14. Di Balik Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir tengah asik bercengkerama dengan Sissy, Andora, dan Selina—di ruang keluarga tempat sepupu-sepupu Anggara berkumpul—ketika Bude Paramitha datang menghampiri. Ia diminta menemani Eyang Putri di ruang tengah. Anggara dengan sigap menautkan jemari mereka lagi. Laki-laki itu mengantarnya hingga berdiri di depan sebuah pintu kayu jati tanpa ukiran. Anyelir melirik sejenak gelang yang menghiasi pergelangan tangannya, gelang yang laki-laki itu pasangkan saat mereka menyusun strategi.

Gelang tersebut mirip dengan gelang yang Anggara kenakan, hanya berbeda warna saja. Usai laki-laki tersebut memasangkannya, Anyelir menebak-nebak kalau gelang ini mungkin adalah pengikat antara Anggara dengan sang mantan kekasih—yang Anyelir belum ketahui siapa orangnya dan ia tak peduli juga. Sebab ketika mereka kali pertama bertemu di kafe bandara, gelang tersebut memang sudah tersemat di pergelangan tangan laki-laki itu.

"Sayang?"

Anyelir mengerjap-erjapkan mata, lalu mendongak. "Dalem, Mas?"

Padahal Anggara sendiri yang mengubah paksa gaya bicara gadis itu. Namun, rasanya masih seperti sebuah kejutan saat mendengarnya. Anggara berdeham. "Mas ngomong sama kamu dari tadi."

"Maaf." Anyelir meringis. "Aku gugup banget."

Anggara ikut memandangi pintu ruang tengah di hadapan mereka. Semasa kecil ruangan itu hanya sebatas tempat berkumpul yang tak jauh beda dengan ruang keluarga. Namun, berdasarkan rumor yang berseliweran di antara para Mas-mas dan Mbak-mbak penerus Prana Corporation. Ruang tersebut merupakan tempat eksekusi. Tidak sedikit calon kakak ipar yang gugur lantas memilih tawaran Eyang Putri, kecuali istri Mas Revan dan Mas Aksa. Wanita baya tersebut seakan punya mantra-mantra ajaib yang dapat mengubah pemikiran orang secepat tarikan napas. Meskipun begitu, mereka masih berlomba-lomba mendapatkan semacam warisan pasca menikah yang akan diberikan Eyang Putri kepada para cucunya.

Ketika menjumpai sepasang mata cantik Anyelir, ia menangkup sebelah pipi gadis itu. "Jangan terlalu dipikirkan."

Anyelir mengangguk, lantas mengingat ucapan Anggara sewaktu mereka menyusun strategi di kamar laki-laki itu.

Nye, di Surabaya nanti, lupakan kejadian selama di Bali. Aku adalah pacar empat tahun kamu dan kamu nggak perlu mencari fakta-fakta lain. Satu yang harus kamu ingat, kita saling mencintai.

Ingatan itu lenyap dan Anyelir menyentuh tangan yang menangkup sebelah pipinya. "Jangan khawatir, Mas. Aku baik-baik aja."

"Ekhem ... ini bukan salam perpisahan 'kan ya?" tanya Bude Paramitha yang menyembulkan kepala di balik pintu. "Mas Angga ini lho, cuma ke ruang tengah aja diantar."

"Selama saya di samping Anye, saya pasti menemani dia ke manapun. Itu janji saya ke Anye, Bude," jawab Anggara yang menyematkan senyum Pepsodent.

"Gombalmu Le, Le ...." Bude Paramitha mengibaskan tangan.
"Sudah sana ngomongin kemajuan perusahaan sama Mas-masmu!"

Anggara memegangi puncak kepala gadisnya. Ya, kira-kira posisi Anyelir Cokroatmojo untuk hari ini entah sampai kapan adalah gadis yang membuatnya bertekuk lutut. "Mas tunggu kamu di taman belakang."

Sesudah melihat anggukan Anyelir, ia berbalik. Semoga saja gadis itu bisa menjalankan misi dengan baik.

"Mas Angga."

Panggilan itu menghentikan langkahnya. Ia mengernyit sebelum berbalik.

"Jangan lupa sama ini." Anggara masih menunggu kalimat selanjutnya. Jarak mereka hanya sekitar dua meter. "Anye sayang Mas Angga."

Tanpa sadar senyum madu Anyelir menular padanya. "Kalau istilah evening kiss itu ada nggak?" Ia bertanya sambil melangkah santai, tanpa melepaskan Anyelir dari pandangan.

Gadis itu menggumam panjang, telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu. "Belum kayaknya. Cuma ada morning kiss."

"Anak-anak, tolong jangan lupakan Bude di sini ya."

Gelak tawa Anyelir dan Anggara sangat kompak, ketika menemukan Bude Paramitha tengah menggerakkan kipas batik ke wajah dengan dagu terangkat.

"Maaf, Bude. Habis kalau Anyelir bilang I love you pasti nggak akan saya balas," kata Anggara.

"Kenapa gitu?" tanya Bude Paramitha.

"Langsung cium aja biar nggak basi."

Raut Bude Paramitha seketika berubah sedatar layar Mac Book. "Kamu betah sama dia, Nye?" Ia menunjuk hidung keponakannya.

***

Eyang Putri masih menembangkan lagu Jawa dan sibuk menyulam. Padahal sudah sekitar lima belas menit lalu Anyelir duduk di seberangnya. Ia mengatur napas berkali-kali, takut-takut rencana mereka untuk meraih warisan pasca menikah gagal total.

Mikir, Nye, mikir, harus ngomong apa nih? Masa diam aja kayak batu?

Kemudian teh yang bersisa separuh di cangkir motif Noni Belanda memberi pencerahan bagi Anyelir. "Eyang, maaf, Anye boleh menambahkan teh ke cangkir Eyang?"

Eyang Putri mengangkat kepala seraya tersenyum lembut. "Duduk dekat Eyang, Nduk." Ia menepuk bagian sofa tepat di sampingnya. "Maaf ya ... Eyang lupa ada kamu."

Astaga, gue terlupakan, ratap Anyelir.

Setelah mengangguk sopan, Anyelir beranjak duduk di dekat Eyang Putri.

"Umur kamu berapa, Nduk?"

"Dua puluh tahun, Eyang."

Anyelir seketika menjatuhkan tatapan pada dress dan kedua tangannya yang bertaut. Berdasarkan informasi, sepasang mata tua Eyang Putri ini mengandung magis menghipnotis.

"Kamu masih sekolah ya, Nduk?"

"Anye kuliah semester empat, Eyang."

Eyang Putri menyentuh kedua tangan Anyelir. Gadis itu mau tak mau mengangkat wajahnya.

"Kamu masih terlalu muda dan cantik, Nduk. Apa kamu benar-benar mau merelakan masa muda demi bersama cucu Eyang?"

Anyelir seakan tak memiliki kalimat apa pun begitu mereka bertukar pandang. Pada akhirnya, ia berusaha keras mengangguk. Entah kenapa ia seakan ingin menentang semuanya. Anyelir belum ingin merelakan masa mudanya demi Anggara. Kalau bisa, ia ingin hidup tenang bersama sepatu dan tas mahal kesayangannya.

"Sekarang Eyang ingin kamu jujur, Nduk. Bagaimana pun kejujuran yang pahit tetaplah sebuah kebaikan. Benar, bukan?"

Sekali lagi, Anyelir hanya bisa mengangguk.

"Apa yang Anggara dan Reno janjikan pada kamu, Nduk? Maaf ya, Eyang harus menanyakan ini. Eyang tahu Anyelir gadis baik, tapi Eyang cuma mau dengar kejujuranmu."

Anyelir terdiam. Sepasang mata legam Eyang Putri sanggup menembus relung hatinya. Dalam satu waktu, ia seperti melihat seorang gadis muda bersanggul mengenakan kebaya hitam. Satu hal yang mencolok, tusukan bunga emas menghiasi belakang kepala gadis ayu itu. Apa ini? Lagi-lagi ia mengatur napas, mencoba memunguti kepingan kesadaran meski bibirnya masih terkunci.

Satu yang harus kamu ingat, kita saling mencintai. Stay by my side, Anyelir.

Kalimat itu menggantikan wajah gadis ayu tadi dengan wajah serius Anggara Hadiarsa Pranadipa. Seketika ia berhasil memunguti kepingan kesadarannya. Ya, seseorang yang duduk di sampingnya adalah seorang nenek berumur kurang lebih delapan puluh tahun, bukan gadis ayu bersanggul.

"Maaf Eyang, Anye tidak bermaksud lancang, tapi Mas Angga tidak seperti itu. Anye sayang sama Mas Angga."

Genggaman Eyang Putri padanya mengerat. "Eyang bisa dengan mudah membebaskan kamu dari jerat kontrak itu, Anyelir. Katakan saja yang sejujurnya. Tidak ada pernikahan yang bahagia karena keterpaksaan. Percayalah, Nduk."

Anyelir menggigit bibirnya seraya menggeleng pelan. Sebenarnya ini tidak ada dalam skenario mereka, tetapi menjatuhkan lutut ke lantai dan menunduk dalam tepat di kaki Eyang Putri adalah satu-satunya yang terpikirkan oleh Anyelir.

"Kemarin-kemarin Mas Angga melakukan ini di depan orang tua Anye. Sekarang Anye ingin melakukan hal yang sama."

Anyelir meremas bagian depan dress, menahan sesak yang tiba-tiba muncul karena berhasil meraih kesedihan semasa kecil. Perundungan yang ia terima sebagai anak yang lahir tanpa ayah. Kemudian betapa hancurnya ia ketika melarung abu Kak Randu ke laut.

"Anye mencintai Mas Angga, Eyang. Tolong restui kami. Kemarin-kemarin jalan kami sangat sulit karena Om Reno menentang hubungan kami, Eyang. Mas Angga selalu bertengkar dengan Om Reno karena Anye. Mas Angga jarang pulang ke Indonesia juga karena Anye."

"Apa yang kamu bicarakan, Nduk?" Eyang menyentuh bahunya.

Sesudah berhasil membanjiri wajah dengan air mata buaya, Anyelir mengangkat kepala. "Kalau Eyang merasa apa yang kami miliki sebatas kontrak saja, Anye hanya ingin memberitahu kalau Anye adalah klan campuran Cokroatmojo."

Dahi Eyang Putri semakin mengerut. "Kamu klan campuran Cokroatmojo?"

"Om Reno nggak pernah merestui kami, karena Anye nggak memiliki saham sepersen pun. Sementara pernikahan yang Eyang maksud adalah demi menyatukan kekayaan. Papa Hermawan menikahi Mama ketika Anye berumur empat belas tahun. Kami orang asli Bali, Eyang. Ayah kandung Anye entah ada di mana, Anye tidak pernah tahu wajahnya. Beliau tidak pernah mengunjungi kami."

Anyelir menyeret lututnya, mendekati Eyang Putri. Ia memeluk kaki wanita baya itu. "Anye nggak punya apa-apa, selain hati untuk Mas Angga dan tekad untuk hadir di hadapan Eyang sekarang. Maafkan kelancangan Anye, Eyang."

"Reno nggak pernah cerita apa-apa, tapi Anggara memang jarang pulang ke Indonesia." Eyang tampak berpikir keras, sedangkan Anyelir sangat yakin alasan mereka terlalu kuat untuk dimentahkan. Drama cinta tanpa restu yang Anggara minta kemarin sepertinya sukses besar. "Ayo bangun, Nduk. Ceritakan semua sama Eyang."

Usai mendengar permintaan tersebut, Anyelir duduk di sofa bersama kepala tertunduk. Ia menerima tisu yang diberikan Eyang Putri.

"Kami pacaran selama empat tahun, Eyang. Sejak Mas Angga kuliah dan Anye masih SMA," jelas Anyelir. Ia menyeka air mata terlebih dahulu sebelum melanjutkan kisah cinta karangannya dengan Anggara.

"Sewaktu Mas Angga membawa Anye ke rumahnya satu setengah tahun lalu. Om Reno ternyata sudah tahu latar belakang Anye dan menentang hubungan kami. Akhirnya kami menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi. Dengan Mas Angga di Amsterdam dan Anye di Indonesia. Itu adalah masa yang berat, karena kami berpura-pura sudah mengakhiri semuanya, Eyang."

Anyelir menatap kedua mata tua Eyang Putri. "Anye membiarkan Mas Angga menjalin hubungan dengan perempuan manapun di Amsterdam supaya Om Reno percaya. Mas Angga juga melakukan hal yang sama ke Anye demi menjaga hubungan kami."

Eyang Putri menyeka bulir yang mengalir di pipi Anyelir. Wajah tuanya tampak mendung. Sementara Anyelir terus-menerus melambungkan kata ampun dalam benak. Sungguh dosanya semakin menggunung karena telah menipu seorang nenek tua habis-habisan.

"Kalau Eyang jugamenolak kami. Anye tidak tahu harus bagaimana lagi." Bibir Anyelir bergetarsaat mengatakannya. "Mas Angga sudah banyak berjuang untuk Anye."

Halooo, Anggara sama Anye update lagi. Nggak apa-apa lah ya mumpung aku lagi bisa fast update 😂

Makasih banget buat kamu yang masih menemani perjalanan mereka berdua sampai hari ini. Sorry banget ya karena alurnya lambat. Semoga kamu masih menikmati 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro