28: Kematian Jiraiya

Mร u nแปn
Font chแปฏ
Font size
Chiแปu cao dรฒng

Yang siders makin ramai ya bund.

Happy reading!

***

(Y/n) POV

Cklek!

Aku menghela nafas lalu memejamkan mataku saat pintu ruangan Tsunade-sama terbuka. Itu pasti Naruto. Setelah kedatangan kakek Fukasaku tadi dan menyampaikan kabar kematian Jiraiya-sama, Tsunade-sama langsung menyuruh Kakashi-sensei untuk memanggil Naruto karena ada hal yang ingin ia bicarakan bersama Naruto.

Aku ... aku benar-benar tidak menduga hal ini akan benar-benar terjadi. Jiraiya-sama telah tewas, dan ini terasa sangat tiba-tiba. Aku yakin, Naruto pasti akan terpukul ketika mengetahui hal ini.

"Apa ini murid Jiraiya-chan?" Aku membuka mata ku saat mendengar Kakek Fukasaku bertanya.

"Ya, dia Uzumaki Naruto. Anak yang diramalkan."

Aku tidak mengerti tentang ramal dan diramalkan. Yang aku mengerti saat ini adalah wajah bingung Naruto.

"Seorang kakek kodok, huh?" Sial, bisa-bisanya di saat seperti ini dia terlihat bodoh.

"Hei! Jaga mulutmu, Naruto! Ini adalah tuan Fukasaku, salah satu petapa dari gunung Myoboku. Dia datang ke sini untuk berbicara dengan mu," sela Tsunade-sama dengan suara tegasnya.

"Nah, untuk lebih jelasnya, aku seorang kakek agung sage. Tapi, lupakan hal itu! Kau tidak diragukan lagi, kalau kau adalah murid Jiraiya-chan."

"Jiraiya-chan? Chan kau kata?! Kau bicara seolah-olah petapa genit adalah anak kecil! Siapa sebenarnya kakek kodok ini?!" protes Naruto. Bahkan nada bicaranya terdengar bengis.

Lalu, Tsunade-sama kembali menegur Naruto yang bertanya seperti itu. Aku menghela nafas, kemudian menyandarkan bokong ku ke meja Tsunade-sama dan bersidekap dada. Aku lebih memilih untuk memejamkan mata dan menyimak pembicaraan mereka semua hingga saat kakek Fukasaku kembali berbicara, aku membuka mataku dan menatap sosok Naruto dengan lekat.

"Aku tidak yakin harus memulainya dari mana. Tapi, akan aku coba. Aku kira yang paling penting adalah memberitahu mu kalau Jiraiya-chan tewas dalam pertempurannya."

Semua hening, Naruto tampak terkejut.

"Huh? A-apa yang anda bicarakan?" Suara Naruto terdengar sedikit bergetar saat bertanya seperti itu.

"Aku tahu ini secara tiba-tiba. Aku tidak menyalahkan mu jika kau tidak percaya padaku. Untuk beberapa waktu, ada desas-desus bahwa pemimpin Akatsuki itu berada di desa Amegakure. Jiraiya-chan pergi secara pribadi untuk memverifikasi kebenaran desas-desus tersebut," ujar kakek Fukasaku.

"Pemimpin Akatsuki itu berada di desa Amegakure?" tanya Sakura.

"Seingatku, desa itu sulit untuk di susupi."

"Dan desa itu sangat tertutup bagi dunia ular." Aku mengimbuhi perkataan Sai.

"Ya .... Namun, tuan Jiraiya-sama sangat terampil dalam taktik penyusupan dan mata-matanya. Jadi ku rasa, menyusup ke Amegakure bukanlah hal yang sulit," sahut Kakashi-sensei.

"Tepatnya, Jiraiya-chan datang untuk pemimpin Akatsuki 'Pain'. Akan tetapi, Pain adalah mantan murid Jiraiya-chan."

Kami semua yang ada di dalam ruangan tampak terkejut. Murid? Benar-benar hal diluar dugaan.

"Jiraiya-chan memanggilnya dengan nama Nagato," lanjut kakek Fukasaku.

Aku benar-benar tidak mengerti.

"Nagato? Selama kekacauan perang besar dunia ninja, Jiraiya melihat beberapa anak yatim piatu di desa Amegakure yang saat itu telah menjadi medan perang. Siapa yang membayangkan kalau anak itu dalang dari ini semua," ujar Tsunade-sama.

"Akan, tetapi, hal itu menyentuh hati Jiraiya-sama. Lalu, bagaimana dengan Pain ini?" tanya Kakashi-sensei.

"Dia memiliki Rinneggan."

Saat mendengar jawaban dari kakek Fukasaku, Kakashi-sensei tampak terkejut begitu juga dengan Shizune-san.

"Rinnenggan?" Aku bergumam, dan gumaman ku didengar oleh Shizune-san.

"Rinnenggan merupakan jurus mata yang pernah dimiliki oleh ayah dari semua ninja atau petapa Sage. Aku kira itu hanya sebuah legenda saja."

"Legenda jurus mata Rinnenggan ... kekuatan diluar imajinasi. Tapi, tidak hanya itu. Pain ada enam."

Lagi, seisi ruangan kembali dibuat kaget. Satu saja sudah merepotkan, bagaimana dengan enam?

Kemudian aku kembali menyimak percakapan tersebut. Namun, mata ku terus terpaku pada sosok Naruto yang tampak menunduk dalam.

"Setelah lehernya hancur oleh Pain, Jiraiya-chan meninggalkan pesan sebelum dia ambruk. Ini adalah pesannya."

Aku menoleh, menatap punggung kakek Fukasaku yang terdapat kode angka yang mampu membuat kening ku berkerut. Kode yang rumit.

"Apakah kau membiarkan dia pergi, Nek?" Pertanyaan Naruto berhasil membuat kami semua menaruh perhatian padanya.

Suaranya terdengar bergetar.

"Itu betul," jawab Tsunade-sama dengan suara rendahnya.

"Kenapa kau membiarkan hal semboro seperti ini?! KAU TAHU PETAPA GENIT LEBIH BAIK DARI SEMUANYA! BAGAIMANA KAU DAPAT MENGIRIMKANNYA KE TEMPAT YANG BERBAHAYA SEPERTI ITU SENDIRIAN?!"

"Cukup, Naruto!"

Kakashi-sensei menyela bentakan Naruto. Dapat ku lihat raut wajah Naruto yang tajam. Setelah itu Naruto berlalu keluar meninggalkan ruangan Tsunade-sama.

Ah, aku sangat yakin dia tidak baik-baik saja.

****

Author POV

Setelah perbincangan di kantor Hokage tadi, (Y/n) memutuskan untuk pulang. Hari pun sebentar lagi akan beranjak malam. Dan (Y/n) akan memutuskan untuk berisitirahat.

Ia berjalan lesu saat menaiki tangga. Bahkan rumahnya terasa sangat sunyi. Tidak ada aktifitas sama sekali. Sepertinya Konohamaru masih belum pulang dari misinya.

Sesampainya di kamar, (Y/n) mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia menatap jendelanya yang masih tertutup dengan rapat. Lalu ia membukanya, saat pintu jendela terbuka, ternyata hari sudah gelap. Ternyata waktu cepat sekali berlalu ya?

"Untuk kesekian kalinya aku kembali gagal," ujar (Y/n) sembari mendudukkan dirinya di figura jendelanya.

"Bahkan, ku rasa jalan ninja ku tidak ada gunanya." Angin malam mulai berhembus, menerbangkan beberapa helai anak rambut (Y/n). "Apanya yang ingin melindungi orang yang mencintai desa ini? Bahkan aku tidak bisa melindungi Jiraiya-sama."

Mata (Y/n) terasa memanas. Matanya berkaca-kaca. Setelah itu ia bangkit dari duduknya dan beralih menutup jendela kamarnya dan menghidupkan lampu yang ada di dalam kamarnya.

Setelah kamar miliknya mendapatkan penerangan, ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan beralih membuka laci nakas. Beberapa tumpuk novel karangan Jiraiya tersusun di dalam laci tersebut.

Tangan (Y/n) beranjak mengambil novel tersebut dan ia menatap satu persatu novel tersebut. Ada beberapa bagian yang menggantung di dalam cerita novel ini dan kini ia tidak tau kelanjutannya seperti apa.

(Y/n) memejamkan matanya, lalu membaringkan tubuhnya dan meletakkan tumpukan novel itu di sampingnya. Ini semua benar-benar sangat cepat dan tiba-tiba.

(Y/n) tidak menyangka kalau pemberian novel waktu itu adalah terakhir kalinya ia dan Jiraiya bertemu. Selama ini hubungan (Y/n) dan Jiraiya cukup baik.

"Desa ini kembali kehilangan pahlawannya."

****

Kedai-kedai disepanjang jalan sudah pada tutup. (Y/n) terus melangkahkan kakinya menyusuri jalanan setapak. Saat ini ia sedang menuju ke kedai yang buka dua puluh empat jam karena (Y/n) ingin membeli lilin. Bisa-bisanya di tengah keadaan seperti ini di rumah (Y/n) dan sekitar mansion mati lampu.

Dan demi mendapatkan penerangan, (Y/n) harus keluar untuk membeli lilin. Bahkan (Y/n) baru mendapatkan kabar kalau Konohamaru tidak akan pulang karena situasi genting di misinya.

-
-
-

"Jangan lupa datang lagi kemari ya!"

(Y/n) hanya mengangguk dengan senyuman tipisnya. Setelah itu ia berjalan keluar dari dalam kedai yang buka dua puluh empat jam itu. Ia melangkahkan kakinya, namun saat hendak berbalik, ia melihat sosok Naruto tengah duduk seorang diri di kursi yang ada di bawah penerangan lampu jalan.

Terlihat Naruto tengah memegang satu buah es krim yang semakin mencair dan mata yang berurai air mata.

Tanpa aba-aba, (Y/n) pun memutuskan untuk menghampiri Naruto dan mendudukkan dirinya di samping Naruto. Sepertinya Naruto pun tidak menyadari kehadirannya.

"Apa kau akan membiarkan es krim itu cair begitu saja?" tanya (Y/n) sembari meletakkan kantong plastik di samping kirinya sehingga tidak ada yang menghalangi jaraknya dan Naruto.

Naruto tampak tersentak, lalu pria berambut kuning itu tampak dengan cepat menghapus air mata yang mengalir. "Hm." Hanya sahutan singkat yang (Y/n) dapat.

(Y/n) berdecih, lalu terkekeh. Ia mendongak dan menatap langit malam. "Naruto yang ada di samping ku ini bukan lah Naruto yang ku kenal."

Tampak Naruto menoleh dan menaruh perhatiannya pada (Y/n). "Maksud mu?" tanya nya masih dengan mata yang berair.

(Y/n) tersenyum, lalu menoleh ke arah Naruto serta menatap Naruto lekat. "Naruto yang ku kenal sangat berisik, nyentrik, dramatis, bodoh, serta sangat payah. Sedangkan Naruto yang ada di samping ku saat ini terasa dingin dan murung."

"Lebih baik kau pulang saja jika hanya ingin mengejek ku."

(Y/n) yang mendapat ketusan seperti itu dari Naruto tersenyum lalu memutar arah pandangannya ke depan. Senyuman yang terukir tadi sedikit turun sehingga membuat bibirnya datar. "Aku ikut sedih untuk ini semua."

"Tapi, Naruto ... kau tahu sesuatu tidak?" (Y/n) bertanya dan kembali menatap Naruto.

Naruto menggeleng dan masih dengan mata yang berair. Kali ini, Naruto benar-benar kehilangan sosok yang berharga di dalam hidupnya.

"Kematian, kepergian, dan kehilangan adalah hal yang selaras. Itu semua sudah takdir dan tugas kita yang masih hidup adalah menerima hal itu dengan iklhas agar semuanya baik-baik saja," ujar (Y/n).

Lalu ia mendekat ke arah Naruto dan menangkup wajah pria itu. "Kau juga pernah bilang pada ku kalau teman adalah orang yang membawa mu keluar dari neraka yang bernama kesepian bukan?" tanya (Y/n) sembari menghapus air mata Naruto.

"Kau sedang kesepian saat ini dan aku sebagai teman mu akan membawa mu keluar dari neraka yang bernama kesepian itu." Setelah itu (Y/n) menyingkirkan tangannya dan kembali ke posisi semulanya.

Ia menatap langit malam. "Aku tahu kau sudah menganggap Jiraiya-sama seperti keluarga mu sendiri. Aku tahu ini berat. Namun, aku yakin kalau saat ini Jiraiya-sama sedang memperhatikan mu dari tempat lain. Dia pasti akan sedih jika melihat murid kesayangannya dalam kondisi seperti ini," ujar (Y/n).

Lalu gadis bersurai coklat itu mengusap matanya yang berkaca-kaca. Ia menghela nafasnya lalu berdiri dari duduknya sembari kembali mengambil kantong plastik yang ia letak tadi.

"Lebih baik kau pulang, ini sudah malam. Angin malam tidak baik untuk mu," ujar (Y/n) penuh perhatian dan disertai senyuman hangatnya.

Untuk beberapa saat, (Y/n) dan Naruto terpaku pada pandangan mereka masing-masing.

"Hm, baiklah."

Kemudian Naruto bangkit dari duduknya dengan es krim yang sudah mencair di tangannya.

"Kau langsung pulang, jangan mampir ke sembarang tempat." Naruto mengangguk untuk peringatan (Y/n) barusan.

"Terimakasih."

****
Just info, scene (Y/n) dan Naruto berbicara berdua itu sesudah Naruto berbicara dengan Iruka ya๐Ÿ‘.

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen2U.Pro