[11] PATBINGSU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika cahaya mulai berpijar dari kisi-kisi jendela, aku tahu saat ini sudah pagi. Pukul lima subuh, aku bergegas ke kamar untuk meletakkan bantal. Aku tidak mau terlihat menyedihkan dengan duduk berjam-jam menunggu bisa ketiduran. Biasanya jika bisa begadang seperti ini, aku akan menonton film yang kusuka, tetapi rasa takut menyebabkan aku lebih suka mendengar suara napas orang tuaku yang teratur dan penuh kedamaian. Yah, aku tidak tahu kenapa aku berkenan menghitung suara napas Eomma yang genap mencapai 4800 kali.

Hari ini aku tidak ingin pergi ke restoran untuk mencuri darah. Aku punya stok darah yang kukemas di kantong celana, tapi aku terlalu bodoh. Darahnya sudah tidak layak diminum alias basi. Baunya pun terlalu menyengat, jadi kubuang cairan itu ke dalam toilet. Aku membungkus cairan merah dengan plastik lain warna hitam dan membuangnya ke tempat sampah tidak. Eomma tidak akan mendaur ulang sampah di keranjang khusus.

Mataku berat karena kelelahan. Aku memutuskan lari pagi mengelilingi kompleks perumahan. Dengan sepatu kets dan berlapis jaket tebal, aku melakukan pemanasan ringan.

Aku sendirian di area itu. Tidak banyak orang yang kulihat. Kebanyakan dari mereka bangun jam tujuh pagi. Embusan udara yang bersih mampu merendam pikiran yang buruk. Aku lega sekarang sudah terang. Aku jarang berolahraga. Tiap akhir pekan, kugunakan tidur sampai pertengahan hari. Jadi olahraga apapun bukan prioritas utamaku. Saat berinisiatif seperti ini, senang saja rasanya. Tak ada paksaan apapun.

Berikutnya aku berkeliaran di sembarang tempat. Sama sekali tidak mau ikut membantu Eomma di restoran sundae. Sosis merah kehitaman berisi jeroan babi terus mengingatkan akan luka di tanganku tempo hari. Walau Eomma mengomel saat kami bertemu di rumah, aku tidak menggubris.

Efek mimpi membuatku memikirkan diriku sendiri. Sebutlah aku egois, tetapi aku kesulitan tidur. Sudah beberapa merek obat tidur kujejalkan dalam mulut, berharap bisa tidur pulas tanpa mimpi, tetapi tidak satu pun yang ampuh. Aku menangis kelelahan diserang insomnia. Tiga malam aku tidak bisa tidur.

Olahraga seberat apapun sampai semua badan nyeri tidak akan cukup membuat jatuh tersungkur di atas ranjang. Mungkin seharusnya aku tidur siang saja usai olahraga tadi. Kenyataannya malam pun aku terjaga dengan pikiran kacau.

Empat hari dengan pola yang sama. Olahraga, membantu Eomma di restoran, meditasi dan membaca buku tidak membuatku bisa tidur. Aku sangat lelah baik secara mental dan fisik.

Waktu merembet terlalu cepat. Sampai akhirnya berjumpa dengan hari Senin. Aku masuk sekolah seperti biasa, tetapi cekungan dalam pada kelopak mata tercetak jelas. Aku tidak berenergi. Menyapa guru pun cuma anggukan kecil. Suara-suara di sekelilingku yang penuh hinaan hanyalah angin lewat, berisik dan tidak berguna. Aku duduk membungkuk dan kepala ditumpukan ke meja belajar. Tatapanku mengarah ke jendela. Aku tidak tertarik untuk hidup, apalagi kembali ke tempat bernama neraka. Ya, sekolah telah berubah jadi neraka semenjak aku dicap pembunuh. Padahal aku hanya mencekik Minji, tetapi kehebatan perundung membalikkan fakta sangat mengesankan. Aku berharap hari ini usai.

Aku tidak tertarik melihat anak-anak di sekolah. Belum ada yang berinisiatif menyapa. Begitu pula Jung-A yang menghindari pandanganku.

Dia berperan menghancurkan aku secara tidak langsung. Sikap liciknya jauh lebih buruk dibandingkan Minji. Setidaknya Minji tidak main belakang seperti Jung-A. Itu yang aku yakini selama Jung-A melupakan semua kebaikanku padanya. Banyak yang kulakukan. Mengantarnya ke kantin dan toilet tanpa pamrih. Sekarang aku merasa pamrih, terutama karena tidak ada keadilan untukku.

Aku kembali memejamkan mata, terjebak kantuk tanpa berkesudahan, tetapi aku sama sekali tidak bisa tidur.

Dan .... Aku berhenti sejenak untuk menahan segala pemikiran yang berlebihan.

Karena aku berhenti membantu di restoran, aku tidak punya kesempatan mencuri darah. Akibatnya luar biasa. Seluruh tubuhku mengering dengan cepat disertai tenggorokan yang kembali terbakar.

Hausku semakin tidak terkendali.

Aku ingin menjahit mulutku. Rahangku mau jatuh akibat rasa haus. Terbuka terus mencari hidrasi yang layak. Kemarin bergalon-galon air minum yang ditelan dalam sehari tidak ampuh. Seharusnya aku koid jika mengonsumsi belasan pil obat sekaligus, tetapi aku baik-baik saja. Masih terlihat lesu. Flu yang menerjangku belum kunjung sembuh.

"Pagi, guys!" Ketua kelas menyapa kami dengan ramah. Beberapa sahutan antusias menunjukkan bahwa Sunghoon sudah datang.

"Hari ini ada yang berbeda. Bangku tengah sudah tidak kosong lagi," ucapnya hangat. Matanya bersinar terang, menembus ke dalam hatiku. Aku segera menundukkan kepala, tidak kuasa dengan pandangan yang menusuk.

Aku tidak menggubris. Dia pasti akan terkejut melihat jeleknya aku tanpa riasan, tidak bertenaga dan malnutrisi.

"Yoo Yuri, apa kabar?" Jari telunjuk Sunghoon dijentikkan beberapa kali, sengaja menggodaku.

Aku sempat lupa bahwa aku terlibat beberapa masalah yang tidak seharusnya dia lihat. Kuharap dia tutup mulut dan berhenti menggangguku. Namun, dia sedang memegang dua kartu as. Posisinya ada di atasku, sehingga mudah menjahiliku semaunya.

"Berhenti menggangguku, Park Sunghoon," desisku.

Hanya dia yang berani mendekatiku saat orang lain menjauh. Lalu tak lama lagi berbondong-bondong orang bakal mendekat untuk mengeroyokku setelah dia pergi. Aku tidak akan diam jika hal itu terjadi. Jika harus dikeluarkan karena berkelahi untuk kedua kalinya, akan kulakukan asal bisa pindah sekolah. Entah kenapa, aku tidak suka dengan Sunghoon lagi, berikut ucapannya ingin jadi teman. Mungkin ini efek penolakan bisa memicu kebencian.

Wajar kalau orang bisa menjadi jahat karena ditolak.

Eh, omong-omong, apa aku jahat?

Entahlah.

"Apa kau diet? Kurus sekali." Sunghoon duduk di bangku depanku, sengaja memebelakangi arah meja guru,

"Eo." Aku membeo.

"Jangan lakukan itu. Jika lapar, makan saja. Jika haus, minum. Dengar, menahan diri hanya akan memicu badai horor luar biasa."

"Kau bicara apa, huh?" Aku mengomel, tetapi Sunghoon tertawa membayangkan badai tornado berwajah diriku.

Aku tak paham dengan kalimat terakhirnya. Yang kutangkap, kalau aku kalap, berat badanku bakal naik banyak. Aku memang senang makan kalau terlalu stres.

"Sssttt. Lihatlah. Dia sudah dibela malah berlagak jahat."

"Gadis tak tahu malu."

"Sunghoon terlalu baik, berhenti membentaknya."

Sindiran pedas itu sampai ke telingaku. Aku membeku menyadari bisik-bisik rendah teman sekelas, utamanya kaum perempuan. Ini yang paling kubenci, semata menjadi gunjingan karena Sunghoon.

"Mau minum bersamaku, Yoo Yuri?" tanya Sunghoon, tidak acuh menanggapi ucapan miring para gadis di belakang punggungnya.

"Minum?!" Aku melotot tidak senang. Pikiranku kalang kabut karena memikirkan koleksi soju di lemari es milik orang tuaku. Apakah dia mau mengajakku mabuk, melakukan kenakalan remaja dengan minum minuman keras? Kami masih di bawah umur. Tidak. Aku tidak mau mencari masalah dengan minum saat usiaku legal. Kalau mau minum, kusarankan Sunghoon mengajak Minji. Aku bersumpah, Minji tidak hanya minum alkohol. Sianida pun bakalan diminum kalau Sunghoon menawarkan.

Seram!

"Patbingsu kelihatannya enak." Sunghoon mengerucutkan bibir, tampak berpikir keras.

"Tidak mau." Aku makin mengatupkan bibir, malu dengan pemikiran yang terus melantur. Ternyata cuma es serut bertabur kacang merah manis. SIAL!

"Kau bakal menyesal," tandas Sunghoon. Dia membuka ponselnya, memamerkan semangkok besar es serut berisi selai mirip stroberi yang sangat merah. Aku tergoda akan warnanya. Kelihatannya mahal dan enak. Mungkin flu yang kualami bisa sembuh dengan minuman itu. Kalau badan panas, akan sangat sempurna disiram makanan dingin. Kompres tubuh paling instan menghadapi flu.

"Di mana belinya?" tanyaku sangat tertarik. Namun, aku bakal pergi sendirian nanti.

"Kau tidak akan bisa menemukannya, kecuali ikut aku." Sunghoon tertawa renyah.

"Hei!" bentakku marah.

Sunghoon makin terbahak-bahak, sukses menggodaku. "Luangkan waktumu akhir pekan nanti," ucapnya.

Itu terlalu lama. Aku pasti bakal mati kering kerontang karena kehausan. Tidak bisa! Kalau menunggu enam hari lagi pasti akan menyiksa, apalagi sehari. Sunghoon kembali ke mejanya, bertepatan dengan bel berdering. Artinya pelajaran akan dimulai lagi.

Sunghoon menyebalkan. Pikiranku kalang kabut ingin patbingsu. Seperti seminggu lalu saat ingin jeokbal dan sundae, tetapi rasanya hambar. Aku khawatir patbingsu yang ditawarkan Sunghoon pastinya bakal berdampak sama. Namun, ini terlalu keterlaluan. Mulutku basah karena ingin menyantap patbingsu.

Aku menggosok wajahku terlalu frustasi. Aku tidak akan bisa tenang. Obsesiku untuk makan membuat seluruh indera tumpul.

Sunghoon benar akan satu hal. Aku tak akan bisa menjauh darinya. Akan kudekati Sunghoon tanpa peduli omongan orang, demi informasi di mana aku bisa mencicipi patbingsu merah segar. Lidahku tak sabar mencicipi manisnya selai stroberi dan dinginnya es batu.

Sunghoon balas menggelengkan kepala, berjalan lurus dan berkata, "akhir pekan," dengan cuek.

Karena aku terus mengekor—lupa pada inisiatifku sendiri untuk berjarak dengannya. Para siswi di sekolah terus mengganggu. Tatapan membunuh mereka tidak lagi menakutkan, persis setelah aku berhasil membuat ketua geng mereka mampus. Justru mereka yang takut untuk menyentuhku.

"Park Sunghoon, ayolah!"

Aku terus mendesak. Berbagai rayuan dan bentakan tak pernah luput. Aku sangat ingin makan sekarang, meski harus bolos sekolah.

Ini mulai tidak benar. Siklus kehidupanku makin kacau. Aku tidak boleh bolos setelah menyebabkan banyak masalah. Eh, tapi kenapa tidak? Makin cepat menjauh dari sekolah, makin baik.

Benar saja. Aku meninggalkan sekolah begitu saja disaksikan banyak orang. Tujuanku satu, yaitu memasuki semua restoran yang menyediakan patbingsu semerah darah di kota Seoul. Aku tak perlu menunggu Sunghoon. Biar kucari sendiri sampai lidahku lega.

2 November 2020
R

evisi, 17 September 2022
Patbingsu : es campur khas Korea.

Mulai bolong-bolong posting. Kesibukan mencekik sang author. Terima kasih buat kalian yang mulai voting. Seneng dapat notif ada yang vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro