22. Tentang Teman dan Temani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir melirik laki-laki yang tengah menyipitkan mata di depan Mac Book. Ia masih dengan kebiasaan lamanya, membaca novel di waktu-waktu ganjil sambil mendengarkan musik. Bagi Anyelir itu adalah hal yang sangat menyenangkan seperti belanja tanpa limit. Sekali lagi, ia sendiri tak mengerti kenapa bisa sukarela menemani Anggara bekerja?

Apa sih? Gue tuh baca novel bukan nemenin dia!

Jemari lentiknya membuka lembaran baru, tetapi fokusnya sulit sekali dipenjarakan dalam konflik novel. Ia menutup buku, menumpukan siku pada pegangan sofa lalu bertopang dagu.

"Nye, omong-omong, utang papa kamu kenapa bisa banyak banget?"

Anyelir menghela napas panjang, bibirnya manyun. Pandangannya terarah pada pintu kamar yang tertutup rapat. "Nggak tahu, nggak ngerti."

Boleh jadi semua klan murni Cokroatmojo menghujat Papa Hermawan. Akan tetapi, bagi Anyelir pria paruh baya itu tetaplah pahlawan ketimbang ayah kandungnya yang berengsek. Karena tanpa Papa Hermawan, ia tak akan bisa menjelajahi hotel bintang lima setara bolak-balik kamar mandi untuk buang air. Tanpa sang ayah angkat pun, Anyelir tak akan menikah dengan pangeran asal Prana Corporation yang katanya tak kalah sakti dari Bandung Bondowoso ini.

"Ada penjilat di kantornya?" Anggara bertanya lagi.

"Nggak tahu."

Laki-laki itu berdecak, kembali menekuni layar laptop. "Apa-apa nggak tahu. Pokoknya nanti kamu harus ngerti seluk-beluk Prana Development."

"Ya kamu tanya langsung dong sama papaku. Gimana sih kamu."

"Kan ada kamu, ngapain aku nyari Pak Hermawan? Kupikir cewek yang cinta kemewahan itu hobi ngulik perusahaan papanya."

Telinga Anyelir langsung panas karena sindiran super menyebalkan Anggara. Ia menatap sengit laki-laki itu. "Lagi pula aku nggak tertarik ikut kerja bakti buat Atmojo Group. Jadi wajar aja kalau aku banyak nggak tahu."

Anggara mengangguk tak acuh. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja. Bekerja merupakan hal menyenangkan dibanding mencari teman minum kopi. Sebab teman minum kopi hanya memberi kesenangan sesaat. Sementara terjun mengurus Prana Corporation membuatnya diakui serta disanjung. Di luar semua itu, Anggara mudah terdistraksi oleh apa saja yang sedang ia kerjakan.

"Minggu depan kita ke notaris buat urus berkas nyawa kedua kamu."

Wajah Anyelir berubah secerah mentari pagi. "Siap, Bos!"

"Oh ya, klan Cokroatmojo kenapa pakai kata nyawa kedua buat warisan saham dan aset, Nye?"

"Dulu aku sempat nanya sama Mbak Kenanga. Katanya sih disebut nyawa kedua karena mereka menganggap harta ya sebanding sama nyawa. Makanya klan murni isinya orang-orang yang haus harta sama gila jabatan. Om Haris sama Om Herdian tuh berseterunya paling parah, mereka dulu rebutan posisi wakil ketua Atmojo Group kata Papa."

"Aku tahu sedikit kontravensi keluarga kamu, tapi nggak usah dibahas terlalu jauh." Anggara menyerahkan lembaran kertas yang dibuat beberapa waktu lalu. "Ini jadwal kamu."

"Jadwal?"

Anyelir mengernyit, kemudian membaca lembaran kertas yang diserahkan Anggara. Lama-lama kerutan di dahinya semakin dalam karena deretan jadwal berlatih pidato, les piano, les bahasa asing, kuliah. Belum lagi kunjungan ke beberapa rumah sakit yang punya bangsal kanker, serta panti asuhan.

"Sebentar deh. Ini ada yang nggak benar!" Anyelir melambai-lambaikan kertas tersebut.

"Apa?"

"Tugas istri konglomerat itu duduk manis di rumah, mengamati perkembangan anak, dandan cantik, dan tetap bernapas." Anyelir melambai-lambaikan lagi kertas tadi. "Jadwal ini nggak wajar! Kamu mau bunuh aku pelan-pelan?"

"Itu istri orang, bukan istrinya Anggara." Laki-laki itu mendengkus, kemudian menunjuk kertas di tangan Anyelir. "Justru jadwal ini bisa memperbaiki nama kamu dan rumor aku, Nye. Nggak ada nego, Pak Hermawan dan Bu Seruni udah menyerahkan kamu ke aku. Kalau kamu pergi dari sisiku, berarti kamu siap jadi gelandangan."

Belum apa-apa Anyelir sudah membayangkan bagaimana tersiksanya hidup tanpa ATM yang bernyawa. Ia tak memiliki apa pun selain pesona kecantikan tanpa celah. Ia pun tak mau menjadi simpanan pejabat atau melakukan jenis-jenis pekerjaan yang memaksanya melucuti pakaian. Di luar sana banyak orang-orang yang siap mencemoohnya. Kehidupan berlimpah materi bersama Papa Hermawan dan klan murni Cokroatmojo telah membiasakan Anyelir di atas angin.

"Oke, tapi harus banget lanjut kuliah?" tanya Anyelir.

"Kenapa nggak harus banget lanjut kuliah?"

Ini salah satu yang Anyelir tidak sukai dari Anggara. Laki-laki itu selalu saja melempar balik pertanyaannya.

"Anggara, kamu pernah bilang kalau itu bukan masalah karena aku perempuan dan nggak punya tanggungan."

"Itu sewaktu kamu masih bagian dari klan Cokroatmojo. Sekarang kamu bagian dari monarki Pranadipa. Ratu nggak suka sama perempuan yang malas belajar."

"Siapa memang ratunya???"

"Kanjeng Eyang Putri Sukmadewi, taraktaktaktak." Anggara memukul pulpen ke meja, ritme dan suaranya macam dalang memainkan wayang.

Anyelir terkesiap. "Oke, kosmetologi, nggak ada nego. Aku nggak tertarik sama jurusan lain, apalagi bisnis, ekonomi. Mau muntah rasanya."

"Ya udah ambil dua. Manajemen bisnis pagi, kosmetologi malam." Anggara mengangkat satu tangan saat Anyelir hendak buka mulut. "Permintaan Anggara adalah perintah, tertulis jelas dalam kontrak."

Anyelir mengangkat sudut bibir atas lantas membatin, oke habis ke notaris gue bikinin kopi sianida.

"Jangan coba-coba berpikir bikin kopi sianida, itu namanya nggak fair," ucap Anggara yang sekarang membaca revisian tesis. Jarinya sibuk menari di atas keyboard, sebab tengah membuka dua worksheet sekaligus. "Aku bakal langsung tahu kalau kamu benar-benar ngelakuin itu."

Anyelir menganga sedetik, kemudian tertawa semanis mungkin. "Ih, apa sih Mas Angga sayang? Kamu tuh pikirannya jelek banget ...." Ia menggigit bibir bawah, menusuk-nusuk lengan Anggara dengan telunjuk.

Laki-laki itu menangkap telunjuknya dengan sigap. Tatapannya melembut sekitar lima detik. Entah itu nyata atau perasaan Anyelir saja. "Udah hampir jam empat, kamu tidur sana. Makasih sebelumnya."

"Untuk?"

"Nemenin kerja."

Satu sudut bibir Anyelir tertarik. Ia pun mengangkat novel di pangkuan. "Aku baca ini, bukan nemenin kamu."

Alih-alih membalas, Anggara justru menyentuh puncak kepalanya. Mereka saling bersitatap dan Anyelir tak merasakan apa pun selain terusik. Kemudian tidak ada lagi yang terjadi setelah itu sebab Anggara kembali tenggelam dalam kegiatan merevisi tesis. Ia pun ikut berusaha keras kembali pada alur novel, tetapi kantuk menggelayuti matanya.

"Kemungkinan nanti aku tiga hari di Makassar, dua hari di Yogyakarta," jelas Anggara. "Aku nggak bisa cuma baca data, mau lihat langsung orang-orang yang kerja sama Pak Hermawan. Kamu mau tinggal menetap di mana?"

Gadis itu tidak menjawab sampai sepuluh detik berlalu. Begitu menengok, Anggara menemukan gadis itu membaca buku dengan mata tertutup dan bertopang dagu pada pegangan sofa. Sambil mengulas senyum kecil, ia memindahkan buku dari pangkuan Anyelir. Kemudian menggendongnya pelan-pelan menuju kasur.

Anggara menahan tawa karena wajah gadis itu lucu saat tidur. Namun, tiba-tiba matanya melebar. Sebab sesudah merebahkan Anyelir, tangan gadis itu terjulur memeluk tengkuknya. Hanya pelukan ringan, sama sekali tidak memaksa. Akan tetapi, ia memilih tak bergerak cukup lama, sampai-sampai membenamkan wajah di bahu gadis itu. Kemudian hari di mana Anyelir histeris karena sebuah lukisan terputar. Hari di mana gadis itu berjongkok sambil menutup telinga. Kejadian tersebut seakan menyegel Anggara. Pelukan yang mengendur membuatnya segera menarik selimut hingga batas leher Anyelir.

"Selamat tidur, Anyelir," ucapnya lirih tanpa ekspresi.

Untuk kesekian kalinya, mereka berdua hanyalah partner yang bersatu demi sebuah tujuan. Oleh karena itu apa yang Anggara lakukan sejak tadi hanyalah cara memperlakukan teman dengan baik. Matanya terarah pada kalung yang menghiasi leher Anyelir. Kalung tersebut pernah ia berikan kepada mendiang Arindi. Sepanjang perjalanan yang terlewat, Anggara hanya menyimpannya sampai gadis bernama Anyelir Cokroatmojo itu hadir.

Tanpa repot-repot mencari sebuah alasan pasti, Anggara pikir tidak ada salahnya jika Anyelir yang memakainya. Tampak terlihat cocok-cocok saja. Bukan berarti ia menyamakan gadis itu dengan Arindi. Mereka berdua jelas berbeda jauh dari segi apa pun. Terkecuali mata, beberapa sifat, dan beberapa cara menyahutinya. Hanya beberapa, tidak lebih.

"Itu cuma kalung,Rin, bukan apa-apa. Nggak akan ada yang berubah," gumamnya.

Maaf ya baru update. Semoga masih ada yang nunggu cerita ini hehe ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro