[18] MEMANGKAS JARAK

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, apa kabar? Kuy vote sebelum baca, yes!!! Penebusan tiga hari gak update, part kali ini lumayan banyak.

***********

"Aku pernah menjadi manusia, sekarang menjadi sesuatu yang lain."

Aku tidak suka pada ucapannya. Buku kudukku semakin meremang. Aku ingin pulang selagi kata-kata aneh berikutnya meluncur dari Sunghoon.

"Waktu yang panjang tak pernah berakhir. Malam dan siang membeku bersama nadi yang melambat. Dingin menjadi hangat. Hangat menjadi dingin. Kita tertambat oleh kutukan abadi."

"Sesuatu apa?" kejarku.

"Vampir."

"Apakah aku vampir juga?" tanyaku.

"Ya, aku menggigitmu di pentas kemarin."

Kemarahanku meluap. Aku tidak bisa mengontrolnya. Mangkok terbang ke arahnya. Sunghoon tidak mengelak. Fisiknya utuh selagi barang pecah belah menjadi hancur tidak terbentuk. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan melempari Sunghoon dengan benda apapun yang bisa kutemukan.

Aku tidak gila, tidak perlu ke psikiater, dan aku menjadi monster.

Namun, kenapa aku tidak seperti Bella Swan yang langsung cantik rupawan dan bertenaga super? Kenapa tidak langsung mencaplok leher orang lalu ditembak sampai mati? Kenapa tidak membunuh satu desa karena dahaga?

Kenapa aku tetap manusia? Bisa makan makanan normal, meski kehilangan rasanya.

"Kembalikan aku ke wujud semula! Aku tidak mau minum darah!" Aku mengamuk.

Untungnya kafe aneh yang kami kunjungi tidak ada pelanggan. Hanya satu wanita menunggu cemas di bilik lain.

Aku melempar mangkok terakhir, tetapi Sunghoon akhirnya menangkap benda itu.

"Aku memilihmu, Yoo Yuri. Tapi aku menyesal dengan pilihanku."

"Wae? Naega wae?"*

*Kenapa? Aku kenapa?

"Kukira kita bakal cocok."

"Cocok dari apa?"

"Teman."

Aku membuang muka. Aku benci dengan kata yang diucapkan Sunghoon. Aku tidak mau menjadi temannya. Sekarang dia menjadikan aku sebagai sesuatu yang lain.

Monster, lintah, parasit, selalu serakah dan mengonsumsi bagian dari manusia. Itulah definisi vampir dari semua film makhluk kegelapan. Aku berhak marah karena Sunghoon melakukannya tanpa seizinku. Dia sudah menolakku terang-terangan dan memberi batas yang jelas bahwa kami sebatas teman. Namun, lain kalau dia menjadikan aku makhluk immortal. Dia jelas harus bertanggungjawab. Sekarang aku tidak bisa menertawakan ucapannya barusan. Aku ingin menangisi takdir sialku.

Ini buruk sekali.

Aku punya keluarga yang menyayangiku. Mengingat betapa enaknya leher Eomma kemarin membuatku ngeri bukan main. Kalau aku lepas kontrol, bukankah orang tua dan adikku akan terbunuh? Tidak. Tidak boleh! Aku menggelengkan kepala, menolak gagasan menakutkan tadi. Aku harus pergi menjauh dari peradaban manusia. Biar aku mati kelaparan dan terbunuh dengan sendirinya dalam kegelapan, seperti dalam film-film. Aku tidak mau mengikuti naluri monster. Otakku masih sehat. Aku mencabut gagasan bahwa kepalaku miring.

"Jadi kau menuduhku menghisap darah dua mayat yang menghebohkan tadi?" tanyaku langsung.

"Ya."

"Tidak mungkin! Mereka nyaris membunuhku karena ikut campur urusan mereka. Aku tidak tahan ada yang memukuli orang sampai babak belur. Aku kabur ke tempat lain." Aku membela diri.

"Bisa-bisanya kau berpikiran sempit begitu. Bukan aku, tahu!"

Aku kehabisan melempar benda-benda di meja. Kemarahanku terlampiaskan oleh pukulan telapak tangan yang menggebrak permukaan meja kaca. Suaranya besar dan sesuatu bergetar di bawah kakiku. Aku terkejut, mengira bahwa terjadi gempa bumi. Namun, ini sungguh bersumber dari kekuatanku sendiri.

"Ige mwoya?" Suaraku gemetar. Kutatap telapak tanganku yang retak, tetapi perlahan menyatu dengan sendirinya. "Ya, kau jadikan aku apa?"

Ini tidak keren. Mengerikan sekali!

"Pokoknya kembalikan aku menjadi manusia. Puasa darah, kan?"

"Seandainya aku tahu cara kembali, tentu aku tidak akan menyentuhmu." Sunghoon menurunkan pundaknya.

"Berengsek kau!"

Aku mengacak rambutku. Frustasi karena ingin kembali ke delapan hari lalu. Ah, tidak. Kembali ke awal semester. Seharusnya aku tidak melanjutkan sekolah di SMA Cheong A. Seharusnya aku menuruti saran Eomma. Sekolah negeri bukan pilihan buruk. Harganya juga terjangkau. Argh .... Kenapa juga harus bertemu Sunghoon!

"Mianhae (Maaf)." Sunghoon tersenyum bersalah, tetapi senyuman itu miring sebelah. Aku benci bentuk senyum setengah itu.

"Kumaafkan kau kalau aku kembali menjadi manusia. Sekarang aku harus bagaimana?" Aku gelisah dan menangis.

"Tidak ada yang perlu kau lakukan. Datang saja ke sini setiap akhir pekan bersamaku."

"Mwo?!"

"Tugasku sebagai penciptamu adalah memastikan kau tidak membuat ulah. Jika tidak, leherku akan dipenggal Ketua Park."

"Ayahmu?"

"Ya."

"Ya sudah. Sekarang aku akan memenggal kepalamu." Selorohku tidak sabar. "Mana pisaunya?"

"Belum dulu!" Sunghoon mengelak.

"Selama kau tidak membantai orang secara acak, kita akan baik-baik saja. Tapi pertama, karena belum teridentifikasi siapa pelaku pembunuhannya, kurasa kita masih bisa menyelesaikan sisa semester sekolah dengan baik."

"Tapi, Sunghoon-ah, apa benar vampir jika haus juga bakal membantai manusia? Lalu kenapa aku tidak menggigit orang secara acak?" tanyaku penasaran. Kenyataan dan film-film yang kutonton sangat berbeda.

"Kau adalah kasus unik. Aku memang menggigitmu. Sayangnya racun yang aku punya tidak banyak masuk ke dalam tubuhmu. Jadi transformasimu masih lama. Seharusnya sehari bisa mengubahmu, tetapi racunku terhalang gigi palsu, ingat?"

"Ah," komentarku singkat. "Bagaimana kalau aku tiba-tiba membunuh ibuku?"

"Jangan khawatir. Selama ada aku dan tiap akhir pekan pergi ke sini, kau akan baik-baik saja. Seharusnya satu mangkok bisa membuatmu bertahan seminggu. Namun, kau sudah menghabiskan sebelas mangkuk, kurasa tiga bulan kau tidak akan minum."

"Baiklah. Jangan menggangguku selama di sekolah. Sekarang aku mau pulang!" tegasku seraya berdiri.

"Akan kuantar."

"Tidak usah!" bentakku.

"Tapi kau tidak tahu jalan pulang ke Seoul."

"Aku akan menemukan jalanku sendiri!" Aku keras kepala.

Sunghoon mengabaikan penolakanku. Dia menuju kasir dan membayarkan 12 porsi patbingsu yang harganya lumayan mahal. Aku menjadi malu karena tabunganku tidak sebanyak yang Sunghoon keluarkan dari kartu hitamnya. Belum lagi ganti rugi melempar semua peralatan kafe.

Menjadi vampir sangat mahal. Wajar saja Sunghoon menanggung hidupku dalam waktu mendatang.

Aku harus bekerja keras dan mengumpulkan uang. Tidak ada bedanya dengan orang kecanduan ganja. Ini bakal merepotkan kalau aku kehausan. Aku tidak mau bertingkah impulsif seperti hewan.

Pemilik kedai tersenyum ramah padaku. Sama sekali tidak tersinggung atas kelakuanku.

"Semoga kalian datang lagi," ucapnya sopan dan riang, seraya menutup pintu kafe.

Angin berembus kencang. Sunghoon menautkan telapak tangannya di tanganku. Jemari kurusnya mengunci pada jemariku. Aku hendak melepaskan diri, tetapi Sunghoon tidak membiarkan tangan kami lepas.

"Kita akan lari."

"LARI? Ya, jaraknya sangat jauh!"

"Diam, atau aku harus menggendongmu!"

Digandeng atau digendong, sama-sama tidak menyenangkan. Jantungku masih berdetak normal. Dia pemuda yang kutaksir sekaligus kubenci. Kalau dia terus berada di sekitarku, termasuk menggenggam tangan, bukankah ini harapan palsu? Aku jadi bingung dengan batas yang Sunghoon tunjukkan.

Aku cemberut. Kami benar-benar lari sampai dadaku meledak kesakitan. Aku kehabisan oksigen. Namun, Sunghoon sangat cepat menuntun langkah beratku. Dari tempat yang sepi senyap menjadi ramai. Sunghoon tahu banyak jalan pintas, dia mengarahkan rute ke lokasi-lokasi yang sepi, agar kecepatan perjalanan kami tidak terendus manusia.

Gapyeong sangatlah tenang. Tempat itu akan menjadi destinasi tetapku. Rutinitas tiap pekan yang akan membosankan jika bertemu dengan Sunghoon. Malam panjang akan menantiku. Ini adalah permulaan.

Kecepatan yang kurasakan saat berlari tidak akan pernah memiliki ujung. Kami akan melaju dalam waktu tanpa batas. Tak ada artinya lagi, selagi mati menjadi sulit. Belum lagi, luka fisik sesaat akan memudar. Sembuh dengan cepat.

Manusia punya rasa takut dan sakit. Walau mati-matian menghindari rasa itu, tetapi mereka benar-benar hidup.

Bisa menyesal di awal, itu hanyalah kekhawatiran.
Namun, semuanya sudah terlambat dan berlalu.

Terowongan yang menghisap itu akhirnya tiba. Tempat gelap total itu anehnya bisa kulihat dengan mata telanjang. Aku melihat bata-bata yang tersusun dengan baik, tetapi tidak diplester semen. Lokasi itu tidak sesepi yang kubayangkan sebelumnya. Banyak orang-orang yang tidur di tepi jalan, berlapiskan alas koran. Pakaian mereka kebanyakan lusuh. Wajah-wajah pucat, penuh kegetiran dan ingin mengakhiri hidup. Namun, jauh lebih banyak yang mengenakan pakaian bagus. Di tangan orang-orang itu terdapat selang panjang berwarna merah dan tersambung dengan mesin.

"Siapa mereka?" tanyaku ingin tahu. Ingin berhenti untuk mengamati identitas orang-orang itu.

Namun, Sunghoon defensif. Dia memangkas jarak di antara kami.

"Pendonor."

"Donor? Jadi kita tidak membunuh manusia?" tanyaku kelewat penasaran.

"Iya."

"Kompensasi apa yang kita berikan kepada mereka?"

"Kehidupan layak untuk yang butuh. Kami membeli darah mereka. Diamlah, atau mereka akan tahu."

"Tapi ...."

"Banyak waktu untuk membicarakan segala sesuatu, tapi kita harus pulang."

Sunghoon bergegas. Walau lariku tidak sekuat Sunghoon karena masih setengah manusia, tetapi ini melelahkan sekali. Aku enggan berlari. Dia memaksaku terus lari, hingga tibalah di mulut terowongan. Kami tiba di lingkungan Jongno, tepat di seberang istana Gyeonghui.

Langkah kami masih cepat. Tidak banyak waktu yang tersisa. Sunghoon tiba-tiba menekuk salah satu lututnya. Tangannya mendorongku ke belakang. Aku melotot, paham apa yang dia maksud.

"Kau gila, ya?"

"Cepat naik. Kita memanjat dinding!"

Aku menoleh ke gedung berlantai 15. Tepat di lantai 7, salah satu jendela kamar terbuka dan dalam keadaan bercahaya. Aku tahu itu jendela kamarku. Selain lupa menutup jendela, aku juga lupa mematikan lampu.

"Tidak. Naik lift saja," tepisku. Tepatnya risih harus digendong di punggung Sunghoon.

"Kau mau ibumu mengamuk?"

"Itu, kan, salahmu!"

"Ya!" Sunghoon kehilangan kesabaran. "Coba saja kalau kau mau mengungkap jati diri kita," kecam Sunghoon.

"Kenapa? Kepalamu dipenggal?"

"Kau juga dipenggal."

Aku menciut. Dengan berat hati, aku merebahkan seluruh tubuhku ke punggung Sunghoon.

"Yang mana rumahmu?"

"Jendela yang terbuka itu," kataku seraya menunjuk dengan jari telunjuk.

Sunghoon menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Dia memastikan suasana sekitar sepi, lalu memanjat dinding gedung dengan lincah. Tangannya bergelantungan lewat pipa paralon. Aku bergidik ngeri berada di ketinggian tanpa alat pengaman. Namun, Sunghoon tidak terpengaruh.

Sunghoon berhasil mencapai balkon ruang tengah. Untungnya rumahku dalam keadaan gelap dan memilki tirai tebal. Jadi bayangan kami tidak akan tampak secara mudah. Aku mencengkeram lehernya penuh cemas. Sunghoon mundur dua langkah sebelum lari melompat menuju jendela kamarku. Tangannya masih bergelantungan pada tepian jendela. Tubuhnya berayun cepat, menahan keseimbangan.

"Cepat naik!" perintahnya.

"Bagaimana bisa?" tanyaku. Lengan dan kakiku seperti kena lem. Melingkar erat di tubuhnya. Aku sangat takut jatuh.

"Sebanyak sebelas mangkok belum bisa membuatmu tangguh. Payah!" ejeknya.

Sunghoon kelelahan, tetapi dia mengumpulkan semua kekuatannya dan berhasil mencapai jendela. Kaki Sunghoon masuk di atas meja belajarku yang berantakan. Kami jatuh bergulingan di lantai. Aku mengaduh karena punggungku menghantam ujung kursi.

Menjadi vampir pun, kami bisa jatuh konyol. Aku bisa mendengar suara klik dari pintu kamar. Aku tercekat, lalu melepas tas ransel dan melemparnya secara acak. Aku mendorong Sunghoon masuk lemari baju untuk bersembunyi. Lututku pasti memar selagi duduk berlutut dan melempar sepatu ke bawah ranjang. Tanganku sibuk mengumpulkan buku-buku, pura-pura merapikannya.

"Kapan kau datang?" tanya Eomma. Kepalanya menyembul di pintu.

"Sejak tadi," kataku. Sama sekali tidak berani menatap Eomma.

"Pasti ayahmu memberitahu sandi rumah, ya?"

Aku mengangguk tidak yakin. Sekarang aku ingat soal sandi pintu rumah yang diganti. Aku konyol kalau memilih masuk lewat lift tadi. Mana bisa masuk ke dalam rumah, lalu menelepon Jiho untuk dibukakan pintu. Betapa menyenangkan bisa memanjat lewat jendela tanpa ketahuan dan dapat omelan.

"Cepat tidur."

"Belum mengantuk, Eomma. Ada PR yang harus dikumpulkan besok pagi."

Pintu menutup. Aku belum berani bergerak selagi langkah terseret Eomma belum mencapai kamar utama. Pintu lemari terbuka. Dalam gelap pun, aku bisa melihat cengiran wajah Sunghoon.

"Aku boleh menyontek tugasmu?" tanyanya.

"Tidak ada PR!" Aku berbisik penuh gusar. Kuharap percakapan kami tidak terdengar sampai luar. Gawat kalau serumah tahu aku membawa pemuda masuk ke kamar anak perempuan.

"Kalau begitu, selamat malam, Yoo Yuri."

Sunghoon mengacak puncak kepalaku. Dia melompat turun cekatan dari jendela.

Aku melirik ke bawah, tetapi Sunghoon sudah tidak terlihat. Lantas ekor mataku menangkap jam dinding.

Belum lewat pukul 10 malam. Perjalanan ke Gapyeong tadi terlalu cepat. Atau mungkinkah kami yang cepat memangkas jarak sebagai makhluk abadi?

Revisi, 17 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro