43: Aliansi |S4 (Revisi)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Are you ready?

***

"Ibu, ayahku itu seperti apa? Apa dia seperti ayahnya Ellie atau orang lain?"

"Ibu, kapan aku bisa bertemu dengan ayahku?"

"Ibu, kenapa ayah tidak tinggal bersama kita?"

"Ibu, apa aku punya ayah?"

"Ibu, aku ingin ayah sebagai kado ulang tahunku!"

"Ibu, aku ingin ayah!"

"Ibu, aku ingin ayah bersamaku!"

"Ibu, aku ingin melihat ayah!"

"Ibu, aku ingin bertemu dengan ayah!"

Dan sekarang [Name] sudah bertemu dengan ayahnya atas jalan takdir yang tak pernah ia duga sama sekali.

Sederet pertanyaan dan sederet tuntutan yang ia lontarkan pada Merie sewaktu kecil kini telah mengisi benaknya. Pertanyaan dan tuntutan tersebut bagaikan benang kusut yang sudah tak bisa dibenahi lagi. Sederet pertanyaan yang ia lontarkan serta sederet tuntutan tersebut secara tak sadar sudah membuat sang ibu merasakan rasa sakit.

[Name] menghela nafas beralih mengusap wajahnya lalu memejamkan matanya. Saat ini [Name] tengah mengasingkan diri dengan Connie dan Armin yang tak jauh darinya serta mereka berdua masih mengawasi dirinya.

[Name] butuh waktu sendiri. Ia ingin menenangkan dirinya usai peristiwa yang baru saja terjadi. Siapa yang menyangka ia akan bertemu dengan ayahnya di tengah kondisi seperti ini? Ini benar-benar tak pernah bisa [Name] bayangkan sama sekali.

Gadis berambut hitam pendek yang diikat kuda setengah tersebut kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya sudah terlihat sangat lelah saat ini. Tangannya yang terasa dingin bergerak mengeluarkan bandulan kalungnya yang ia simpan di dalam pakaiannya. [Name] kembali membuka kedua matanya dan memperhatikan bandulan kalungnya yang terbuat dari tulang jari Ellie dengan tatapan datarnya.

Ia mendekatkan bandulan kalung tersebut ke keningnya dan kembali memejamkan matanya. Setidaknya dengan begini ia bisa menjadi lebih tenang usai mengeluarkan hampir semua apa yang sudah ia pendam selama ini.

"James ... aku sudah bertemu dengan pria itu. Pria yang pernah kutanya pada ibu berulang kali." [Name] berujar dengan lirih. Nada bicaranya sedikit bergetar saat ini. "Aku berhasil bertemu dengannya James, sekali pun tanpa kau. Aku berhasil saudaraku," ulangnya.

[Name] menarik nafasnya lalu menghembuskannya secara perlahan. "Apa yang akan kau lakukan jika kau ada di sini James? Apa yang akan kau katakan? Apa- apa yang harus aku lakukan James?" tanya [Name] lirih.

[Name] melemaskan pundaknya yang terasa tegang sekaligus bergetar sejak tadi. [Name] sangat ingin menangis tersedu-sedu saat ini. [Name] sangat ingin berteriak untuk menggambarkan seberapa frustasinya dirinya saat ini. Namun, [Name] tidak ingin terlihat rapuh di depan siapa pun.

Bahkan, disituasi seperti ini [Name] selalu berusaha menutupi sisi rapuhnya dengan topeng yang ia buat.

"[Name]."

[Name] tak menoleh ataupun menatap orang yang memanggil namanya. Ia lebih memilih diam dan mengabaikan siapapun itu.

"[Name], tuan jendral mau berbicara denganmu. Ayo kita berbicara-"

"Hange-san, beri aku waktu sendiri. Kumohon." [Name] menyela perkataan Hange dengan cepat. Membuka kedua matanya, [Name] menatap lurus dengan pandangan yang terlihat kosong.

Hange melangkah dan berhenti di hadapan [Name], wanita berkacamata tersebut berjongkok dihadapan [Name] dan memegang pundak gadis dihadapannya. "Aku tahu kau lelah dan terkejut untuk ini semua. Terlebih, aku benar-benar tak menyangka kalau tuan jendral adalah ayahmu. Ini semua terlalu cepat dan tiba-"

"Biarkan aku sendiri." Lagi, [Name] menyela perkataan Hange.

Hange hanya sedang mencoba untuk membuat [Name] sedikit lebih tenang. Lantas Hange mendudukkan dirinya sembari merapikan kuciran rambutnya lalu beralih menatap ke arah Magath, Annie, Mikasa, dan Onyankopon yang menatap ke arahnya.

Hange kembali menatap [Name]. "Katakan apa saja yang ingin kau ceritakan padaku, [Name]. Kau sudah kuanggap sebagai adikku, jadi tidak usah segan untuk bercerita denganku."

Sontak [Name] menatap Hange dengan tatapan datarnya. "Kalau kukatakan aku sangat ingin menghajar lalu membunuh pria itu, bagaimana reaksimu?"

Pertanyaan [Name] sontak membuat Hange bungkam seketika. Wanita berkacamata berpangkat komandan di dalam resimen Pasukan Pengintai tersebut mengulas sebuah senyuman tipisnya. "Aku akan menghentikannya. Bagaimanapun, membunuh orang tak bers-"

"Dia bersalah," sela [Name]. "Dia menyakiti ibuku, dia menjadi penyebab atas kematian ibuku, Ellie, James dan rekan-rekanku lainnya. Dia yang menjadi penyebab mengapa aku seperti ini. Dia bersalah, Hange-san," ujar [Name] dengan suaranya yang bergetar.

Malam ini terasa panjang dengan sederet cerita. [Name] tidak menyangka jika ceritanya akan sekacau ini. Pada akhirnya [Name] tak mampu lagi menahan air matanya. Ia kembali membiarkan air matanya turun begitu saja.

Gigi Hange bergemelatuk saat menyadari dirinya tak bisa membuat gadis dihadapannya ini tenang. Lantas Hange mendongak dan memperhatikan dahan-dahan pohon besar yang menghalangi pemandangan langit dengan kedua mata yang terlihat sendu.

"Ketika kau menerima sesuatu maka kau harus siap kehilangan sesuatu. Begitu seterusnya." Hange berujar. "Aku menerima banyak hal juga kehilangan banyak hal, [Name]. Aku juga pernah bermimpi memiliki dunia yang dam-"

"Aku tidak akan bergabung dengan Aliansi."

Hange yang perkataannya disela oleh [Name] begitu saja lantas berdecak dan menatap gadis tersebut dengan tatapan kesalnya. "Aku belum selesai berbicara, bodoh!" ketus [Name].

"Lanjutkan."

Hange menghela nafasnya lalu beranjak berdiri sembari terkekeh. Wanita berkacamata tersebut memberi isyarat kepada Armin dan Connie untuk menjauh. Membiarkan dirinya dan [Name] berbicara berdua saja dalam keadaan hening saat ini.

"Balas dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah apapun. Sebesar apapun pembelaan kita, pembantaian massal tidak pernah dibenarkan. Kita harus menghentikan Eren karena bagaimanapun ini salah. Eren tak seharusnya melakukan pembantaian massal seperti ini."

[Name] terdiam sejenak ketika mendengar perkataan Hange. Gadis tersebut kembali menyimpan bandulan kalungnya ke dalam pakaiannya lalu mendongak dan membalas tatapan Hange dengan tatapan datarnya.

"Apa anda memiliki cara lain selain Rumbling? Apa anda bisa membuat Paradis aman dari serangan dunia? Apa anda bisa menjamin keamanan Paradis?" Pertanyaan beruntun [Name] lontarkan.

[Name] rasa, Paradis tak memiliki cara lain dan Rumbling tetap akan menjadi senjata terkuat saat ini. Menyerahkan tugas ini pun kepada generasi selanjutnya membuat [Name] tak yakin hal itu berhasil.

"Kenapa anda diam? Anda tidak bisa menjawabnya kan?" [Name] berdiri dari duduknya lalu menepuk celana belakangnya untuk mengusir kotoran yang menempel. "Yang Eren lakukan adalah demi tanah kelahirannya. Dia membela kita dan mengorbankan dunia. Jadi, menghentikan Eren pun percuma."

"Aku tahu ini salahku karena kunjung tak menemukan cara lain. Hanya saja-"

[Name] berdecak. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia menyandarkan kepalanya lalu memejamkan matanya.

"Semisalnya, jika aku bergabung dengan kalian, keuntungan apa yang aku dapatkan? Apa aku tetap terjamin bisa terus hidup? Anggap saja kita berhasil menghentikan Eren, apa yang akan kalian lakukan setelah itu? Apa kalian yakin setelah itu dunia tidak melakukan perlawanan kembali? Apa kalian bisa menjamin setelah itu semuanya akan baik-baik saja?" [Name] melemparkan sederet pertanyaan yang berhasil membuat Hange bungkam.

[Name] berdecih, tak kunjung mendapatkan jawaban dari Hange ia berjalan meninggalkan Hange. Tidak ada gunanya berbicara disituasi seperti ini. [Name] akan kembali ke distrik dan tidak mau ikut campur dengan aliansi dan sejenisnya. Bahkan hanya untuk menunggu jawaban dari Hange, air mata yang sempat membasahi wajah [Name] telah mengering.

"[Name]! Kau mau kemana?!" Hange berteriak.

[Name] tak merespon dan tetap melanjutkan langkahnya hingga pada akhirnya Mikasa menghadang dirinya sehingga [Name] terpaksa menghentikan langkahnya. [Name] dan Mikasa saling melemparkan tatapan datar mereka serta aura mengintimidasi satu sama lain.

"Menyingkirlah, aku tidak akan bergabung dengan kalian," cetus [Name].

Gabi yang melihat [Name] yang hendak pergi lantas mencoba untuk berdiri dengan bantuan Falco. Gadis kecil tersebut melangkah tertatih-tatih dan berakhir berlutut di samping kanan [Name]. Gabi kembali bersujud, melakukan hal yang sama ia lakukan pada Jean tadinya.

"[Name]-san, kum-"

"Permintaanmu kutolak. Aku tak mau membantu kalian." [Name] memotong perkataan Gabi. "Memangnya, kenapa harus aku? Bukankah kalian saja sudah cukup? Terlebih, jika aku bergabung dengan kalian, nantinya aku malah harus satu pasukan dengan pria itu," tutur [Name] sembari menunjuk Magath yang masih duduk di dekat api unggun.

Sepertinya, malam ini akan penuh dengan cerita dari masing-masing orang yang kondisi dirinya sudahlah tidak baik-baik saja.

"[Name], sekalipun jika harus memilih, aku lebih baik mati demi membela kebenaran daripada mati menyaksikan kemenangan karena sudah membantai umat manusia. Dendam tak akan pernah selesai, kebencian tak akan pernah terhapus sekalipun meski umat manusia di luar dinding dibantai begitu saja."

Perkataan Hange sontak membuat [Name] terdiam. Gadis tersebut menghela nafas, beralih menatap satu persatu orang yang ada di sana. Sekarang, ia harus bertindak sesuai pikirannya atau bertindak sesuai keinginan terakhir Eren?

"Bergabunglah dengan mereka, maka setelah itu kau juga akan bebas."

"Aku ingin kau dan yang lainnya berumur panjang."

"Aku ingin mereka, termasuk kau dikenal sebagai pahlawan dunia."

Sederet kalimat yang pernah Eren lontarkan mendadak memenuhi benak [Name]. Ia beralih memijit pelipisnya lalu berdecak. Ia memejamkan matanya sejenak lalu kembali membuka mata dan menatap Mikasa dengan tatapan datarnya.

"Mikasa," panggil [Name].

"Apa?"

"Kutanya padamu, apa kau siap membunuh Eren untuk menghentikannya?"

Pertanyaan [Name] bagaikan bilah pedang yang menggores kulit. Terasa sakit sekaligus perih. Mikasa tak mungkin melakukan itu. Pasti ada cara lain sehingga ia tidak perlu membunuh orang yang sudah ia cintai sejak lama.

"Membunuh Eren bukanlah satu-satunya cara untuk menghentikannya," tepis Mikasa datar.

"Aku tahu kau tidak akan pernah mau melukai Eren." Sebuah senyuman tipis tercetak. "Hanya saja, Eren sendiri yang bilang padaku kalau ia hanya bisa dihentikan dengan cara dibunuh. Tak ada cara lain termasuk mengajaknya berbicara."

[Name] berbalik. Ia melangkahkan kedua kakinya menghampiri Magath lalu berhenti tepat dihadapan pria tersebut. Ia yang tetap menyimpan kedua tangannya di dalam saku celananya memejamkan matanya sesaat.

"Jawablah pertanyaanku, Mikasa. Aku butuh pendirianmu untuk bergabung dengan pasukan bodoh ini."

Selama ini menurut [Name], Mikasa tidak memiliki pendirian yang jelas. Yang gadis itu lakukan hanyalah melindungi Eren dan Eren. Lalu kini, [Name] ingin melihat Mikasa memiliki pendirian. Pendirian dalam membunuh orang yang selalu ia lindungi jika ingin dunia ini selamat.

Terdengar ironi sekali memang.

"Bagaimana, Mikasa?" tanya [Name] masih dengan kedua matanya yang terpejam.

Mikasa yang masih berdiri di tempatnya tampak berpikir dengan bibir yang bergetar serta gigi yang bergemelatuk. Belakangan ini, [Name] sangat hobi menekan seseorang.

Suasana mendadak menjadi hening. Mungkin saat ini sudah memasuki pergantian hari, tetapi tidak satu pun diantara mereka yang pergi untuk tidur karena berbagai kejadian dramatis yang terjadi.

"Kau tidak siap, Mik-"

"Aku siap membunuh Eren."

Jantung berpacu dengan cepat ketika [Name] mendengar jawaban Mikasa. Tangan yang disimpan di dalam saku celananya mengepal dengan kuat bersamaan dengan kening yang berkerut. Mikasa siap mengorbankan cintanya demi menyelamatkan dunia dan membuat Eren berhenti menjadi budak dari takdir.

Bahkan, sekalipun Eren mengatakan ia sudah bebas sejak lahir [Name] tidak yakin dengan hal tersebut. Eren belum bebas. Dia hanya budak dari takdir. Dia hanya pion yang dimainkan oleh seseorang. Bergerak sesuai strategi sang pemain dan hanya akan bisa bebas jika ia sudah mati.

Kebebasan kali ini adalah kematian.

Itulah kenyataannya.

"Aku cukup terkejut mendengarnya," imbuh [Name]. Gadis tersebut membuka kedua matanya sehingga netra kelabunya menatap wajah Magath yang ternyata sudah menatapnya. "Aku mau mendengarkannya sekali lagi. Apa kau siap membunuh Eren, Mikasa?"

[Name] tak mau dirinya salah dengar atau sejenisnya. Ia butuh satu jawaban lagi untuk menyakinkan dirinya pula. Sekarang, jawaban Mikasa adalah kunci dari ikutnya [Name] ke dalam Aliansi.

"Aku siap membunuh, Eren!"

Sebuah senyuman tipis bersamaan tatapan sendu terpajang di wajah [Name]. Gadis tersebut mendongak dan memperhatikan dahan-dahan pohon yang rindang di atas sana. "Aku cukup puas sekaligus kecewa mendengar jawabanmu. Namun, tak apa, setidaknya kau sudah memiliki pendirian saat ini."

"Kau benar-benar gadis yang buruk."

Ucapan Magath sontak membuat [Name] terkekeh. Gadis berusia sembilan belas tahun yang berpangkat kapten di resimen Pasukan Pengintai tersebut terbahak dan menatap Magath.

"Gadis yang buruk berasal dari pria yang buruk. Kurasa kita impas, Tuan Jendral," sahut [Name]. Ia enggan menyebut pria ini dengan sebutan ayah untuk saat ini. "Namun, aku memiliki satu permintaan sebelum bergabung bersama kalian para Aliansi."

"Apa?" Hange langsung menyahuti ucapan [Name].

Wanita berkacamata tersebut berjalan mendekati api unggun dan kembali berhenti di posisi awalnya, yaitu di samping Magath.

"Setelah aku bergabung, apapun yang terjadi, jangan pernah catat namaku di dalam Aliansi. Aku memang akan membantu kalian, hanya saja, kalian tidak perlu menganggapnya ada. Bagaimana?" pinta [Name].

"Apa kau tak mau dianggap sebagai pengkhianat oleh Eldia?" Pertanyaan Annie sontak membuat [Name] menoleh.

[Name] tatap annie sejenak lalu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis kanannya serta terkekeh. "Yap, kau benar. Memangnya, siapa yang mau dibenci oleh rasnya sendiri? Aku tak mau."

"Kau benar-benar licik."

"Begitulah semua orang, kau, aku, kalian semua, dan manusia di dunia ini pasti memiliki sisi liciknya." [Name] menyahuti perkataan Annie.

Pada hakikatnya, memang begitulah manusia. Mereka memiliki sisi kelam masing-masing. Hanya saja, itu tergantung masing-masing orang yang memilikinya.

"Baiklah, aku akan menyanggupinya." Sahutan Hange terdengar tegas sekaligus yakin untuk menyanggupi permintaan [Name].

Gadis bertubuh semampai itu menghela nafas, kembali menatap Magath dan terdiam sejenak. "Namun, sebelum itu ... aku sangat ingin menghajar pria ini!"

BUGH!

BUGH!

Dua pukulan [Name] layangkan ke wajah Magath secara tiba-tiba sehingga membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Tidak ada yang menduga [Name] akan melayangkan pukulan ke wajah Magath secara beruntun.

Armin yang hendak melerai anak dan ayah tersebut langsung dihentikan oleh Hange. Wanita berkacamata ini mengerti mengapa [Name] sangat ingin menghajar Magath. Meski terkesan tak bermoral, tetapi [Name] sangat ingin melakukan itu.

Sembilan belas tahun ia menanti dan yang ia dapatkan hanya kejutan yang mungkin membuatnya kecewa.

BUGH!

Itu pukulan terakhir. [Name] kembali berdiri dan membunyikan jari-jemarinya sembari menghela nafasnya. "Setidaknya dengan begini, keinginan James sudah terwujud dan ... senang bergabung dengan kalian, Para Pencari Kematian."

***

Jalan cerita Aot tuh kaya koin, tergantung kalian lihat dari sisi mananya. Kebetulan aku ngeliat jalan cerita ini dari sisi Eren dan sesekali nyoba lihat dari sisi Reiner dan Marley. Mereka sama-sama menderita sih, saling balas dendam dan dipengaruhi kebencian.

Gak bakal ada habisnya kalau bahas masa lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro