35: Intens |S4 (Revisi)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading ❤️

***

[Name] POV

Entah sudah berapa kali aku menghembuskan asap rokok melalui hidung dan sela bibirku. Mungkin kurasa, tak lama lagi paru-paruku akan segera rusak dan setelah itu aku mati. Yeah, semoga saja. Karena hidupku yang saat ini benar-benar terasa berat bagiku. Hanya saja, mati dengan cara seperti itu tak beda jauh dengan kabur dari semua masalah.

Aku menghela nafas, beralih menyandarkan punggungku pada dinding dan menundukkan pandangan. Tangan kiri kusimpan di dalam saku celanaku sedangkan tangan kananku senantiasa memegang puntung rokok kala aku ingin menghembuskan asapnya.

"Berhenti menghisap tembakau jika berada di dekatku."

Kedua mata malasku melirik ke samping kanan. Eren berdiri di sana sembari menatap ke arah luar jendela dengan tatapan datarnya. Lantas aku berdecak dan berdecih. "Ini tembakau terakhir, yakinlah."

Karena setelah ini, Eren tidak akan pernah melihat diriku menghisap rokok atau terganggu dengan asap rokokku lagi. Ah, ketika menyadari hal tersebut, aku merasa sebagai orang yang tidak berguna.

Eren sudah menanggung beban yang begitu banyak dan keberadaanku di sisinya adalah untuk saling berbagi beban serta mendapatkan apa yang kami mau. Hanya saja, jika dipersen kan, aku hanya menerima 30% beban sedangkan Eren 70% beban.

Aku tahu dia lelah. Aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia lakukan. Aku ingin mencari solusi lain untuk Eren. Hanya saja, Eren dan diriku tak memiliki pilihan lain. Pemuda ini bak sebuah pion yang bergerak sesuai strategi sang pemain.

"Eren." Aku memanggilnya.

Eren hanya berdehem. Tampak enggan menoleh. Tatapan mata Eren yang kulihat adalah tatapan yang mati. Tidak ada banyak emosi di sana dan aku tidak bisa menjelaskannya menggunakan pra kata.

"Shiganshina sudah membaik sejak tiga tahun terakhir. Kemudian akan kembali hancur seperti sembilan tahun yang lalu. Sangat menyedihkan," ujarku disertai kekehan kecil diakhir kalimat.

Eren melirikku kemudian kembali melirik ke depan. Di luar jendela ini, pemandangan Shiganshina terlihat jelas. Membuat rasa nostalgia masa kecil benar-benar terasa kuat.

"Kau salah. Shiganshina tidak akan sepenuhnya sama seperti sembilan tahun yang lalu. Shiganshina hanya akan mendapatkan sedikit kerusakan. Camkan itu."

Balasan Eren untuk perkataanku barusan cukup tajam sehingga membuat diriku terkekeh.

"Dan setelah itu Shiganshina akan aman selamanya," imbuhku sembari mendongak. Memperhatikan langit-langit ruangan kosong yang aku isi bersama Eren. Keadaan markas pusat Shiganshina tengah ramai. Sehingga kami berdua membutuhkan tempat yang sunyi untuk menenangkan diri usai berbagai peristiwa yang kami alami.

Yeagerits sudah bergerak dan dalam waktu singkat, Yeagerits berhasil menguasai Paradis. Anggota Militer yang telah meminum wine rekomendasi dari Marley pun telah ditahan. Yelena telah mengurus mereka semua dan kini, Floch sudah membawa Hange-san pergi untuk mencari keberadaan Zeke.

Kuharap Hange-san dan kapten Levi baik-baik saja. Lalu untuk teman-temanku, mereka sudah ditahan di penjara bawah tanah bersama Niccolo dan keluarga Shasa.

"[Name], setelah ini jangan pernah ragu untuk membuat keputusan." Eren tiba-tiba berujar, membuat diriku menghela nafas panjang.

"Entah harus berapa kali kukatakan aku tidak akan menghentikanmu dengan cara membunuhmu. Pasti ada car-"

"Kau akan menjadi orang terdepan yang akan membunuhku. Jadi, jangan ragu."

Kebiasaan buruk sahabat kecilku ini adalah ini, dia suka sekali menyela perkataanku dan itu menyebalkan. Bahkan meski sekalipun aku sudah berkali-kali membuat diriku yakin untuk membunuh Eren, ada kalanya aku menolak, memutar otak untuk mencari cara lain

Pada akhirnya Eren berlalu meninggalkanku begitu saja. Untuk kesekian kalinya Eren berbicara tentang kenyakinannya. Entah itu akan terjadi atau tidak, aku akan berusaha mencari cara agar Eren tak sepenuhnya berkorban.

Lantas aku mematikan puntung rokokku dengan cara menginjaknya. Kedua kakiku kembali melangkah usai berdiam hampir satu jam dan menyamakan langkah dengan Eren. Sejenak aku menatap pemuda tersebut dari samping lalu menoleh ke depan.

Langkah kaki menggema di lorong yang aku lalui bersama Eren.

"Kau akan pergi menemui bocah yang membunuh Shasa?" tanyaku.

"Hm. Aku akan menggunakannya untuk memancing penyusup dari Marley untuk keluar. Jejak titan telah ditemukan di dekat dinding Maria yang tak terjaga, jadi, aku yakin cepat atau lambat mereka akan bergerak," jawab Eren.

Aku menepuk pundak Eren lalu mengulas senyuman tipisku. "Semoga sukses."

Eren melirikku. "Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"

Tekuk kuusap lalu aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada dan mengangkat daguku angkuh. "Bertemu dengan teman-teman tercintaku."

"Semoga sukses."

Entah harus melengkungkan bibir ke atas atau ke bawah, hanya saja di satu sisi aku dan Eren memiliki peran masing-masing dan kami saling menyemangati. Namun, di sisi lain pula aku dan Eren memiliki dampak resiko serta akhiran yang berbeda.

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan. Aku harus menyelesaikan tugasku, begitu juga dengan Eren. Eren harus menyelesaikan misinya agar aku, Armin dan Mikasa selamat. Sementara diriku akan membantu Eren menyelesaikan misinya agar semua hal tercapai. Termasuk mimpi dan tujuanku.

"Kuharap ini tidak benar-benar menjadi percakapan terakhir kita. Karena aku berharap nantinya aku bisa menghajarmu habis-habisan untuk melampiaskan semua tindakan dari rencanamu, Eren."

Eren menatapku lalu menyentuh pundakku. "Berhenti berharap."

"Cih." Aku terkekeh.

Aku takkan pernah berhenti berharap sekalipun orang-orang selalu menyarankan.

[Name] POV End

***

Derap langkah menggema di lorong berdindingkan bata. Obor yang menjadi penerangan terus memancarkan cahaya serta rasa hangat. [Name] melangkahkan kedua kakinya sembari memperbaiki posisi senapan yang ia simpan di belakang punggungnya.

Setelah senapan terasa aman, kedua tangan miliknya ia simpan di dalam saku celananya. Kedua mata kelabu miliknya terlihat datar. Tak lama lagi ia akan tiba di depan sel yang menahan teman-temannya. Hanya tinggal beberapa langkah dan-

"Hai, semuanya." Sapaan terucap bersamaan dengan langkah yang terhenti di depan sebuah sel dan disertai senyuman lebar sehingga kedua matanya menyipit.

Mikasa, Connie, Armin, Jean, Niccolo dan keluarga Shasa yang ditahan tampak terkejut dengan kehadiran [Name]. Gadis tersebut menghampiri sebuah kursi kayu yang terletak di pojok lorong lalu menyeretnya dan meletakkannya di depan sel.

[Name] memutar kursi tersebut sehingga punggung kursi berada di depan. Suara gesekan antara kaki kursi dan lantai berdebu menggema. Ia menduduki kursi tersebut, menumpuk kedua lengannya di atas punggung kursi dan meletakkan dagunya di atas tumpukan lengannya.

"Senang bertemu dengan kalian," ucap [Name].

Connie berdecih. Pemuda berambut tipis tersebut mendekati sel dan memegangi jeruji dengan rahang yang mengeras. "Apa yang mau kau lakukan?!"

[Name] terkekeh, menjauhkan dagunya dari kedua tangannya lalu mendongak. Kedua matanya tampak memperhatikan langit-langit lorong dengan sayu lalu kembali menurunkan pandangannya. "Jangan terlalu galak padaku, Connie."

Sepertinya [Name] terlihat berkali-kali lipat menyebalkan di mata Connie. Bahkan, teman-temannya benar-benar melihat seseorang yang berbeda. Sepertinya, topeng yang sudah dirancang tak dipakai dengan benar. Sehingga kecacatan terlihat. Kau ceroboh [Name].

"Jika tidak ada kau bisa pergi sekarang."

[Name] membulatkan kedua matanya ketika mendengar usiran Jean lalu terbahak. "Jangan mengusirku, Jean," sahut [Name].

"[Name], katakanlah yang ingin kau-"

"Armin, gadis ini sudah gila. Tidak usah dihiraukan."

Bahakan [Name] seketika terhenti ketika mendengar penuturan Connie. Kepala [Name] kembali menunduk bersamaan dengan kedua tangan yang jatuh ke masing-masing sisi tubuhnya. Mendadak suasana hati [Name] berubah bersamaan dengan ekspresinya yang berubah drastis.

"Lihat, sekarang dia diam saat menyadari dirinya memang gila."

Hening.

Cukup lama [Name] terdiam. Membuat rasa bingung menghampiri teman-temannya, Niccolo dan keluarga Shasa yang melihat dirinya terdiam.

Namun, tak lama [Name] mendongak. Menatap Connie dengan kedua matanya yang membelak. [Name] sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar. "Mungkin setelah ini kalian bisa menyiapkan satu kamar khusus di rumah sakit jiwa untukku." Lalu [Name] kembali menunduk dan terkekeh.

"Hanya saja, itu pun jika kita masih bisa bertemu," tambah [Name].

"Aku tidak berniat bertemu denganmu lagi. Mati pun kau tak apa bagiku."

[Name] terkekeh. Hari ini, Connie cukup menyebalkan baginya.

"Kau melakukan ini semua pasti ada alasannya." Dibandingkan Connie, Jean lebih pintar ternyata.

[Name] kembali terkekeh dan mendongak. Kedua mata kelabunya menatap Jean, Connie, Armin, Mikasa dan terakhir bergulir pada Kaya. Gadis kecil itu menatap dirinya dari sudut sel dengan tatapan kagetnya. Membuat [Name] melemparkan senyumannya kepada Kaya sehingga membuat gadis tersebut tersentak.

"Bagaimana kabarmu, Kaya?" sapa [Name] sehingga semua perhatian tertuju kepada Kaya.

Niccolo yang melihat interaksi [Name] dengan Kaya langsung berdiri menghalangi pandangan [Name]. Pria Marley tersebut berdiri di depan Kaya sehingga Kaya tak lagi terlihat oleh jangkauan mata [Name]. Mewaspadai [Name] adalah hal penting terlebih saat ini [Name] sudah lagi tak berada di pihak mereka.

"Teman-teman, sebenarnya ada beberapa hal yang sangat ingin kubicarakan dengan kalian. Hanya saja, sepertinya waktuku telah habis. Jadi, sampai jumpa."

[Name] bangkit dari duduknya. Melangkah meninggalkan teman-temannya dan berlalu keluar dari penjara bawah tanah. Saat pintu yang menghubungkan antara lantai dasar dan penjara bawah tanah tertutup, [Name] langsung menyandarkan punggungnya dan sedikit merosot turun bersamaan dengan suasana hati yang kacau.

Jika harus dipukul mundur, ini semua dimulai sebelum senja saat [Name] dan Eren berbicara dengan serius. Mereka berbicara mengenai Eldia, Paradis, dunia dan teman-teman serta orang yang berharga bagi mereka.

853

Satu tahun yang lalu ....

Ruangan ini benar-benar terasa tegang ketika [Name] dan Eren sama-sama melontarkan tatapan datar mereka. Dari sela-sela ventilasi, cahaya siang hari menjelang sore menerobos masuk. Membuat rasa hangat atau tepatnya rasa panas menghampiri situasi yang sudah memanas.

"Katakan, apa yang ingin kau bicarakan denganku." Eren membuka pembicaraan usai saling lempar tatapan dengan [Name].

[Name] menghela nafas. Beralih mengambil satu puntung rokok dari kotak rokoknya yang terletak diatas meja kerjanya. Ruangan kerja [Name] adalah tempat yang menjadi latar belakang pembicaraan [Name] dan Eren saat ini.

Rokok menyala, asap mulai mengudara dan membuat Eren berdecih.

[Name] berdiam diri untuk sesaat lalu menghembuskan asap rokoknya. Gadis tersebut mengangkat kedua kakinya ke atas kursi yang ia duduki dan menekuk kedua lututnya. [Name] meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dan menatap Eren dengan tatapan sayunya.

"Tadi siang, kau bertemu dengan Yelena kan? Di sana pun ada Floch. Apa yang kalian bicarakan dan rencanakan?"

Suasana yang sudah tegang sedari awal kini menjadi semakin tegang usai [Name] mengeluarkan pertanyaannya. Eren yang mendengar hal tersebut menghela nafas. Beralih menyimpan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Eren menundukkan kepalanya dengan kedua matanya yang terpejam.

"Apa saja yang sudah kau dengar?" Alih-alih menjawab pertanyaan [Name], Eren malah melemparkan pertanyaan kepada gadis tersebut.

Asap rokok kembali dihembuskan. [Name] mengalihkan pandangannya ke arah rak buku yang tersusun rapi di sisi kanannya. "Rencana Zeke, Euthanasia, menyelinap ke Liberio, bertemu Zeke, serangan balasan serta Rumbling kecil-kecilan ... kurasa aku hampir mendengar semuanya. Jadi, tidak ada alasan untuk kau tidak menjawab pertanyaanku atau-"

"Atau apa?" Eren menyela, membuat sebuah senyuman tipis terpajang di wajah muram [Name].

"Kabar ini bisa saja langsung sampai ke telinga Hange-san lalu ke militer dan kau berakhir terkena masalah," jawab [Name].

Eren berdecih. Beralih membuka matanya dan memberi tatapan kesalnya kepada [Name]. "Aku akan membunuhmu-"

"Kau tanpa kekuatan titanmu bukan apa-apa. Jadi aku tidak takut sama sekali. Intinya jawab saja pertanyaanku, Eren," desak [Name]. "Lagi pula, apa beranimu membunuhku? Kau tidak akan melakukan itu."

Gadis ini benar. Eren tak mungkin melakukan itu.

Eren menipiskan bibirnya lalu mendongak dan memperhatikan langit-langit ruangan kerja [Name]. [Name] sudah mendengar hampir semua pembicaraan dirinya dengan Yelena dan Floch. Mengelak pun tak ada gunanya dan tatapan [Name] terlihat dengan jelas menunjukkan tuntutan untuk menjelaskan.

"Setelah aku mengatakan semuanya, apa yang akan kau lakukan?"

[Name] terdiam untuk beberapa saat dan kembali menatap Eren. "Itu tergantung dari jawabanmu."

"Aku memilih untuk setuju dengan rencana Zeke dan akan menyelinap ke Liberio ketika kita pergi ke Marley nantinya. Aku akan bertemu dengan Zeke di sana dan membicarakan semua rencana kami untuk kemenangan Eldia Paradis." Jeda sejenak. "Hanya itu."

Secara intens [Name] menatap Eren yang mendongakkan kepalanya. Ketika pemuda tersebut menurunkan kepalanya, [Name] lebih memilih untuk menatap kedua mata Eren. Tepat. Ia menemukan maksud lain dari tatapan Eren.

"Kau memiliki rencana lain kan? Aku yakin kau tak akan pernah setuju dengan rencana Zeke. Euthanasia, aku mendengar Yelena menjelaskan kalau tujuan dari rencana itu adalah untuk memandulkan seluruh ras Eldia. Aku yakin kau tak akan mau melakukan itu," ucap [Name].

Eren berdecak. Gadis dihadapannya ini memang pandai sekali menilai hanya melalui tatapan matanya saja. Tak ada gunanya berbohong.

"Aku akan melakukan Rumbling. Menghancurkan dunia untuk melindungi Paradis. Sudah puas dengan jawabanku?"

[Name] menghisap ujung puntung rokoknya lalu beralih mematikannya dan melempar puntung rokoknya yang sudah padam ke tong sampah yang ada di sisi kirinya. [Name] mengusap wajahnya lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursinya.

"Untuk melakukan Rumbling kau membutuhkan kekuatan Founding titan. Sementara untuk mengaktifkan kekuatan Founding titan kau harus bersentuhan dengan titan berdarah kerajaan. Dengan kata lain, kau membuat dirimu seolah-olah setuju dengan rencana Zeke dan berpura-pura terjebak di bawah tangan Zeke padahal itu hanya alibi sekaligus hal yang kau manfaatkan. Aku benar?"

"Ya."

[Name] terkekeh. Dugaannya benar. "Kau adik yang jahat ternyata," celetuk [Name]. "Hanya saja, jika kau melakukan Rumbling apa hal tersebut akan benar-benar membuat Paradis mendapatkan kedamaiannya dan tidak ada lagi kebencian serta perselisihan di dunia ini? Aku tak yakin untuk hal itu. Terlebih, kau bukanlah tipe orang yang mau merenggut hak orang tak bersalah."

Eren terdiam. Tampak mencerna perkataan [Name] dengan baik. Lalu pemuda tersebut menghela nafas dan memperbaiki posisi duduknya. "Bukankah kau ingin musuh hancur? Lalu kenapa kau malah membahas tentang hak orang tak bersalah? Ini aneh saat aku tahu kau masih memiliki rasa kemanusiaan untuk musuh."

"Aku memang ingin musuh hancur, tapi, dalam artian hancurnya militer mereka sehingga mereka semua tak lagi memiliki senjata untuk melindungi negaranya. Bukan dengan cara membantai masal umat manusia," jelas [Name]. "Genosida tidak pernah dibenarkan."

Suasana kembali hening. Pembicaraan [Name] dan Eren cukup intens ditambah dengan mereka berdua yang saling melemparkan tatapan nyalang masing-masing. Air wajah Eren terlihat ingin menjelaskan semuanya hanya saja ada sedikit keraguan di wajah Eren sehingga membuat [Name] mengerti. Pemuda ini takut ketika ia sudah menjelaskan semuanya justru respon yang ia dapat dari [Name] adalah sesuatu yang merugikan.

"Kau belum menjelaskan semuanya, Eren. Silahkan jelaskan semuanya karena aku akan berpihak denganmu."

***

Emang sih belum kejawab semua di part ini, jadi tungguin next part karena masih bakal flashback:]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro