan Nisha. Jangan sampai ada orang yang sadar ia bicara gagap, biarlah orang menganggapnya sebagai anti-sosial yang pemalu akut.

Saat diberikan tugas kelompok yang mengharuskan mereka presentasi, Amaya jadi takut. Dia berencana membuat alasan untuk tidak masuk, tetapi apa mungkin ia selalu seperti ini selama tiga tahun ke depan?

Didekati Nisha sebenarnya adalah peluang untuk mendiskusikan ini, apalagi gadis kucing itu tampak sangat peduli padanya di antara siswa lain. Namun karena Nisha yang selalu dekat dengan Aomine membuat Amaya ragu, karena cowok itu di matanya tidak tampak seperti orang baik.

Nisha mengembuskan napas lega. Setelah beberapa hari, terjawab sudah alasan gadis itu selalu menarik diri. Sepertinya ia akan tidur tenang malam ini meski sedang terluka.

"Oh iya, kita ini satu kelompok, ya? Secara kebetulan kita terkumpul di sini." Nisha menepuk bahu Amaya. "Tak masalah Momozono-san, jangan takut dengan itu. Aku pasti akan carikan solusi untukmu."

Amaya mengangguk, hatinya jadi sedikit lebih tenang. Dibalik kejadian buruk ini, ada hikmah yang bisa ia petik; akhirnya ia dapat bicara jujur.

"Karena kita semua sudah berkumpul, alangkah baiknya kita mendiskusikan pengerjaan tugas kelompok itu," ujar Akashi, ketiga yang lain mengangguk setuju.

✨⭐✨

Nisha terbangun, pengaruh obat yang ia minum membuatnya tertidur di UKS. Saat melirik jam yang tertembak lurus di hadapannya, ternyata jam menunjuk pukul 13.40 siang.

"Daiki?!!"

Nisha terperanjat ketika melihat Aomine Daiki sedang tertidur. Posisinya terduduk dan tidak ikut berbaring, hanya kepalanya yang bertumpu di ranjang. Selain jarum jam, suara dengkuran cowok berambut navy itulah yang mengalun di bilik ini.

Ingatannya mundur ke beberapa waktu lalu.

Setelah diskusi untuk menentukan tempat dan waktu-yang pada akhirnya jatuh pada hari Sabtu di perpustakaan kota-Aomine dan Momoi pun ikut menjenguk dengan khawatir. Karena bilik terlalu ramai dan sesak, perawat terpaksa 'mengusir halus' mengurangi orang. Alhasil, tiga orang yang sudah di sini sedari awal pamit undur diri.

Nisha minum obatnya, lalu bercerita panjang tentang bagaimana ia bisa babak belur. Aomine tak hentinya bersungut murka dan bersumpah untuk membalas Haizaki tiga kali lipat, tetapi Momoi berusaha mendinginkan kepalanya karena baginya masalah jangan ditambah lagi dengan masalah, dan mungkin Nisha juga akan kena imbasnya lagi.

Sempat ada pergesekan kecil antar mereka hingga akhirnya Momoi merajuk dan pergi. Setelahnya ... ia tak ingat lagi. Nisha menggigit bibirnya kesal. Kedua sahabatnya jadi bertengkar hanya demi dirinya. Namun, dia pasti akan meluruskan ini.

"Kau memang aho, tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Tak tega membangunkan, Nisha membiarkan Aomine. Gadis berambut hitam bangun dari posisi baringnya, lalu mengambil telinga kucing dan ponselnya di nakas. Dia membuka log panggilan dan mencari nama 'Onii-chan' untuk dihubungi.

Tak butuh waktu lama, Aruka langsung mengangkat teleponnya.

"Ada apa, Nino-kun?"

"Onii-chan, kau di mana?"

"Aku sedang di perpustakaan kampus, Nino-kun. Sebenar, aku keluar dulu."

Nisha tersenyum getir, rutinitas kakaknya ini memang tak jauh-jauh dari belajar. Sedangkan dirinya? Malah babak belur karena berkelahi.

"Ada apa?" tanya Aruka.

Napas panjang diembus dengan berat, Nisha sejujurnya malu mengatakannya, tetapi selain Ibunya, Kakaknya ini yang selalu ada untuknya.

"... Aku takut pulang, Kak. Untuk sementara, aku tidak akan pulang."

Manik hitam yang serupa dengan milik sang adik membelalak. Nisha itu pemberani, bahkan sangat berani menentang ayahnya. Hanya ada satu kemungkinan yang membuat adiknya itu takut—

—Jika Ibunya menangis khawatir.

"Kau ... berkelahi lagi?" tebak Aruka tepat sasaran. Padahal baru beberapa hari ia menasehati kalau jangan berbuat onar di sekolah itu.

"Teman sekelasku yang polos digoda cowok brengsek, dan aku tidak bisa menahan diri. Aku berkelahi dengan si anjing itu sampai babak belur."

Aruka meringis, membayangkannya saja sudah membuat ngilu, apalagi jika Ibu mereka melihat secara langsung. Seumur-umur Aruka tidak pernah berkelahi, tetapi pasti rasanya lebih sakit dibanding jatuh dari sepeda.

Dan Nakano Nisha sangat senang melakukannya.

Tidak.

Tetapi lebih berani melakukannya.

"Kau tahu 'kan harus apa? Bilang saja aku ke rumah Teppei-kun," tambah Nisha.

"Aku akan membereskan barangmu dan mengantarnya sepulang dari kampus jam tiga nanti. Apa sekarang kau sedang di UKS?"

"Iya, aku baru bangun tidur."

"Nanti juga akan kuminta obat dari Papa. Semoga cepat sembuh."

"Iya, terima kasih ...."

Sambungan telepon terputus, Nisha sangat bersyukur punya kakak seperti Aruka, tetapi juga tidak menyukainya di saat yang sama.

Lebih tepatnya iri.

Tirai bilik disingkap, suster datang membawa bungkusan berisi sekotak susu, onogiri dan roti. SMP Teiko memang unggul dalam semua hal, termasuk dalam ruang UKS-nya.

"Nakano-san, kau sudah bangun? Apa kau sudah membaik?" tanya suster itu seraya memberikan yang ia bawa. "Ini untukmu."

"Iya, aku sudah baik. Arigatou gozaimasu."

"Kau diminta ke ruang kesiswaan untuk dimintai keterangan," ujar suster ber-nametag Sawabe Akira itu.

Nisha mengembus napas dan tersenyum tegar. Biar bagaimanapun, ia memang harus bertanggungjawab. "Ah, baiklah."

"Kau berada di pihak yang benar. Jangan takut, kau telah melindungi kaum perempuan."

Senyuman bangga terulas di wajah gadis bertelinga kucing itu.

Tentu saja, sama sekali tidak ada penyesalan dari yang ia perbuat.

✨⭐✨

"Tadaima." Sulung keluarga Nakano memasuki rumah, lalu mendudukkan diri di sofa. Aruka pulang di saat hari sedang terik. membuatnya langsung membuka kemeja, menyisakan kaos dalam berwarna hitam yang sudah basah terguyur keringat.

"Okaeri, Aruka-kun. Minumlah tehnya," sahut Arisa yang tengah sibuk mengurus pemberkasan. Dia ingin kembali mengajar sebagai guru pendidikan Luar Biasa.

Aruka menuangkan es teh yang sudah tersaji di hadapannya. Setelah dahaganya hilang, ia merebahkan diri untuk mengenyahkan rasa penat.

"Mama."

"Iya, Nak?"

"Nino-kun hari ini tidak pulang. Katanya dia ingin menginap beberapa hari di rumah Teppei."

Arisa sedikit terkejut.

"Buru-buru sekali? Bilang padanya, apa tidak bisa ditunda besok pagi? Mama belum sempat menyiapkan apa-apa."

"Tidak bisa. Maksudku, Mama tidak usah repot, aku yang akan siapkan semuanya. Lagi pula, jika Nino-kun bilang hari ini, berarti memang harus hari ini." Aruka sedikit menyesal karena berusaha berbohong pada Ibunya, tetapi lebih baik begini daripada wanita itu tahu.

Arisa mengembuskan napas pasrah. "Ya, adikmu itu memang keras kepala seperti Ayahmu. Nisha-kun juga sudah lama tidak berjumpa dengannya. Tolong, ya, Aruka-kun? Mama masih sibuk mengurus berkas."

Aruka mengangguk. "Iya."

Sulung Nakano itu menatap jam dinding. Sebelum pergi ke rumah Kiyoshi Teppei-sepupunya dari pihak Ayah, ia harus mandi dan membereskan barang Nisha, juga harus mampir ke rumah sakit untuk meminta obat pada Hikaru. Sepuluh menit dari sekarang, ia harus mengisi ulang energinya kembali.

Karena sosok Nisha yang dimiripkan oleh sang Ayah membuat Aruka tergerak untuk bertanya, "Mama?"

"Iya?"

"Apa ... suatu saat Ayah akan menyayangi Nino-kun seperti menyayangiku?"

Arisa menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya si sulung dengan tatapan yang lembut dan intens. Senyum manis pun terukir pada wajah wanita berdarah Okinawa itu.

"Nak, Ayahmu memang tidak pernah benci pada adikmu. Jika dia memang benci, dia tidak akan repot merayu-rayu Nisha-kun agar mau ikut tinggal di Tokyo. Kenapa dia begitu bersikeras? Karena dia tak ingin hanya dekat dengan salah satu anaknya di kota ini."

✨⭐✨

"Kenapa dia begitu bersikeras? Karena dia tak ingin hanya dekat dengan salah satu anaknya di kota ini."

Seiring kereta melaju, perkataan Ibunya masih terngiang di kepala Aruka. Benarkah demikian? Lantas, kenapa sikap Hikaru pada Nisha berbanding terbalik dengannya? Dan yang paling parahnya lagi, Aruka dijadikan 'acuan' kesuksesan yang harus dicontoh oleh Nisha.

Padahal, jelas letak kecerdasan mereka berbeda. Jika Nisha tak bisa pintar seperti Aruka, maka Aruka pun tak bisa menyamai kekuatan fisik gadis kecil itu. Lagi pula, adiknya itu bisa banyak hal; adiknya itu juga punya potensi lain selain lari. Kenapa Hikaru sangat 'berbeda' dengan Nisha?

"Ayahmu memang tidak pernah benci pada adikmu."

Jelas Aruka sangat sulit untuk percaya. Namun setelah melihat empat potret Nisha kecil yang terpajang manis di ruangan baru Hikaru, sulung Nakano itu pun membelalak tak percaya.

Jadi, memang benar, ya?

Sumpah, Aruka tak mengerti jalan pikiran Ayahnya sendiri.

"Ada apa, Aruka-kun?"

Aruka terkejut, lalu menoleh pada sosok di ambang pintu. Nakano Hikaru baru saja selesai praktik.

"Aku minta obat, wajah Nino-kun terluka," pinta Aruka terus terang.

"Dia melakukannya lagi?"

"Benar, tapi bukankah Ayah yang mengajari?"

Kalau ada yang menginjak kepalamu, injak balik kepalanya.

Iya, Hikaru mengerti, tetapi bukan berarti Nisha jadi kebiasaan. "Dia melakukannya demi menolong orang lain lagi?"

"Tentu saja, dia 'kan memang selalu begitu," jelas Aruka. "Teman sekelasnya digoda cowok nakal, jadi Nino menolongnya."

Hikaru melepas kacamata dan mengusap air mukanya dengan frustrasi. Niat hati ingin mengajari Nisha melindungi diri sendiri, malah cenderung dipergunakannya untuk orang lain. Entah kelakuan putrinya ini harus diapresiasi atau dimarahi.

Karena biar bagaimanapun, Hikaru tak tega kalau bungsunya sering dilukai.

Pria paruh baya itu duduk di kursi kerjanya, memakai kembali kacamata. Tangannya dengan cekatan menulis dengan ukiran yang sulit dimengerti. Setelah selesai, ia menyobek kertas itu dan memberikannya pada Aruka.

Kertas itu diterima, Aruka berterimakasih dan pamit dengan membungkuk sopan. Saat sulung Nakano itu telah mencapai ambang pintu, Hikaru tiba-tiba memangggil. "Aruka-kun."

"Ya?"

"Aku akan transfer uang ke rekeningmu untuknya. Selama dia kabur, dia pasti butuh banyak jajan."

Aruka tersenyum getir, diam-diam ia merutuk dalam hati.

Kapan Ayah akan mengerti? Sebenarnya, yang lebih dibutuhkan Nino-kun hanya dukunganmu. Dukung dia jadi atlet sepertimu mendukungku menjadi diplomat.

✨⭐✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro