◆ C H A P T E R 0 4◆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kalian penasaran bagaimana aku mencari uang selama ini, jawabannya tentu saja aku tidak mencari uang.
Aku kan  penyihir  jahat, alhasil kerjaanku itu  menindas seseorang demi mendapatkan pundi-pundi uang.

Tidak deng, aku bercanda. Mana mungkin aku melakukan hal yang tidak terhormat seperti itu.

Caraku mendapatkan uang selama ini tentu saja dengan cara yang adil dan sehat, aku mencari uang dengan membuat obat. Karena aku tinggal di hutan, mencari berbagai tanaman herbal adalah hal yang mudah dijangkau untukku.

Apakah aku menjual obat-obatku sendiri? jawabannya tidak. Dengan wajah buruk rupa seperti ini mana mungkin ada yang mau membeli obatku, aku bekerja sebagai produsen obat saja, setelah jadi, aku akan memberikannya kepada kawanku yang bekerja di apotik, kemudian hasil penjualan kami akan dibagi dua.

"Ini obat yang kau minta kunikida." Aku metakkan sebuah bungkusan berisi puluhan botol kecil itu di meja. Kunikida yang tadinya sedang sibuk mengatur obat-obat di rak menjadi menghampiriku dan mengambil bungkusan tersebut.

"Wah, cepat sekali?" ucapnya kagum. "Padahal tanaman herbal yang kuminta untuk obat ini susah dicari, tapi kamu bisa membuatnya sebanyak ini."

"Hmph, ini berkat kehebatan asistenku, dia tahu di mana aku bisa menemukan  lebih banyak tanaman herbal untuk membuat obat ini di hutan," jelasku bangga.

"Asisten? Ah, maksudmu pria buta yang kau ceritakan itu?"

"Iya, dia memiliki wawasan yang sangat luas. Saking luasnya aku tidak bisa membayangkan berapa banyak buku yang ia baca sebelumnya karena dia tahu banyak hal. Bukankah itu hebat?"

Kunikida menghela napas. "Iya, iya dia memang hebat. Aku tahu karena kau sudah menyebutnya  puluhan kali."

"Jangan salahkan aku, ini salahnya karena dia terlalu mengagumkan bagiku." Aku terkekeh.

"Lalu, apa kau sudah memeriksa matanya? Apa dia buta permanen atau bisa disembuhkan?"

Pertanyaan Kunikida tersebut lantas membuatku terdiam sejenak, mengingat kembali kejadian semalam bahwa aku mengendap-endap ke kamar Ranpo untuk memeriksa matanya sebentar.

Dan hasilnya, matanya itu dapat disembuhkan, karena ia tidak rusak sepenuhnya. Hanya saja untuk menyembuhkan mata, dibutuhkan kekuatan sihir suci tingkat tinggi yang biasanya dimiliki oleh kelasan pendeta, sihirku yang sekarang tidak akan mampu mengembalikan mata Ranpo.

Namun aku sendiri juga ogah meminta bantuan kepada kuil, bisa-bisa mereka malah akan memanfaatkan Ranpo dalam hal yang salah sebab kecerdasan gemilang miliknya. Bagaimana pun juga, Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Bisa, ia bisa disembuhkan," jawabku atas pertanyaan Kunikida. "Hanya saja aku masih belum mampu menyembuhkannya."

"Kalau begitu mengapa kau tidak minta tuan Odasaku si pemilik balai sosial itu untuk menyembuhkannya? Kudengar beliau bisa menggunakan sihir suci juga karena ia mantan pendeta dan kalian berteman baik, bukan?" tutur Kunikida.

Aku menghela napas lelah. " Maunya begitu, tapi setiap aku mengajaknya ke kota dia bersikeras menolak untuk ikut. Dia sangat keras kepala dan aku menyerah. Sepertinya dia takut jika aku akan menyerahkannya ke balai Kota.

"Dia benar-benar lengket denganmu ya ... Kalau begitu sih, susah juga ...." Kunikida turut prihatin melihatku. "Tapi saranku kau harus cepat-cepat membawanya ke kota. Sekarang sudah memasuki musim panas, dan kau tahu sendiri kan bahwa hewan-hewan di sana lebih beringas pada musim ini dan dia bukan pengguna sihir yang bisa melumpuhkan hewan-hewan itu dengan satu petikan jari."

"Kau benar sih, tapi bagaimana caranya jika dia saja tidak percaya padaku setiap aku menyebut kota?" dengusku.

"Kau kan tinggal ikut bersamanya untuk mengungsi ke kota? Yah kalian hanya tinggal sepanjang musim panas saja di sini, tidak masalah kan?"

"Aku tidak mau, nanti orang-orang  kuil sialan itu pasti menggangguku dan dia."

"Yah, Kalau itu sih kau sendiri yang mencari jalan susahmu, Yosano."

Aku hanya merespon dengan berdecak sebal karena perkataan Kunikida benar apa adanya. Tetapi aku tetap tidak ingin kembali ke kota dan bertemu dengan wajah-wajah menyebalkan itu lagi!

"Haah, soal ini akan kupikirkan terlebih dahulu, pasti ada jalan tengahnya," ujarku setengah putus asa. "Sekarang aku harus bergegas pulang, dia pasti menungguku untuk memasak makan siang."

"... Ngomong-ngomong, semenjak ada dia, kau jadi berubah ya, Yosano," celetuk Kunikida tiba-tiba yang membuat langkahku terhenti dan memandanginya dengan dahi mengernyit.

"Apa maksudmu? Aku berubah? Menjadi seperti apa?"

Dan kawanku ini malah tersenyum tipis seolah mengejekku. "Entahlah, Mungkin menjadi cerah sedikit?"

◆◆◆

'Menjadi cerah sedikit ... ya?'

Sejujurnya ucapan Kunikida siang tadi tidak dapat kulupakan, bahkan ketika malam telah tiba, aku sudah memakai piyama dan tengah membaca buku di atas ranjang seperti sekarang.

Aku sama sekali tidak dapat fokus kepada isi bukuku, pikiranku malah terus teringat ucapan itu serta hal-hal yang kualami dulu hingga sekarang.

Saat ini, keseharianku memang banyak yang berubah, akan tetapi aku tidak menyangka bahwa Edogawa Ranpo membawa pengaruh sebesar itu.

Apa lambat laun, hatiku yang telah lama kesepian ini akan berubah juga?

"Yosano!!!!"

Tanpa mengucapkan permisi atau mengetuk terlebih dahulu, Ranpo mendadak memasuki kamarku dengan sahutannya yang riang. Jujur saja aku hampir melempar buku tebal ini ke arahnya karena kaget, untunglah kesadaranku langsung dapet kuraih kembali sehingga aku batal untuk melakukannya.

"Tuan Ranpo?? Ada apa??" tanyaku bingung, sekarang sudah pukul sebelas malam, biasanya Ranpo sudah terlelap di jam segini karena dia sudah tidur dari jam sembilan. Ini pertama kalinya aku melihat ia terjaga di tengah malah begini.

"Bolehkah aku tidur bersamamu? Sepertinya di pohon sebelah kamarku ada tokek, dan dia berisik sekali! Aku sama sekali tidak bisa tidur!" adu Ranpo dengan polos.

"H-hah?"

Yah, sebenarnya tidak masalah, ranjangku ini cukup besar untuk menampung dua orang. Masalahnya ini kali pertama aku tidur dengan seorang cowok! Apa Ranpo tidak merasa malu sama sekali karena harus tidur denganku?

Tapi ya, dengan jalan pikiran Ranpo yang seperti itu sepertinya dia sama sekali tidak menganggapku 'Wanita' sih. Pasti di dalam pandangannya aku hanya seorang pengasuh, dia juga amat polos, jadi mana berani melakukan macam-macam juga.

"Boleh kok, ayo kemari." Aku menepuk-nepuk area kasur sebelahku sedikit keras agar Ranpo dapat meraba di mana aku berada, dan untunglah dia sampai di ranjangku dengan selamat tanpa menabrak apapun.

"Fwaah! Empuknya~!" Helaan napas keluar dari mulut pria itu tatkala dia merebahkan dirinya di atas kasur, dan aku langsung menyelimutinya dengan selimutku.

"Nona Yosano kau benar-benar baik ya! Sudah membiarkan aku tinggal di sini, bahkan sampai merawatku. Kau benar-benar seperti malaikat!"

"Benarkah? Kau hanya memujiku terlalu berlebihan," Kekehku.

"Aku serius! Walau aku tidak bisa melihat wajahmu, tetapi aku yakin kau pasti cantik sekali karena kau sangat baik. Aku bisa merasakan itu!"

Sesaat, aku menjadi terdiam.

Cantik? Benarkah begitu?

Aku meraba wajahku sendiri dan merasakan masih ada bagian kasar pada bekas luka yang buruk rupa itu. Hatiku pun menjadi menciut.

"Kau salah," ungkapku parau. " Wajahku ini terdapat luka yang tidak dapat disembuhkan, jika kau melihatnya. Kau pasti ketakutan."

"Luka?" Ranpo membalas bingung.

"Iya, luka yang sangat mengerikan, kau pasti tidak akan menyukainya. aku ini sebenarnya buruk rupa," dan aku hanya membalas sekenaku sebab aku sebenarnya tidak ingin bercerita lebih lanjut. Imbasnya, keheningan yang canggung jadi menyelimuti kami.

"... Ngomong-ngomong, jika diingat kembali kau belum pernah bercerita padaku seperti apa dirimu," tutur Ranpo memecah kesunyian tersebut. "Bagaimana jika kau menceritakannya sekarang? Kau kan sudah tau  ceritaku, tidak adil jika aku tidak tahu apa-apa tentangmu."

"Aku tidak yakin kau akan menyukainya. Ceritaku tidak terlalu menyenangkan untuk didengar,"tolakku halus.

"Tidaaak! Aku tidak apa-apa! Memangnya kau kira ceritaku itu menyenangkan untuk didengar juga huh? Ayolah Yosanooo!" rengeknya seperti bayi.

Karena aku sekarang sudah tahu betapa keras kepalanya pria bermarga Edogawa ini—dia tidak akan berhenti sebelum kemauannya terpenuhi, maka tiada pilihan lain selain aku menjelaskan padanya tentang masa laluku.

"Dulu aku seorang biarawati di Kuil Agung kota ini, makanya aku bisa memakai sihir-sihir suci sedikit. Tetapi sekarang aku sudah tidak bekerja untuk mereka, semenjak aku difitnah menggoda pendeta kuil." Tanganku mengepal, mencoba meredam emosi yang tiba-tiba muncul megacaukan isi kepalaku karena mengingat kenangan menyebalkan tersebut.

"Padahal pria bajingan itu yang menggodaku duluan, dan dia yang memaksaku. Aku sudah berkali-kali mendorongnya dan tangan menjijikan itu tetap  menyentuhku. Sialannya ketika kami tertangkap basah, tiada yang percaya padaku! hanya karena aku biarawati dan dia adalah pendeta. Memang keparat, benar-benar sialan.

Lalu aku pun diusir dari sana, pihak kuil menyuruhku tinggal di dalam hutan karena aku adalah pendosa  menjijikan yang akan mengotori kesucian kota. Sampai akhir pun aku tetap dicaci maki, bahkan ada yang menyiram mukaku dengan air keras sehingga wajahku pun menjadi seperti ini."

Aku melepas topengku, kuambil tangan ranpo dan mengarahkannya kepada kulitku yang rusak berkat air keras tersebut.

Dari gestur tangannya yang berada di genggamanku, bisa kurasakan ia  terkejut ketika ujung jemarinya bersentuhan dengan luka milikku.

Aku tersenyum pahit. "Sekarang kau sudah merasakannya, kan? Aku ini hanya si buruk rupa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro