୨⎯ 𝑺𝒆𝒄𝒐𝒏𝒅 𝑫𝒂𝒚 ⎯୧

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍰༉‧₊˚.; Day 02  - Sickness.


•——————•°•✿•°•——————•

HERB AND LIPS

feat. MariRosa.

"Sudah kubilang, aku tidak akan meminum ramuan-ramuan dari kakek itu!"

Untuk kesekian kalinya, Marius menepis tanganku yang hendak memberinya obat herbal buatan Artem dalam cangkir keramik itu. Dia memalingkan wajah dan bersidekap selayak anak balita yang menolak memakan sayur.

"Tapi demammu sudah tidak turun-turun selama tiga hari, lho?  Dulu, saat aku diberi obat ini dari Artem, besoknya aku langsung sembuh! " Dan aku masih saja bersikeras mencoba untuk membujuk Pemuda berumur 21 tahun yang bersikap seperti bocah ini.

"Kakek itu pasti menaruh jampi-jampi agar kamu sembuh, Nee-san. Dia berbahaya! Kau sebaiknya pindah tempat kerja saja ke PAX dan menjadi konsultan pribadiku daripada menjadi bawahan kakek dukun itu—Aw! " tukas Marius yang langsung terpotong karena aku menjitak kepalanya pelan. Benar-benar, aku merasa gemas, apa demam memang membuat  seseorang menjadi seaneh ini?

"Nee-san~ aku ini sedang sakit, lho? Masa kamu tega memukul kepala pacarmu yang sedang sakit?"

"Marius Von Hagen, bahkan aku ini tidak memukulmu sekeras itu, jadi berhenti memasang wajah seolah kamu ini korban kekerasan dalam rumah tangga." Aku mendegus sebal. " Lagipula menyebut Artem dengan panggilan aneh-aneh sangat tidak sopan,  dia itu jauh lebih tua darimu, tahu? "

"Ck, siapa suruh wajahnya begitu boros di usianya? Pasti dia itu hanya luarnya saja berumur 29 tahun, tapi sebenarnya Kakek-kakek kuno yang masih percaya bahwa tanaman herbal lebih ampuh dibanding ke dokter! " Walah, bocah ini ditegur bukannya tobat, dia malah semakin kurang ajar.

Aku menghela napas dan melirik ke arah jam dinding kamar Marius, Kira-kira sudah setengah jam kami berdebat dan cangkir yang tadinya hangat itu semakin lama, semakin menjadi dingin.

Hari ini adalah hari senin, seharusnya sih sekarang ini aku sedang  bekerja di kantor dan bukannya malah menetap di Rumah Marius, tetapi Marius yang sudah sakit selama tiga hari tanpa kemajuan itu benar-benar membuatku khawatir. Vincent juga sibuk mengurus keperluan PAX sehingga tidak dapat berada di sisi Marius selama 24 jam, alhasil aku pun yang turun tangan dengan mengambil cuti. Untung saja semua pekerjaanku sudah kuselesaikan sehari sebelumnya sehingga Celestine dengan senang hati memberiku libur untuk beberapa hari.

Liburanku kuputuskan untuk merawat Marius, Vincent mengatakan bahwa dokter mendiagnosa Marius menderita gejala tipes, hal ini dilandasi oleh karena waktu istirahat pria  itu yang tidak teratur dan pola makan yang acak-acakkan. Setelah aku terkejut mendengar hal tersebut, aku segera mengomel kepada Marius dan bocah itu hanya cengengesan.

'Yah, menjadi seorang CEO pasti memang sulit untuk menemukan jam Istirahat, tapi setidaknya perhatikan jadwal makanmu, dong.' untuk kesekian kali aku membatin selagi memandangi Marius yang terbaring lemah di atas ranjangnya tersebut.  Aku langsung merasa gagal menjadi seorang pacarnya karena aku tidak terlalu memperhatikan kesehatan Marius sebelum ini.

Sekarang, aku sama sekali tidak mengerti mengapa Marius menjadi bersikap lebih kekanak-kanakan ketika sakit, lebih tepatnya dia bersikap seperti itu semenjak aku datang ke rumahnya  dan memberi tahu bahwa aku membawa obat herbal yang diberikan Artem untuknya.

Artem memberikan termos berisi cairan obat herbal itu untuk Marius tadi pagi, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi apartemenku. Dari setelan yang dikenakannya yang kulihat saat aku membuka pintu, jelas sekali kalau Artem sebenarnya sedang terburu-buru berangkat kerja, tapi dia masih menyempatkan diri menemuiku untuk memberikan obat Marius karena dia tahu bahwa aku akan ke rumah Marius hari ini. Aku berpikir, setidaknya Marius harus berterimakasih dibanding memasang sikap seperti ini.

Apa jangan-jangan Marius punya dendam pribadi kepada Artem? Atau ada hal lain yang membuatnya tidak menyukai obat-obatan herbal?

Selagi berpikir, pandanganku pun jatuh kepada cairan cokelat di dalam cangkir keramik.  Memang, Obat herbal itu memiliki bau kurang sedap yang menusuk, dulu saat pertama kali Artem menyuruhku minum pun, aku sebenarnya sempat merasa enggan untuk sekadar meneguk sedikit cairan tersebut, namun karena aku tidak enak kepada Artem yang telah mengorbankan waktunya untuk merawatku, aku memutuskan  menahan napas dan meminumnya secara cepat.

Rasanya aneh ketika menyentuh lidah, tetapi akan melegakan setelah melewati tenggorokan, jadi menurutku rasa obat herbal ini bukanlah obat yang terburuk dari obat-obat herbal lainnya. Aku percaya, Marius pun pasti mampu menahan sedikit bau dan rasa tidak sedap dari obat tersebut.

"Sebenarnya apa sih yang membuatmu bersikeras untuk tidak meminum ini? " tanyaku penasaran. Aku menebak, pasti bukan karena Artem alasannya, tetapi ada suatu hal lain di balik itu dan aku ingin memastikan.

Marius terdiam sejenak, kemudian ia mengembangkan senyum seiring menghela napas.

"Dulu sewaktu kecil saat aku sakit, seorang dokter pernah memberikanku cairan obat herbal yang ternyata ada racun di dalamnya, aku hampir mati."

Aku langsung tercengang. "Lho, Kenapa dokter itu memberimu racun?!"

"Usut punya usut, si dokter bersekongkol dengan saingan Ayah. Dia diberi uang banyak untuk mencelakaiku. Yah, kau tahu sendiri dunia ini kejam kalau sudah bercampur dengan urusan bisnis dan politik, 'kan?" Marius tertawa lemah, sebuah tawa yang terdengar miris dan ironi.

Ternyata begitu. Yah, kalau begini sih, wajar sebenarnya jika Marius tidak ingin meneguk obat herbal karena pengalaman buruknya tersebut, namun karena obat ini diberikan oleh Artem, aku percaya tidak akan ada sejenis zat yang akan melukai Marius. Toh, Ini demi kebaikannya. Aku merasa harus mendesak lelaki ini karena aku lah yang sudah merasa kemanjuran khasiat obat herbal itu lebih dulu.

Jadi, harus dengan cara apalagi ya, aku membujuknya tanpa akan menyinggung apa pun dan membuatnya yakin semua akan baik-baik saja?

"... Namun, karena sedari tadi kulihat Nee-san keras kepala agar aku mau meminum ramuan kakek itu, aku menjadi berpikir bahwa aku memang harus meminumnya."

Mataku langsung berbinar. Akhirnya, Marius Von Hagen! Kau mengerti perasaanku!

"... Tapi dengan satu syarat."

Sial, ternyata masih ada kelanjutan dari kalimat Marius, dan yang terburuk, dia menyunggingkan senyum jahil khasnya tersebut.  Aku langsung merasakan dua tanduk timbul di atas kepalanya.

Rencana jahat apa lagi yang sedang dia rencanakan?

Marius langsung bangkit, menyebabkan lap dingin di dahinya terjatuh namun tanganku langsung refleks menangkapnya sebelum benda itu menyentuh lantai. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya kepadaku sehingga hanya menyisakan beberapa inci jarak di antara kami, sungguh, aku bisa merasakan napas lemahnya yang melewati wajahku, ia terengah karena panas, rona merah karena demamnya juga terlihat lebih jelas.

Senyumnya melebar, seolah-olah ia akan mengutarakan sebuah  kejutan briliant yang akan membuatku tak bisa berkata-kata.

"Jika kau memang mau aku meminum obat-obatan itu, maka harus kau sendiri yang harus memberikannya, lho, Nee-san?" jelasnya ambigu. "Aku percaya, bibir manismu itu pasti bisa mematahkan rasa pahit dari obat herbal itu, iya 'kan?"

Bibirku? Mematahkan rasa pahit obat herbal?

Awalnya aku tidak menangkap maksud dari ucapannya, akan tetapi tak lama kemudian aku teringat sesuatu yang membuat kedua mataku lansung terbelak, pipiku memanas dan aku refleks menutup mulutku dalam keterkejutan ketika akhirnya aku menangkap makna dari pemuda ini.

Marius sinting! Masa sih, dia ingin aku melakukan itu!?

"Ka-kau serius?" tanyaku memastikan.

"Yah, aku berdebar-debar sih sebenernya, tapi aku yakin hanya dengan cara ini yang membuatku mau meminum obat itu, hehehe."

Marius, kau memang benar-benar gila.

Dalam pikiranku yang mendadak kacau dan jantungku yang berdebar-debar begitu hebat, aku mencoba menenangkan diri terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang Marius pinta atau aku akan terseret menjadi gila bersamanya.

Baik, ini demi kesehatan Marius. Tidak lebih!

Maka, setelah aku menarik napas dalam-dalam dan memantapkan hati, dengan gerakan cepat, aku meneguk setengah cairan obat herbal tersebut—namun, tidak aku telan.

Kutarik Marius agar lebih mendekat denganku dengan mendorong lehernya, kemudian jarak di antara kami terhapus.

Glup.

Obat itu kini diminum Marius, tentu dengan bantuanku. Rasa pahitnya memang berputar dalam mulutku, namun aku tahu, bukan hanya aku saja yang merasakannya, tetapi kami.

Aku melakukannya berulang-ulang sampai obat herbal dalam cangkir tersebut habis, begitupula napasku dengannya.

Gila, kau benar-benar gila karena mau saja menurut untuk melakukan hal ini, Rosa.

Nah, bagaimana Tuan Muda Marius Von Hagen? Aku yakin sekarang kau pasti sedang tersenyum puas karena melihatku mau-mau saja mengikuti permainanmu.

Lho?

Di luar dugaan, Marius malah terperanjat. Kedua matanya melebar dan wajahnya lebih memerah dari sebelumnya. Ekspresinya seolah mengatakan, 'mengapa kamu melakukan itu padaku?' tetapi, bukannya ini yang dia mau?!

Aku melakukan ini karena aku teringat beberapa adegan drama romantis yang kutonton ketika salah satu pasangan mereka sakit, jadi kupikir ....

"... Nee-san .... Yang kumaksud dari bibirmu adalah kau akan menghadiahkanku kecupan di kening atau di mana pun setelah aku meneguk obat herbal itu sendiri ... tapi tak kusangka, kamu malah langsung mengembat semuanya ....."

ADUH, BILANG DONG DARI TADI!

Sekarang, aku ingin menghilang saja dari muka bumi.

-♡-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro