13. Di Balik Rumor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir tiga puluh menit penuh Anyelir berkutat pada tiap lembar buku fiksi dalam pangkuan. Ketika rasa bosan mulai mendera, ia melirik ke samping. Anggara masih setia bersama Crime and Punishment karya Fyodor Dostoyevsky. Ada yang unik dari sekadar pemandangan seorang laki-laki yang tengah membaca buku. Sebelah tangan Anggara bekerja memegang buku, sedangkan tangan lain memainkan rubik berukuran 3x3. Sesekali laki-laki itu akan melirik rubik, lalu kembali lagi ke buku.

"Kenapa?" tanya Anggara tanpa beralih, tanpa menghentikan kegiatannya.

Anyelir menutup bukunya, lalu menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinga. "Kamu lucu."

"Lucu atau ganteng?"

"Masa cantik?" tanya Anyelir lagi.

Seperti biasa, obrolan mereka kalau tidak saling menjebak, ya saling mengejek. Anyelir mengarahkan pandangan ke arah jendela. Hamparan langit biru yang luas menjadi titik fokusnya.

"Ya, cantik 'kan cuma punya kamu, Nye."

"Emm ...." Anyelir bergumam panjang tanpa berhenti memandang langit. "Mas Angga, gombal deh ...." Ia mencubit lengan Anggara cukup lama.

Laki-laki itu berdecak, menepis cubitan. "Alay," umpat Anggara lirih. Kemudian ia mengecek susunan rubik di tangan kanan.

"Kok Mas Angga tahu bahasa alay sih? Kamu 'kan belajar sama nyari makannya di negara penjajah."

"Ya, tahulah ... aku nggak sekuno itu." Anggara meletakkan buku serta rubiknya di meja kecil. "Nggak usah bawa-bawa penjajah. Ibuku orang Belanda, kakek buyutku juga setengah pribumi. Mau apa kamu?"

Senyum Anyelir terkembang, posisinya pindah bertopang dagu tepat di samping wajah laki-laki itu. "Cuma mau bilang kamu ganteng kok."

Gadis itu menjulurkan satu tangan dan merapikan kerah kemeja Anggara. Belakangan ini perlakuan gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang telah lama menghilang. Lelucon macam apa ini? Sang pencipta pernah membiasakannya menjalani hari-hari sebagai Anggara Hadiarsa Pranadipa yang baru. Akan tetapi, kenapa gadis bernama Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo itu seakan hendak mengembalikan tatanan semestanya yang sudah pernah hancur?

Kali ketiga, Anggara mencoba menyelami warna mata yang serupa dengannya. Bukan untuk membongkar isi kepala gadis itu, melainkan mengingatkan diri sendiri. Gadis itu bukan Arindi Gabriella Jansen, mereka adalah dua orang yang berbeda. Tak akan pernah ada Arindi kedua, ketiga sebab semesta telah merebut Arindi sepenuhnya.

"Mas Angga," panggil Anyelir.

Entah sejak kapan gadis itu melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Ia segera menangkap pergelangan tangan yang terpasang gelang Arindi.

"Kamu pernah kehilangan orang paling berharga?" tanya Anggara.

Mata Anyelir melebar, tadinya hendak mengolok-olok pertanyaan remeh itu. Namun, melihat perbedaan dalam sorot mata Anggara. Ia memilih mengulum senyum.

"Never, but my first love always leave me."

"First love?" ulang Anggara.

"Ayah kandungku dan Kak Randu."

"Kamu punya Ibu Seruni dan Pak Hermawan, Nye."

Sesungguhnya, Anggara tidak terlalu peduli dengan obrolan ini. Hanya saja lidah sialannya sudah terlanjur melontarkan pertanyaan bodoh tadi.

"Beda dong. You may understand if you ever lose something you can't replace," jawab Anyelir santai, lalu mengangkat kedua bahu. Ia beralih pada hamparan langit di balik jendela.

"Buang semua mainan kamu, Nye."

Usai memutar bola mata, Anyelir kembali menemui sepasang mata caramel yang tengah menuntut itu. "Kamu udah menukar dua ponselku dengan ponsel yang isinya bukan aku banget ya. Sebentar lagi juga kamu mungkin mau menyekapku di sangkar emas, apa aku terlihat masih punya celah?"

Anggara buru-buru meletakkan telunjuknya di bibir gadis itu. "Kalau ada yang denger gimana?" bisiknya. "Mau kamu, aku ikat di depan gerbang?"

Gadis itu menganga, matanya melebar. "Serius?? Kamu ...."

Reaksi itu membuat tawa Anggara mengurai. "Ya nggaklah."

Tiba-tiba Anyelir menyandarkan punggung. Matanya terpejam, lantas ia mengembuskan napas panjang. Seolah-olah candaan Anggara serupa film horor yang baru berakhir. Pembahasan tentang orang yang tak akan terganti sekarang melekat di kepala mereka. Lewat pertanyaan bodoh tadi, Anggara bisa menyimpulkan bahwa rumor tentang Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo si gadis penggoda yang rusak adalah kekeliruan. Semua orang hanya dapat melihat apa yang gadis itu perbuat, mereka tidak mengetahui alasan di baliknya. Secara bersamaan, entah kenapa ia ingin mengatakan sebuah kalimat basi.

"Kalau nanti aku jadi satu-satunya yang paling mengerti kamu. Jangan pernah berharap lebih, Nye."

"Basi banget, Anggara. Kalau nanti cuma aku satu-satunya wanita yang bertahan di sisi kamu. Jangan pernah bilang cinta, karena aku nggak akan percaya."

"Hopeless romantic girl. Menggaet banyak laki-laki cuma untuk ditinggalkan, karena takut ditinggalkan."

"Kamu sendiri sad boy ya, Anggara. Menggaet banyak perempuan cuma untuk menemukan yang mirip sama yang pernah meninggalkan," ejek Anyelir.

Satu sudut bibir Anggara tertarik. "Cocok dong kalau gitu." Ia meraih buku yang tadi dibaca.

***

Sesudah turun dari mobil yang menjemput mereka di bandara, semua pasang mata menatap seolah tak percaya ditambah raut wajah setengah terkejut. Mungkin orang-orang itu masih sulit memercayai kalau dua keluarga konglomerat tanah Jawa ini akan bersatu. Anggara terus menautkan jemari mereka sekalipun dibarengi menyapa beberapa sepupu dan paman serta bibinya. Bagi Anyelir, rumah Eyang Putri tidak kalah luas dengan Danadyaksa di Solo—rumah Kakek Buyut dari klan Cokroatmojo murni, tempat RUPS biasa diadakan. Ia mengenali wajah beberapa sepupu perempuan Anggara lewat acara Season to Remember.

Anyelir rasa, sanak saudara Anggara memang menunggu kedatangan mereka. Jadi, di sinilah ia berada, berhadapan dengan sebuah meja persegi panjang lebar dan besar. Sekitar dua puluh orang lebih menduduki kursi dan antusias menilai penampilannya. Sementara Eyang Putri yang mengenakan kebaya hitam duduk tenang tanpa suara.

"Baik, sebelum kita mulai acara makan malam. Kita sambut dulu kembalinya Anggara dari Belanda," kata satu-satunya wanita cantik yang masih berdiri di tengah-tengah mereka. "Seperti pengumuman di grup keluarga kemarin, hari ini Anggara membawa perempuan spesial yang akan dikenalkan secara resmi."

"Kalau pacarnya Mas Angga sih kita semua pasti udah kenal, Bude," kata salah satu sepupu laki-laki Anggara. Dia dan orang di sebelahnya saling melirik kemudian menyeringai ketika menatap Anyelir.

"Tetap harus ada pengenalan ya, Rian. Selama ini mungkin kita cuma mengenal Anyelir di sosial media atau acara Season to Remember." Wanita itu menoleh pada Anggara. "Kamu mau menyampaikan sepatah dua patah kata mungkin?"

"Terima kasih, Bude Paramitha." Anggara berdiri tegak dan mengulas senyum terbaik pada semua orang di meja makan. "Sebelumnya saya ingin berterima kasih atas sambutan Mas, Mbak, Bude, dan Pakde. Selain senang bisa kembali bergabung, saya juga senang karena bisa memperkenalkan perempuan yang akan saya pinang dalam waktu dekat ini. Segala macam pertanyaan dalam benak Mbak, Mas, Bude, dan Pakde sekalian. Terutama Eyang Putri, nanti akan saya jawab dengan kesungguhan saya membawa Anyelir ke depan altar." Ia menyentuh bahu Anyelir. "Sayang, kamu sambutan perkenalan sebentar, ya," ujarnya lirih.

Anyelir menjawabnya dengan anggukan, sesuai rencana mereka. Ia berdiri sambil menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum sopan. Kalau boleh jujur, sebenarnya tangannya agak dingin. Sepanjang eksistensinya di muka bumi, ia tak pernah menghadiri acara keluarga laki-laki mainannya. Sungguh, ini merupakan babak paling menegangkan.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Angga beserta keluarga karena telah mengundang saya dalam acara hari ini. Perkenalkan nama saya Anyelir, biasa disapa Anye. Saya merupakan anak semata wayang dari Bapak Hermawan Cokroatmojo. Pion Atmojo Group ke tujuh, generasi kedua."

"Sekarang sudah dipegang generasi keenam ya, Mbak?" tanya seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan kacamata.

"Iya, Pak, tapi masih dalam masa serah terima jabatan. Sekarang pion utama generasi keenam adalah Mas Dio Anggara Cokroatmojo, anak dari Om Herdian," jawab Anyelir.

Pria itu mengangguk-angguk.

"Kayaknya kalian beneran jodoh deh," celetuk gadis yang mengenakan kacamata bulat. "Nama tengah sepupunya Mbak Anye aja mirip nama depannya Mas Angga, ya 'kan? Ya 'kan? Setuju nggak?" Ia bertanya pada seluruh orang di meja makan.

"Anak bau kencur nggak usah ikut ngomong dulu kenapa sih," celetuk Rian.

"Apaan sih Mas Ian! Aku 'kan ngasih pendapat!" seru gadis itu lagi. "Lagian Mbak Anye cantiknya nggak ada obat, nggak salah juga dong kalau Mas Angga gerak cepat! Masa kata Mas Ian, Mas Angga tuh boh—"

"Roni! Cepet sumpel mulut si Andora itu ember banget!" seru Rian.

"Kalian anak bau kencur tutup mulut dulu bisa nggak?" Sekarang perempuan yang kira-kira beberapa tahun di atas Anyelir angkat bicara. "Oh ya, Nye. Kenalin namaku Sissy. By the way, kamu tertarik jadi brand ambassador nggak? Aku punya produk hand and body nih. Aku sih niat nawarin udah lama, tapi belum sempat-sempat nyari kontak kamu."

"Mbak, dilarang ngomongin bisnis di meja makan kali!" kata perempuan di sebelah Sissy. "Gimana sih, nggak ada pertanyaan yang lebih berbobot gitu."

"Sudah, sudah." Bude Paramitha beralih pada Eyang Putri. "Gimana, Bu? Nanti lanjut wawancara ekslusif?"

Eyang Putri mengangguk seraya senyum. "Kita mulai makan dulu saja, Nduk."

Titah tersebut membuat Anyelir kembali duduk sekaligus lega. Berbagai jenis makanan khas Indonesia tersaji di meja makan. Ia harus mengisi tenaga sebelum menghadapi tes lisan bersama Eyang Putri. Sesuai susunan skenario dan acara tukar daftar riwayat hidup, Anyelir mengisi piring Anggara dengan nasi beserta lauk favorit laki-laki itu. Beberapa orang di meja makan nampak memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Mungkin sedang menguji tingkat keaslian hubungannya dengan Anggara.

"Sambalnya jangan banyak-banyak, sayang. Ingat lambung kamu," kata Anggara ketika ia tengah menuang sambal matah ke piringnya.

Anyelir meringis begitu pandangan mereka bertemu. "Iya, aku khilaf."

Anggara mendorong piringnya. "Pindahin ke sini separuh."

Percakapan kecil dalam skenario mereka berhasil menarik seluruh atensi orang di meja makan. Semua penghuni meja tahu bahwa Anggara hampir selalu menghindari sambal.

"Kalau segini aja?" Anyelir bertanya setelah memindahkan sambal seujung sendok ke piring Anggara.

"Anyelir," panggil laki-laki itu lembut.

"Dalem, Mas Angga?"

Anggara menatap lekat-lekatgadis yang tengah tersenyum manis itu. "Jangan bandel." Kemudian ia menuntuntangan Anyelir yang masih memegang sendok, memindahkan sambal ke piringnya.

*Dalem: Jawaban dalam bahasa Jawa ketika seseorang memanggil.

Happy long weekend yaa~
Jangan lupa bahagia dengan hal sesepele apa pun ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro