‗ ❍𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑;1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika matahari melambung di atas langit, [Name] selalu menjemput paginya dengan doa agar dijauhkan dari segala kesialan. Hati-hati menjalani hari, hati-hati dalam melakukan sesuatu, hati-hati dalam bersikap, ia selalu berhati-hati. Akan tetapi, sekalipun berusaha untuk berhati-hati tetap saja kesialan datang menghampirinya.

[Name] tak mengerti dengan hidupnya. Padahal ketika lahir, nenek dan kakeknya selalu berkata bahwa keberuntungan pasti akan selalu membersamai. Namun, hal tersebut begitu kontras dengan apa yang sudah ia alami hidup selama 28 tahun sebagai manusia. Hidupnya masih selalu beriringan dengan kesialan.

Terlebih untuk hari ini.

CEO sudah katakan jika mereka hari ini ada rapat penting untuk sambut hari valentine karena ingin mengeluarkan produk limited edition. Seluruh karyawan ditegaskan untuk tidak datang terlambat dalam kondisi apapun. Sayang seribu sayang, keberuntungan tidak memihak [Name].

Ia berpacu dengan waktu ketika sadar jam rapat sebentar lagi, hanya tersisa lima menit. Ketika pintu kereta terbuka, wanita itu berlari usai melepas sepatu heelsnya. Tidak peduli padangan orang-orang melihat dirinya saat ini, yang terpenting [Name] dapat menghadiri rapat tepat waktu.

Sesekali ia melihat jam yang tersemat di tangan kiri. Semenit sudah berlalu dan jantung berdegup dengan sangat kencang. Atasannya adalah orang yang tepat waktu, jika melihat [Name] datang terlambat, habislah dirinya.

Ketika melihat gedung tempatnya bekerja, rasa lega sedikit ia rasakan. Melirik kanan dan kiri, memastikan tak ada kendaraan yang lalu-lalang, langsung saja [Name] menyebrang tanpa memperdulikan lampu lalu lintas pejalan kaki yang masih bewarna merah.

Sebelum masuk ke dalam kantor, ia sempatkan untuk memakai kembali sepatu heelsnya. Jam tangan dilirik, tersisa dua menit lagi. Sial, dirinya kian gelisah!

Saat mendapati lift terpakai, lidah berdecak lalu ia bergegas pergi menaiki tangga. Untung saja ruang rapat dan ruang kerja berada di lantai tiga, jadinya ia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan kondisi kakinya setelah kejadian ini semua.

Menaiki tangga dengan tergesa-gesa, ketika kaki tiba di penghujung anak tangga lantai tiga, tiba-tiba saja kakinya keseleo. Sesaat [Name] terdiam ketika mencerna rada sakit pada kakinya. Tangan yang sudah berkeringat dingin itu memegang pergelangan kaki kanannya dengan kedua mata yang membelak.

Sial, ini sakit sekali, tetapi [Name] tak punya waktu untuk mengobati kakinya. Lantas gadis itu lanjut melangkah dan mengabaikan sakit di kakinya.

Dia akhirnya sampai di lantai tiga dan melihat ruang rapat masih kosong. Sesampainya di meja kerjanya, wanita itu mengatur napas sesaat. Sial, dia seperti akan mati sebentar lagi karena napasnya yang berantakan.

Mendudukkan diri di kursi, tangan meraih tisu dan segera mengelap keringat yang mengucur.

"[Surname]-san? Kenapa kau seperti orang kesetanan?"

[Name] melirik melalui sudut matanya ketika menyadari ada seseorang yang bertanya mengenai keadaannya. Pria berkacamata itu menatapnya dengan bingung.

"Aku baru saja berpacu dengan waktu, Yukimiya-san," jawabnya usai napas kembali teratur.

"Apa kau telat bangun lagi?"

[Name] mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban iya.

"Padahal kau tidak perlu terburu-buru seperti ini jika membaca grup chat kantor. Rapat hari ini diundur jadi nanti siang karena Itoshi-san tiba-tiba ada urusan keluarga."

Rahang lemas ketika mendengar penjelasan Yukimiya. [Name] segera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan mengecek grup chat LINE yang Yukimiya maksud.

Pundak bergetar, [Name] tertawa dan hal tersebut membuat Yukimiya mengerutkan keningnya bingung. Pria berkacamata itu hendak mendekati secara perlahan untuk memastikan kondisi rekan kerjanya baik-baik saja. Namun, belum sempat melangkah, [Name] melempar ponselnya ke atas meja lalu mengusap wajah kasar.

Ini salahnya karena tak membaca pesan grup. Hanya saja ... ah sudahlah, setidaknya jauh lebih baik dirinya sudah ada di kantor tepat waktu daripada terlambat.

Lantas tangan menyugar rambut legamnya dan sudut bibir naik ke atas. [Name] tersenyum pada Yukimiya, "Terimakasih sudah memberitahuku, Yukimiya-san."

Kesialan pagi ini hanya mampu [Name] tanggapi dengan seulas senyuman paksa.

***

Rapat telah berakhir, tetapi pembahasan di luar ruang rapat masih terus berlangsung. [Name] diperintahkan untuk menghubungi petani yang biasanya memasok coklat untuk perusahaan tempat ia bekerja, tetapi hal tersebut tertunda sedikit karena pergelangan kaki kanannya masih terasa sakit.

"[Surname]-san, bisa cetak berkas ini dan setelah itu tolong antar ke ruangan Itoshi-san."

Tangan yang tadinya tengah mengurut pergelangan kaki terhenti, ia mendongak dan mendapati seorang wanita berambut merah muda panjang berdiri di depan mejanya.

"Kirimkan saja filenya melalui LINE, nanti aku cetak-"

"Bisa lakukan sekarang, [Surname]-san? Itoshi-san butuh cepat karena ingin mengajukan proposal kerjasama ini sesegera mungkin. Sementara aku sedang sibuk membuat resep bersama Hana," jelas wanita itu.

Ketika Yuri, wanita berambut merah muda, membujuk [Name] dengan puppy eyesnya kontan hal tersebut membuat [Name] menghela napas panjang. Dirinya tidak bisa menolak jika sudah dirayu seperti itu. Lantas dia terkekeh sesaat lalu mengangguk.

Hal tersebut membuat Yuri melompat kegirangan lalu membungkuk hormat pada [Name]. "Terimakasih, [Surname]-san! Kalau begitu aku pergi dulu!"

Bangkit berdiri, [Name] segera melakukan hal yang diminta Yuri. Tepat sebelum melangkah pergi menuju mesin print, wanita bersurai legam itu mengganti sepatu heelsnya dengan sendal karet yang jauh lebih nyaman digunakan. Nanti, ketika sudah selesai ngeprint, barulah ia akan berganti alas kaki lagi.

***

Knock! Knock! Knock!

"Permisi, Itoshi-san."

"Silahkan masuk."

Ketika mendengar sahutan tersebut, sesaat [Name] merapikan penampilannya agar tidak terlihat buruk di mata pria yang sudah ia sukai setahun belakangan ini. Setelah merasa penampilannya baik, ia bergegas masuk dan berhenti tepat di depan meja kerja Itoshi Sae.

"Ada apa kemari, [Surname]?" tanya Sae tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya.

Ketika mendengar suara bariton milik Sae, sesaat wanita itu terpana. Sialan, mungkin hidupnya penuh sial, tetapi bertemu dengan pria sesempurna Sae adalah anugrah!

"Saya ingin mengantar cetakan proposal, Itoshi-san," jawab [Name].

Tidak direspon cepat, Sae masih menyibukkan dirinya dengan beberapa berkas di meja.

"Saya letak di sini ya, Itoshi-san," tambah [Name] ketika kehadirannya tak diacuhkan oleh Sae.

"Ya, letak di situ," sahut Sae memutuskan komunikasi antara dirinya dan [Name].

Usai pamit, [Name] berjalan keluar dan ketika berada di luar, wanita itu meremas dadanya sesaat.

Bukan sesak yang ia rasakan, melainkan debaran jantung yang begitu meriah di dalam dirinya. Menyukai Itoshi Sae secara sepihak memang penuh dengan ombak tajam, tetapi sejatinya bagi [Name], menyukai Itoshi Sae secara sepihak adalah semilir angin yang menenangkan untuknya di tengah peliknya hidup.

***

"[Surname]-san, apa kau akan langsung pulang?" Tepat pukul tujuh malam, [Name] baru saja hendak berkemas lantaran pekerjaan hari ini sudah selesai.

"Iya, ada apa memangnya, Karasu-san?" [Name] bertanya balik. Wanita bersurai legam sebahu itu lanjut memasukkan laptop ke dalam tas laptopnya.

Hari ini cukup melelahkan dan [Name] ingin segera mampir ke tukang urut untuk mengatasi rasa sakit di pergelangan kakinya. [Name] tidak bisa lagi menahan rasa sakit lebih lama lantaran sudah seharian ini ia diamkan.

"Kau mau ikut minum sake? Aku yang traktir," ujar Karasu seraya tersenyum lebar.

Terkejut, [Name] menatap Karasu dengan serius. Jarang sekali pria yang merantau dari Kansai ke Tokyo ini mau mentraktir teman kantornya karena dia terkenal pelit. "Tumben sekali. Memangnya dalam rangka apa kau mentraktir anak-anak kantor?" tanya [Name].

Wanita itu sudah siap berkemas dan langsung bangkit dari duduknya. Duh, ketika memijakkan kaki di lantai, kakinya benar-benar terasa ngilu dan sakit. Namun, hingga detik ini dia masih berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja.

"Hari ini istriku menyampaikan kabar jika dia tengah mengandung-"

"Kau serius?!" [Name] memotong, tangan menutup mulut dan wanita itu mendekati Karasu untuk berbisik sejenak, "Kalian sudah rujuk?!" tanyanya tak percaya.

Karasu terkekeh ketika melihat rekan kerjanya yang selama ini sudah menjadi ladang curhatnya mengenai lika-liku rumah tangga terkejut bukan main. "Kami sudah rujuk sejak seminggu yang lalu," jawabnya.

[Name] berkacak pinggang dan memicing matanya. "Wah, setelah lima bulan pisah rumah dan rujuk seminggu yang lalu, kau langsung membuat bayi," ucap [Name] tak menyangka.

Mereka berdua tertawa, tetapi tawa itu harus diredam ketika Sae keluar dari ruangannya. [Name] maupun Karasu membungkuk hormat lalu sama-sama ucapkan, "Selamat malam Itoshi-san."

"Selamat malam juga, [Surname], Karasu," sahut Sae. Mata pria kepala tiga itu terlihat berat, pun bibirnya yang selalu melengkung ke bawah kian turun membuat [Name] dan Karasu tidak berani untuk basa-basi pada Sae.

Namun, tiba-tiba sekali Sae menghentikan langkahnya. "Karasu, bukankah kau ingin mentraktir anak-anak kantor minum sake? Ayo cepat, karena aku akan ikut."

Karasu hampir tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar perintah Sae barusan. Pria itu melirik [Name] sesaat kemudian berlalu meninggalkan [Name].

"Ah, kau benar, Bos! Ayo kita sama-sama turun," ucapnya setelah meninggalkan [Name].

Sementara [Name], gadis itu bergeming dengan pikiran yang berkecamuk. Tiba-tiba ia dihadapkan pada dua pilihan sulit. Kakinya sakit dan butuhkan urutan dari tukang urut langganannya, sedangkan Sae hadir dalam pesta sake milik Karasu dan hal tersebut jarang sekali terjadi.

Tumben sekali Sae mau ikut acara begitu. Apa seseorang membujuknya? [Name] rasa orang yang membujuk Sae tidak mungkin Karasu. Karasu itu selain pelit, juga tidak ada mental untuk akrab dengan Sae. Hanya ada satu orang yang mungkin saja berhasil membujuk Sae untuk ikut minum sake malam ini. Dia adalah Motomiya Yuri.

"[Surname]-san, kau tidak ikut?"

[Name] terkesiap dari lamunannya "Ikut." Setelah menjawab seperti itu dia segera menepuk pelan mulutnya.

Aduh, padahal [Name] sudah memutuskan untuk tidak ikut dan mengutamakan kakinya, tetapi mulut sialan ini justru menjawab hal di luar keinginan [Name].

***

Jangan tanya seperti apa keadaan [Name] saat ini. Wanita 28 tahun yang awalnya ingin pergi ke tukang urut itu malah ikutan mabuk bersama teman-teman kantornya. Meja kedai sake yang diisi oleh karyawan Cocoa Heaven bersama bos mereka itu yang paling berisik di antara meja pengunjung lain. Terlebih ketika Karasu dan Yukimiya sudah larut dalam pengaruh minuman alkohol khas Jepang tersebut.

Yukimiya yang biasanya terlihat kalem dan tenang, malam ini begitu nyeleneh ketika beradu kekuatan dalam meminum sake.

"Itoshi-san, dari tadi kau tidak meminum apapun selain teh itu." Hana yang juga sama mabuknya itu berucap, bahkan menyodorkan gelasnya ke hadapan wajah Sae.

Jika wanita itu dapat mengingatkan kejadian malam ini, pasti dia akan mengumpat malu besok paginya.

Sae menggeser gelas Hana dari wajahnya. Pria berambut merah itu menghela napas panjang lalu berucap, "Kalian semua sudah teler."

Hanya Sae, Yuri, Karina serta Otoya yang masih sadar karena tidak meminum sake, tidak meminum sake terlalu banyak dan tahan terhadap alkohol.

Hana berdecih ketika tangannya digeser Sae. Gelas dihentak ke meja kayu dan air sake terciprat ke wajah sang Atasan. Hal tersebut kontan membuat Yuri, Karina dan [Name] membelakkan kedua mata mereka. Cipratan sake itu mengenai wilayah mulut Sae dan hal tersebut memancing reaksi khawatir dari mereka semua.

Melihat Sae diam dengan tubuh yang mendadak kaku membuat Otoya mengeryitkan kening bingung. "[Surname]-san, apa yang terjadi pada Itoshi-san?" tanya Otoya pada [Name] yang duduk di sebelahnya.

Meski [Name] mabuk, tapi dia masih dapat diajak berbicara. Lantas wanita itu mendekatkan dirinya pada Otoya si Anak Magang di Cocoa Heaven tersebut yang jelas belum tahu menahu mengenai bos mereka. "Itoshi-san itu tidak tahan dengan alkohol. Jangankan seteguk, jika setetes saja mengenai mulutnya-"

Kalimat [Name] terpotong ketika Sae tiba-tiba berdiri dengan mata yang mulai berat untuk terbuka. Oh tidak. Jika Sae sudah begitu, tanda bahwa dirinya sudah berada dibawah pengaruh alkohol.

"Itoshi-san bisa langsung mabuk begitu saja," sambung [Name] lanjut meneguk sake dari gelasnya hingga tandas.

Sae berjalan meninggalkan kedai sake dan tak ada satupun karyawannya yang mengejar karena mereka tahu, takkan ada yang mampu menghentikan Sae. Jika sudah begini, tentu saja tujuan Sae adalah apartemennya.

"Kau harus terbiasa dengan kondisi bos kita yang seperti itu," tambah [Name] sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Tas jinjing dan tas laptopnya ia sandang lalu beranjak mengambil tas kerja serta jas milik Sae yang ditinggal pemiliknya begitu saja. Dalam keadaan mabuk seperti ini, rasa sakit di pergelangan kaki tidak lagi mampu ia rasakan padahal pergelangan kakinya sudah bengkak sejak tadi siang.

"Teman-teman, aku akan menyusul Itoshi-san, kalian lanjut saja bersenang-senang!" seru [Name] dengan tangan yang terangkat untuk melambai dan mendapat sahutan gembira dari yang lain.

"HATI-HATI, [SURNAME]-SAN!" seru Karasu dengan suara melengkingnya.

"Bukankah [Surname] terlihat jelas menyukai CEO kita?" Otoya bertanya pada Yuri, "Bagaimana menurutmu Motomiya-san?"

Yuri mengusap dagunya dan memperhatikan [Name] yang mulai hilang dari pandangannya. Kepala wanita merah muda itu bersandar pada pundak tegap Otoya lalu berujar. "Entahlah, Otoya-kun, aku lelah dan ingin beristirahat."

***

Terimakasih sudah menyempatkan waktu mampir ke HEALER SERIES!

Semoga sukaaa.

Kira-kira, apa yang terjadi di chapter selanjutnya, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro