[ii-09] ASAP HITAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Whuaaaaa I am back. Vote dulu ya, biar gak kelupaan.

Makasih yang maraton baca, sampe vote pun selang seling loncat-loncat. Nyenengin aku tuh simpe aja. Liat notif masuk.

😘😘😘😘😘

12 Januari 2021

"Di mana dia, Sunghoon-ah?" tanya Woonyoung. Suaranya tersambung lewat penyuara jemala nirkabel. Gemericik angin dan napasnya yang memburu membuktikan dia masih mengejar Tukang Onar ini.

Sama halnya denganku, Woonyoung sangat tertarik dan kesal, sulit melacak buronan penting kami. Tidak ada sketsa wajah sebagai panduan. Hanya mereka-reka dari ukuran sepatu dan tinggi badannya. Satu yang pasti. Dia laki-laki.

"Dia melepas mantelnya, membaur di antara pengunjung!" kataku.

Aku berbalik masuk ke dalam pasar, lebih teliti mengamati setiap gerakan orang-orang di sana. Namun, jumlah pengunjung terlalu penuh. Tidak ada laki-laki aneh yang mencurigakan.

Langkahku melambat. Buronan tadi memang melepas mantelnya, tetapi tidak akan bisa melucuti bagian bawah sambil berlari.

"Cari yang celananya cokelat tua dan sepatu merah tembaga!" saranku. Aku masih ingat potongan bawah celananya yang memiliki beberapa garis strip. Bagian itu tidak bisa tertutupi oleh mantel hujan.

"Sedikit lagi tertangkap, kenapa kabur terus!" keluh Woonyoung.

Aku mencibir. Dia sudah mendapat banyak anggota, tetapi masih minta bantuanku. Perpaduan aroma asam puluhan kimchi di kotak pendingin yang dijajakan menarik perhatianku, tetapi ada pula aroma bengkel dan toko baju. Walau ada banyak kios pakaian dan tas, tetapi mustahil dua bau membaur tidak wajar di depan kios kimchi.

Seorang pria berambut cepak dan pirang, menggunakan topi hitam berdiri di depan. Dia memegang dua kantong plastik warna-warni berisi makanan di tangannya. Begitu lancar bertransaksi dan bercanda dengan bibi penjual.

Aku membuntuti arah perjalanannya. Warna kulitnya terlalu menarik perhatian. Dia berjalan santai, lalu menepi ke kios roti goreng. Tampaknya penjual mengenali pemuda itu.

Kuputuskan berhenti, penilaianku agaknya salah. Bisa saja dia orang lokal yang tinggal lama di Pocheon.

Mustahil vampir yang selalu berkeliaran di Jongno bisa membuat keributan di Pocheon.

Langkahku melambat, hendak meninggalkannya sewaktu dia bergegas. Dalam sekejap dia menghilang di balik tembok perumahan. Aku meloncat ke pagar, memanjat dinding rumah dan mencapai atap rumah dua lantai. Dia berlarian, sudah meninggalkan keranjang belanjaannya. Aku bergegas mengejarnya. Vampir panik di depanku sangat terburu-buru, bahkan menjatuhkan genting ataupun memecahkan pipa air. Sulit untuk melihat wajahnya selagi topi dan masker menutupi wajahnya. Dia sangat gesit. Jarak pengejaran semakin melebar di antara kami berdua.

Aku tidak mau menyerah. Dia harus kutangkap bagaimana pun caranya. Seandainya Yuri belum tampak batang hidungnya besok, aku akan baik-baik saja menunggu kembalinya dia. Kami aman dari tuduhan. Tetapi kalau Tukang Onar seperti di depanku belum juga kutangkap, ancaman pemenggalan leher sangatlah meresahkan.

"Berhenti, Berengsek!" makiku.

Aku membusungkan dada. Kepalaku terangkat sedikit, tetapi aku melayang lebih cepat. Aku menyeringai senang akhirnya bisa menyusulnya. Namun, itu berlangsung cepat. Dia melakukan hal yang sama dan semakin melesat ke depan. Kutarik belati kecil, tetapi lemparanku meleset semua. Dia sangatlah hebat dalam menghindari benda tajam, kendati tidak melihat ke belakang. Aku sulit memprediksi gerakan acaknya.

Desingan angin sangat bising. Rumah-rumah dan area perumahan berlarian di belakang kami. Kehidupan manusia yang penuh hiruk pikuk itu senyap seketika. Dedaunan yang padat, kombinasi kuning, merah dan cokelat khas musim gugur. Vampir gesit kembali ke area pegunungan dan mendaki pepohonan. Sulit melacak gerakan pohon selagi angin kencang menerjang seisi hutan. Aku menekan tombol penyuara jemala di dalam telinga, tetapi benda itu menghilang. Umpatan kasar keluar dari mulutku yang kaku. Pantas saja aku tidak bisa mendengar suara siapapun. Tak ada pilihan. Aku terus masuk ke hutan, menelusuri jejaknya lagi.

Semburat jingga menyeruak di balik awan. Begitu terang di atasku. Dawn.

Permulaan bagi makhluk yang tergigit di paruh awal malam, menempa kekuatan dan hasrat yang membara. Mata merahku menyala, memindai seisi hutan yang semakin petang. Banyak hewan berkeliaran dan menjauh dariku. Makhluk-makhluk itu tahu ada predator berbahaya. Mereka terlatih menghindari vampir. Mungkin karena ada beberapa vampir nomaden yang menetap di sini.

Aku mendengar suara-suara baru. Tidak cuma satu dua pasang sepatu. Lebih dari itu.

Entah dia vampir nomaden atau pun timnya Woonyoung. Mereka datang dari arah berlawanan. Aku tetap harus waspada dengan satu-satunya pedang emas di tangan dan mengarah diagonal ke kiri.

"DARI MANA SAJA KAU, BAJINGAN! KENAPA SUSAH DIHUBUNGI, HAH!" Jeritan Woonyoung yang lepas kontrol membuat burung-burung terbang dari sarangnya, tak kuasa pada kuatnya desibel suara vampir tukang marah itu.

"Mengejar pelaku. Justru kalian yang ke mana saja?" pancingku kesal. Baik timnya Woonyoung ataupun Polaris tidak ada yang membantuku. Walau putus kontak, setidaknya mereka harus mengikuti arah pelarian sang pelaku.

"Tentu saja membuat jebakan untuk menangkapnya, tapi gagal karena kau susah dihubungi." Woonyoung memelankan suaranya, kendati ekspresi marahnya belum surut. Woonyoung duduk di sebuah batu, sama sekali tidak tertarik menerima sodoran darah dari anak buahnya.

"Jebakan apa yang kau inginkan?" tanyaku. Tidak mustahil jika pelaku bisa disudutkan. Masalahnya vampir itu bisa saja mendengarkan rencana penangkapan di hutan ini.

"Kami hendak menyudutkannya di tengah danau kecil. Seharusnya Polaris sebagai penjaga luar bisa menekan pelakunya kembali ke hutan. Namun, kau menghilang begitu saja. Kami sempat khawatir kau terluka," repet Woonyoung.

"Aku akan berjaga lagi. Polaris ikut aku patroli malam ini," cetusku. Terlalu malas untuk berhadapan dengan Woonyoung.

Bahkan Jake tahu batas. Di tidak mendekati Woonyoung agar tidak kena semprot malam ini. Lagi-lagi Jake menjentikkan jari telunjuknya di pundakku. Dia menyodorkan tabung berisi darah donor sebagai jatah harian, tetapi aku menggelengkan kepala. Sebagai tim khusus, semua anggota Polaris dan Saturnus—nama grup milik Woonyoung—berhak menerima setengah liter darah untuk dua kali minum dalam sehari, tetapi aku menolak minum.

"Kalian tidak menemukan vampir nomaden?" tanyaku sewaktu anggota Polaris sudah lengkap di depanku.

Semua orang menggelengkan kepala. Aku maklum. Mereka pasti sibuk mengejar pelaku dengan ketua pimpinan yang menghilang begitu saja dan mengikuti komando Woonyoung.

"Perkembangan Sowon sendiri bagaimana? Bukankah Saturnus melawan manusia pengusir setan tersebut?"

"Kami juga heran. Orang Sowon belum menyerang siapapun di antara kita. Masih sibuk menyelidiki kebabakaran istana," lapor Jake bersemangat.

Aku menganggukkan kepala. Vampir selalu selangkah di depan pertempuran. Aku belum bisa berhenti menyalahkan keputusan Ketua Park yang selalu diputuskan secara cepat.

Walau kakiku pegal, tetapi demi menebus rencana gagal Woonyoung, Polaris menyusuri hutan. Tidak seperti di hutan-hutan Gangwon yang padat vampir nomaden, Pocheon bisa dibilang kosong. Tak ada jejak para penghisap darah hewan. Polaris lebih berhati-hati setiap melangkah.

Aku mengangkat tangan, menunggu ketika jejak suara itu muncul. Langkahnya kelelahan mendaki, terengah-engah. Demikian pula pada suara tapak kaki lainnya yang kecil dan panik. Lantas lengkingan hewan kembali menyeruak di udara. Kami berlari menuju sumber suara, senang menemukan vampir nomaden. Tetapi suara asing itu berhenti. Menghilang tanpa jejak lagi.

"Apa ini?" Woonyoung muncul dari balik bayangan pohon di belakang. Dia memasukkan ponsel di sakunya. Aku menyadari apa yang dia lakukan. Rekaman suara rusa palsu mempermainkan aku.

"Kau patroli cuma mencari Yuri. Pantas saja kita tidak bisa menemukan vampir pemangsa liar. Ini kelakuanmu seharian, mencari cinta terlarang?" Sindiran Woonyoung selalu saja menyakitkan, tetapi aku terbiasa menahannya.

Gadis berambut ikal panjang ini terus memojokkan dengan segala cara, sampai aku menyerah dan mau berpasangan secara keseluruhan dengan Woonyoung.

"Kembalilah ke tugasmu. Prioritas kita menangkap bedebah itu. Laporkan apa yang kau lihat tadi jika memang benar-benar anggota Polaris," bentak Woonyoung.

Aku menceritakan rincian perjalanannya, bagaimana kecepatan berlari dan cara menghindari lemparan belati. Dia terlalu cepat dan hebat untuk dikalahkan eh tim gabungan.

"Kami akan membantu sampai di sini, Woonyoung-ah. Tugas kita berbeda. Polaris fokus melacak vampir nomaden."

"Enak saja. Kau sudah mengacaukan pekerjaan kami, dan sekarang pergi setelah menghilangkan jejak tersangka. Kau sembunyikan dia di mana, Bajingan?" semprot Woonyoung.

"Masih di sini. Kau bisa mencarinya." Aku berpaling, kelelahan dan meninggalkan hutan Pocheon yang kecil. Masih banyak hutan-hutan yang perlu dieksplor lagi.

Tim gabungan dibubarkan kendati misinya belum tuntas. Aku bisa melihat bahwa Woonyoung sengaja menarikku datang untuk bantuan tidak perlu. Dengan menaiki sedan yang kami parkir di taman buatan, kami kembali ke Gangneung.

"Asap apa itu?" tanya Byeomgyu selaku vampir yang bertugas sebagai sopir. Dia melirik kaca spion samping.

Aku membalikkan badan terlalu singkat. Woonyoung selalu saja memicu masalah yang tidak perlu. Demi merendam kemarahan, gadis itu melempar korek api ke sembarang tempat.

"Bantuan! Sowon menyerang kami!" Gemerisik dari radio terdengar. Berulang-ulang melaporkan kejadian tidak terduga.

Mobil meluncur cepat di tikungan tajam. Suara ban berdecit mengerikan dari aspal, lalu menghantam tepi jalan berbatu. Kami meloncat dari mobil, berlari sekuat tenaga menuju sumber api.

Kepulan awan hitam merambat ke udara, membentuk gumpalan monster panas. Temperatur memanas sewaktu puluhan pendeta melempar tombak ke arah pasukan Woonyoung.

Para vampir sedang lengah. Meletakkan senjata di tempat yang sama, dan tempat itu sudah dikuasai penganut Sowon.

Ayat-ayat suci dirapalkan, demikian pula puluhan lonceng yang dijentikkan keras. Kami menutup telinga, tak tahan pada suara lonceng itu.

"Siapa yang sekarang teralihkan? Bukankah Ketua Park menyuruhmu mengurus kekacauan ini? Bukan pada vampir siang tadi, kan?" sindirku sewaktu menyerang musuh di depan.

Woonyoung tidak bersenjata, tetapi dia cekatan menghindari lemparan benda tajam milik manusia. Gadis itu meloncat di dahan pepohonan, lalu meluncur cepat ke leher pendeta yang memegang lonceng.

Kini aku paham bahwa vampir buruan kami akhirnya pindah dari Jongno.

Rupanya dia diburu pengikut Gereja Sowon. Dia pintar mengecoh para vampir dari Gyeonghyui untuk datang ke hutan Pocheon.

Darah bercipratan mengenai wajahku selagi pedang menebas siapapun yang ada di depanku. Gemerlap jingga terakhir di Barat perlahan hilang, sewaktu gaung pertikaian antar dua makhluk semakin keras.

Aku bisa melihat wajah gadis bersimbah air mata. Bercak darah di mulutnya sangat mengerikan. Kakinya diseret dari belakang oleh dua manusia. Sementara itu, aku terseret ke arah berlawanan, semakin menggelap bersama sakit yang membara. Pandanganku semakin merah sebelum terpejam secara keseluruhan sebagai vampir.

Kilasan masa lalu berkat kibaran obor yang menyala di tangan para pendeta masih sama pada tahun 1970-an.

"Kami tidak salah apapun!" seruku, menahan perkelahian ini semakin memburuk.

Walau mereka pengusir setan, tetapi 50 orang di depan kami tetaplah manusia yang punya keluarga dan tanggungan.

"Tapi kalian membunuh manusia, lintah!" ejekan itu menyahut lantang dari salah satu para pelaku exorcism.

"Kami memburu pelakunya, tetapi dia bukan bagian kami," jelasku.

"Bagaimana kami bisa percaya?" tuntut pemimpin paling depan. Sejak tadi mulutnya sibuk melemparkan arahan penyerangan.

"Ayahmu mungkin tahu kisah kami, tetapi sejak terakhir kali perang terjadi, sistem kami berubah menjadi legal. Kami membeli darah. Yang membunuh akan dipenggal oleh aturan baru kami."

"Omong kosong!" Dia melempar ludah jijik. "Pembunuhan manusia telah terjadi."

"Kami menyesali kejadian itu, tetapi itu urusan kami," jelasku.

"PERSETAN!"

Pedang dan tombak beradu. Jeritan demi jeritan akibat hantaman saling bersahutan. Nyawa bertumbangan. Hal yang tidak kusangka adalah manusia pengusir setan ini cukup kuat melawan kecepatan para vampir. Kami terpojok di sisi tebing, tombak tajam menancap ke bebatuan kasar. Dengan menggunakan tombak sebagai pijakan, aku memutar badan, meloncat dan menyerang balik. Seluruh tubuh terluka, tetapi aku takkan menyerah untuk balas agresif. Setelah semua penganut gereja lari tunggang langgang menyelamatkan diri, vampir tersisa membakar semua mayat dan menghancurkan perak-perak tajam.

Kobaran api semakin menyebar, membumihanguskan separuh hutan Pocheon. Jilatan merah menjadikan mayat lawan maupun kawan sebagai abu. Tak ada jejak.

Polaris masih utuh, meski babak belur. Woonyoung kehilangan separuh pasukannya. Dia bernafsu tinggi untuk balas dendam. Namun, aku menyuruh semua orang tersisa untuk meninggalkan Pocheon sesegera mungkin. Di balik gorong-gorong, semua orang bekerja sama untuk memblokir jalan vampir dari dalam.

Kami telah kalah telak dengan dua pertempuran berturut-turut, terutama dari tukang onar.

Tak ada pilihan lain, selain menyiapkan perang yang lebih besar dengan orang-orang Sowon.

Uri dashi manna, Yuri-ya. Jangan pergi ke mana pun. Diamlah di tempat. Aku akan menjemputmu.

Lalu gagasan lain menamparku dengan amat sangat telak.

Bagaimana kalau gadis itu tidak berkeliaran di hutan? Justru tertangkap oleh gereja Sowon?

Spekulasi baru ini membubuhkan kemarahan. Aku bergegas pergi, siap untuk pertarungan baru.

Voteeeeee jangan lupa, makaciwww

Revisi, 18 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro