[3] STALKER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terjebak dalam kotak sempit penuh buku berjejalan dalam rak. Bau lavendel yang terlalu kuat membuatku pusing. Sensasi pedih berkat tinju anak-anak penyerang tadi membuatku pegal. Aku merasa aneh. Badanku memerah, agak panas dan pandangan masih merah muda menuju normal. Maksudku, aku belum sepenuhnya pulih selagi semua warna benda di sekelilingku tadi adalah merah. Belum pernah kurasakan ilusi optik seperti ini. Apakah mungkin pembuluh darah di mataku pecah, lalu pupil mataku jadi merah? Kenapa semuanya berbeda setelah kena pukul seseorang?

Guru BP menerobos masuk ke dalam ruang sempit yang disebutnya ruang bahagia. Aku langsung tidak menyukai pandangan guru tersebut yang menyebalkan. Label 'anak nakal' telah melekat untukku. Aku tidak perlu bersedih atas gelar itu kecuali aku harus membuktikan bahwa aku adalah korban dari perkelahian ini. Jika menyangkut sundae, pastinya aku sensitif. Tak apa-apa jika ketumpahan susu basi atau apapun, asal jangan sundae. Ini pekerjaan Eomma dan Appa, tetapi kalau jadi bahan olokan, aku tidak tinggal diam.

"Kenapa kau mencekiknya?" tembak Guru In langsung. Matanya menghunjam erat padaku, siap menulis laporan dariku.

"Karena dia menumpahkan kuah ke tubuhku." Aku mengaku apa adanya.

Jemari Guru In bergerak cepat. Aku tetap diam memandangi wajah Guru In yang cuek. Dia tidak sepenuhnya mendengarkan ucapanku. Wanita itu sibuk dengan pemikirannya sendiri.

"Tapi kau mencekiknya. Bukankah itu yang paling membahayakan? Jadi kau harus minta maaf pada temanmu."

"Dia bukan temanku. Lalu aku tidak salah, kenapa harus minta maaf?" tepisku makin keberatan. Enak saja minta maaf di saat aku adalah korbannya.

Udara yang berembus kuat-kuat dari lubang hidungku mengindikasikan betapa kecewanya aku pada hukum yang buruk. Mana ada orang yang tidak melakukan apa-apa kena sanksi. Aku tidak akan tinggal diam kalau orang lain menggangguku lagi.

"Selesaikan saja. Tulis satu lembar surat permintaan maaf sebagai bukti penyesalanmu," pungkas Guru In selesai mencatat.

"Aku tidak salah," bantahku. Kenapa juga wanita itu tidak menunjukkan empati dan main putus masalah?

"Tidak salah?" Alis Guru In nyaris bertemu. "Hei, kau nyaris membunuh orang. Kau kira kau tidak salah?"

"Apa-apaan ini? Kan, senior yang menggangguku." Aku kehilangan emosi. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengakui kesalahan yang bukan salahku.

"Kim Minji masuk UGD karena tanganmu," balas Guru In. "Kau tidak menyesal?"

"Itu risikonya mengganggu orang lain." Mulutku tidak bisa menahan diri.

Kena skor beberapa hari tidak akan masalah jika bisa menghindari gunjingan orang selama beberapa waktu. Pada saatnya aku akan baik-baik saja—ugh, tidak kalau muncul Minji lain menggangguku.

Dan ....

Ada apa dengan empatiku sendiri? Kenapa aku bisa bersikap kejam seperti ini? Tanganku gemetar di bawah meja, ketakutan pada ucapanku tadi.

"Hei!" tegur Guru In.

"Dia harus minta maaf dulu, Guru In." Mulutku tidak sinkron dengan hatiku.

"Tapi kelakuanmu yang tidak pantas."

"Jadi menyiram kuah makanan itu pantas?" Aku meradang.

"Bukan. Astaga." Guru In geram. "Yang kau lakukan itu membahayakan nyawa. Ganjarannya lebih besar."

"Konyol!" Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Sampai akhir pun, aku tidak akan minta maaf pada Minji, kecuali gadis itu berlutut di depanku. Siapa yang memulai, dia yang harus meminta maaf lebih dahulu.

Pintu ruang BP kembali terkuak. Aku melihat tatapan Eomma yang masih terperangah. Dia pasti lari dari sisi lapangan selagi melayani murid yang memesan sundae. Di tangannya, terdapat centong kuah. Bahkan Eomma hanya mengenakan satu sandal kiri, sementara pasangan sandalnya entah ada di mana.

Aku mengembuskan napas, benci menyaksikan penampilan Eomma. Kalau memang mau datang ke sekolah, setidaknya harus mengenakan pakaian dan sepatu keren. Aku jadi risi mendapati tampilan sederhana Eomma.

"Anak nakal, apa yang kau lakukan?" Eomma melempar centong ke kepalaku. Punggungku kena sengat luar biasa berkat tamparan Eomma. Tanpa basa-basi, Eomma membungkukkan badan dengan sempurna sambil meminta maaf. Berulang kali kecepatan mulutnya sepadan dengan rapper idola.

"Jwosseonghamnida (Saya minta maaf)!"

"Eomma!" Mataku berair. Aku benci melihat Eomma yang minta maaf di depan guru.

"Diamlah," sergah Eomma, memukul lenganku keras. Eomma menoleh ke guru In lagi, "Ini salahku karena kurang memperhatikannya. Aku terlalu banyak bekerja, maaf karena tidak mendidiknya dengan benar."

Harga diriku runtuh menyaksikan Eomma-lah yang mengakui semua kesalahanku. Pijar kemerahan kembali menggelegak. Tenggorokanku terasa kering. Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat, menahan umpatan kasar dialamatkan pada Eomma atau Guru In. Ini salah Minji. Dia yang keterlaluan.

Aku menarik lengan Eomma untuk keluar dari ruang BP. Lebih baik kami meninggalkan sekolah sesegera mungkin, tetapi Eomma bertahan dengan pendiriannya. Minta maaf sekali lagi dan ingin menanyakan nasib pendidikanku. Eomma ikut menyuruhku membuat surat pernyataan minta maaf dan bakal memastikan aku menuruti perintah sekolah. Namun, aku tetap bergeming sampai Minji bangun dari pingsannya lalu minta maaf.

Aku makin tidak tahan. Kutinggalkan Eomma sendirian di ruang BP, lalu aku pergi ke kelas untuk mengambil tas dan buku-bukuku. Ini adalah hari yang buruk. Wajar jika kedatanganku di kelas memicu keterkejutan sekaligus kengerian bagi anak-anak kelas 10-2.

Aku melirik pedas wajah Jung-A. Kalau bukan karena permintaan kecilnya, aku tidak akan mengalami kesialan paling menjengkelkan hari ini. Aku menyesal mengantarnya ke toilet. Seharusnya aku bertahan di kelas sampai jam pelajaran berakhir tanpa harus membantunya. Kuingatkan diriku sendiri, aku tidak boleh percaya sikap baik orang lain lagi. Aku menyesal terpengaruh olehnya, yang datang minta tolong ditemani ke toilet.

Tanpa Jung-A, aku akan baik-baik saja, plus perut kelaparan hebat.

Aku membanting pintu kelas. Langkahku semakin bergegas menuju gerbang sekolah. Aku tak tahu kapan bakal kembali ke sekolah, biar Eomma yang mengurusnya saat ini. Aku ingin meluapkan kemarahan. Apapun itu, asal seperti saat mencekik Minji.

Namun, ekor mataku terkunci pada satu-satunya obyek. Di sisi food truck milik restoran kami, Park Sunghoon sedang menikmati eomuk (kue ikan). Mulutnya penuh makanan yang sengaja dia gigit besar-besar.

"Ya, Park Sunghoon!" panggilku sekali lagi.

"Hai!" sapanya ringan, seolah tidak terjadi apa-apa. "Aku suka sundae dan eomuk. Enak sekali."

"Kau yang mengirim food truck kemari?" Itu bukan tuduhan. Aku tahu Sunghoon selalu langganan di restoran kami. Namun, aku juga kesal kalau Sunghoon memanfaatkan uangnya demi ini. Aku marah karena Eomma melihat keadaanku yang paling buruk.

"Benar. Hari ini aku ingin makan sundae lagi, tapi malas pergi ke restoranmu. Ternyata ada eomuk juga."

Sunghoon menjejalkan potongan eomuk lagi. Erangan kecil penuh kenikmatan atas jajanan berbahan ikan laut membuat Sunghoon puas.

"Dasar gila!" Aku gagal mengontrol mulutku. Banyak sumpah serapah yang ingin kusemburkan di wajahnya, tetapi kata-kata itu tertelan. Aku lapar. Cara Sunghoon makan mengundang selera, tetapi kutahan diriku untuk tidak ikut mencomot setusuk eomuk panas yang uapnya mengepul.

"Tapi aku senang sekali, Yuri-ya. Tak salah aku memilih hari ini. Enak sekali."

Aku menyesal bicara dengan Sunghoon. Pemuda ini sangat aneh.

Hanya karena punya banyak uang, bukan berarti seenaknya memainkan perasaan orang. Sudah dua kali dia menguji kesabaranku dalam rentang 28 jam. Aku tidak bahagia dengan wajah tengilnya.

Isi tas ranselku terlalu berat, jadi kulempar ke arah Sunghoon sebagai pelajaran, tetapi tasku mendarat di meja lipat di sebelah Sunghoon. Argh.... sudahlah. Lebih baik kutinggalkan tas itu. Eomma pasti akan membawa pulang tasku. Jadi aku bebas berkeliling sembarang tempat untuk menghibur diri tanpa beban di punggung.

Kutatap pelanggan setia di restoran Eomma, tetapi aku telanjur benci melihat Park Sunghoon.

Menyedihkan sekali tidak punya teman yang peduli ataupun membela ketidakadilan yang kualami. Kesepian terus melumat selagi aku pergi tanpa tujuan. Aku lupa bahwa aku kedinginan dan berbau sundae. Satu-satunya yang menutupi pakaian basahku hanyalah jaket milik Sunghoon.

Ah, anak itu.

Aku mengerang sebal. Kenapa harus dia yang meminjami jaketnya? Namun, aku perlu menutupi seragam yang penuh bercak kekuningan akibat sisa bumbu kuah.

Langkahku sudah terlalu jauh dari area sekolah. Beberapa orang menatapku secara aneh. Ya, mau bagaimana lagi. Melihat siswa SMA berkeliaran dengan pakaian lengket akan bau kuah warna kuning tentu saja mencolok perhatian.

Tanpa sadar, aku sudah mencapai lingkungan asing. Deretan rumah dengan gerbang dari seng tua. Aku tidak tahu bahwa di pusat kota terdapat lingkungan rumah serba sepi dan kumuh. Gang perumahan sangat sempit dan gelap gulita. Ini belum jam sembilan malam, tetapi sangat aneh kalau penduduknya sudah tidur. Eh, apakah tempat ini kosong? Tidak banyak rumah yang menyalakan lampu.

Aku melihat sekelilingnya dengan pandangan waspada. Aku bahkan tidak membawa ponsel untuk menelepon 112 sebagai pertahanan akhir. Aku maju selangkah demi selangkah, tetapi telingaku dapat menangkap suara langkah lain. Aku menguji pendengaranku sendiri dengan menyusuri salah satu gang. Semakin cepat aku berjalan, suara itu ikut cepat. Tidak lucu ada yang menguntit. Aku harus menemukan jalan besar atau bangunan yang banyak orang. Dengan begitu aku akan aman. Namun, rute yang kutempuh salah. Semakin aku maju, semakin gelap.

Wah..... aku harus menemukan jalan yang benar. Akan sangat berbahaya jika aku berada di tempat yang tidak kukenal. Aku tidak mau menjadi korban kejahatan dan menghadapi insiden menakutkan. Namun, aku harus tahu apa yang terjadi dengan suara langkah kaki di belakangku. Beruntung kalau dia cuma penyintas biasa. Beda jika dia kriminal yang merampok barang orang lain.

Kalau saja tasku tadi kubawa, akan kuserahkan secara sukarela isi dompetku. Masalahnya aku memang tidak bawa apa-apa. Dengan penuh keberanian, aku berbalik untuk memastikan siapa orang di belakangku. Tidak ada siapapun. Aku mengerang lega. Kulanjutkan langkah ke depan, tetapi suara kaki itu ikut terdengar.

Ada pengikut yang bersembunyi rupanya. Aku makin ketakutan. Suara detak jantungku yang menggila membuktikan betapa seriusnya situasi ini.

Aduh. Aku Yoo Yuri, 17 tahun dan masih kelas 10 SMA Cheong Ah. Aku remaja temperamental yang ingin mencicipi kehidupan remaja. Namun, tolong jangan sakiti aku dulu. Aku anak baik, tapi hanya agak pemarah sekaligus pemalas. Jadi, jangan sentuh aku.

Dan seperti semalam, aku menciut ketakutan. Aku membatu begitu saja selagi langkah penguntit makin mendekat. Mataku terpejam, tak mau memastikan serangan apa yang akan terjadi padaku.

Sepertinya..... Ini adalah akhir eksistensiku.

Tolong, selamatkan aku!

~~~~~~~~~~~

Hai, makasih udah mampir baca. Jangan lupa klik bintangnya, biar semangat menulis. Makin banyak yang vote dan komen, makin gak kendor nulisnya. U,U

Ada krisar enggak sih, cerita ini bosenin atau gimana.

Kepo nggak, si Sunghoon beneran vampir atau apa?

Yuri lagi ada di mana dan siapa yang mengikutinya?

Klean tegang nggak sih sama situasi gelap yang dialami Yuri?

Tiga bab cerita awalnya seru nggak? Sebelum lanjut baca, diharapkan buat follow akunku, ya. Biar makin semangat menulis cerita-cerita seru lainnya.

Ganti cover. Bagus mana sih?


Or

26 Oktober 2020.
Revisi lagi 16 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro