21. Tentang Mimpi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, Angelic (panggilan kesayangan buat pembaca 1/2 Jam ceritanya. Singkatan dari Anggara-Anyelir holic 🤣🤣🤣 maksa cuy) maaf ya baru update.

"Nye, lampunya dimatiin ya? Silau," ujar Anggara yang berdiri di dekat saklar. Laki-laki itu sekarang mengenakan kaus putih dan celana hitam pendek.

"Pindah kamar kalau gitu. Aku nggak bisa gelap-gelapan."

Mereka sempat bertukar pandang sekian detik. Anyelir menebak-nebak apa yang akan laki-laki itu lakukan. Tetap mematikan lampu atau pindah kamar. Hal yang terjadi selanjutnya cukup membuat Anyelir menganga dua detik. Karena laki-laki itu memilih tetap tidur di sampingnya dengan wajah tertutup bantal.

Anyelir pikir laki-laki itu akan melakukan hal yang tidak-tidak, semacam rudapaksa atau sebagainya. Namun, seusai mandi Anggara terlelap begitu saja. Sementara ia terjaga ditemani dengkuran halus serta lampu terang benderang. Apa-apaan ini? Kenapa Anyelir jadi terlihat sangat konyol hanya demi mengawasi laki-laki itu?

"Rin ...."

Anyelir mengernyit, meski lirih dan agak tidak jelas. Ia tahu, Anggara tengah memanggil nama seseorang.

"Arin ... waar ben je?" (Arin ... kamu di mana?)

Tanpa pikir panjang, Anyelir bergerak pelan mendekati laki-laki itu. Tidak ada semacam pembatas di tengah-tengah mereka. Baik Anyelir maupun Anggara sepakat kalau batas-batas pelanggaran macam bocah SD itu tak perlu diadakan. Mereka sudah dewasa dan melakukan segalanya atas nama kesepakatan bersama. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan bantal dari wajah Anggara. Dahi laki-laki itu berkerut, kemudian raut wajahnya tampak gelisah.

"Arin ...."

Anggara berlarian di trotoar sepi. Napasnya masih teratur meski hoodie-nya sudah basah kuyup. Barusan ia melihat Arindi di kejauhan dan tiba-tiba lenyap. Tidak ada tikungan, perempatan, atau pertigaan. Jalan ini lurus seakan tanpa ujung. Ke mana perginya gadis itu? Jajaran ruko-ruko terbengkalai menghiasi sisi kiri dan kanan jalan. Anggara berlari, terus berlari.

"Hadi? Ik ben hier!" (Hadi? Aku di sini!)

Suara itu menghentikan langkah Anggara. Ia berbalik dan hanya ada udara aneh yang menyelimuti.

"Hadi!"

Anggara berbalik lagi ke posisi semula dan tidak ada Arindi di mana pun. Kini jalan yang terbentang di hadapannya berubah menjadi sebuah perempatan tak asing. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seakan pernah melewatinya entah di mana. Saat menatap lurus ke depan, dua mobil berlawan arah akan bertabrakan tepat di depan matanya. Degup jantungnya berpacu cepat seiring detik demi detik. Anggara tanpa sadar memejamkan mata bersama sebelah tangan yang menghalangi wajah. Seketika terdengar suara hantaman dahsyat secara beruntun serta jeritan histeris tak terkendali

"Mama! Mama! Mama dija?!" (Mama di mana? (Bahasa Bali))

Isakan seorang gadis kecil yang memekakkan telinga berhasil memaksa Anggara membuka mata.

"Anggara, are you okay?"

Suara itu melenyapkan seluruh kejadian nahas dan suara-suara memekakkan telinga yang membuatnya kesulitan bernapas. Ia terbangun. Alih-alih seorang gadis kecil, Anggara justru menemukan Anyelir dengan wajah penuh tanya. Ia menyentuh sebelah pipi gadis itu. Nyata. Anyelir Cokroatmojo dan kamar hotel ini nyata.

"Iya," jawabnya.

Anggara duduk bersandar pada kepala ranjang, memerhatikan Anyelir yang pergi ke arah kulkas. Ia memijat pelipis, kemudian melirik jam dinding. Masih pukul setengah empat pagi.

"Minum dulu," kata Anyelir sambil menyerahkan sebotol air mineral.

"Makasih, Nye."

Selama merasakan air mengaliri kerongkongan, Anggara memikirkan apa saja yang sudah gadis itu dengar selama ia mengigau. Seharusnya, ia menenggak obat tidur atau tetap bekerja saja seperti biasa. Tunggu ... tetapi apa yang harus ia khawatirkan kalau Anyelir mendengar banyak hal?

"Nye," panggil Anggara karena gadis itu beranjak menjauhi ranjang. "Mau ke mana?"

"Mau ambil novel di kopor."

"Kenapa nggak tidur lagi?"

Gadis itu berjongkok, membongkar isi kopor. Ia mengambil salah satu buku, kemudian mengempaskan diri di sofa. "Aku nggak bisa tidur dari tadi."

"Kenapa?"

Anyelir mengangkat bahu. "Nggak tahu deh."

Selain ingin mengerjakan pekerjaan, ia pun berencana mengulik Anyelir. Gadis itu tak acuh ketika Anggara duduk di sebelahnya membuka laptop.

"Baca novel apa lagi kamu? Thriller?" tanya Anggara.

"Bukan, fantasi tentang doppelganger." Anyelir menyelipkan telunjuk saat menutup buku. "Percaya nggak kamu?"

"Percaya. Mas Revan sama Kak Juwita itu doppelganger. Ini salah satu rahasia monarki Pranadipa, Nye, kalau mau tahu."

"Serius? Sepupu kamu yang ngasih kado honeymoon ke Swiss itu?"

Anggara menaikkan kedua alis. Hal itu juga yang membuat Mama memintanya mencari silsilah keluarga Arindi Gabriella Jansen. Ia sempat tertawa keras saat Mama mengutarakan kekhawatiran dan doppelganger baginya hanyalah sebatas mitos. Namun, suatu hari di mana Anggara terpaksa menginjakkan kaki di Bogor, di rumah kediaman istri Revan. Ia dibuat mematung dan memercayai kalau kisah cinta mengerikan bukan hanya dimiliki Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.

Biarpun telah mengetahui salah satu rahasia serta silsilah keluarga besarnya, Anggara tetap mempertahankan Arindi. Sampai suatu ketika, ia mendapat informasi jikalau Arindi Gabriella Jansen masih punya ikatan persaudaraan jauh dengan Juwita Kaluna, doppelganger dari Fleur Jansen. Tak lama setelah fakta itu terkuak, Arindi sakit parah dan ia benar-benar dipaksa melepaskan gadis itu dari genggaman.

Pada akhirnya, perkataan seorang spiritualis menyadarkan Anggara. Ia tak bisa merusak tali takdir yang mengikat Revan dan Juwita dengan kisah cintanya sendiri. Sebab hanya sang kakak sepupu yang terlahir untuk melanjutkan kisah Adriaan van Denveer—Kakek buyutnya. Keturunan Pranadipa lain hanya akan merusak garis sakral yang tercipta bila bersama keturunan Jansen. Memang sulit ditelaah logika, tetapi ujung-ujungnya Anggara kalah oleh takdir.

"Gimana ceritanya?" tanya Anyelir.

"Panjang, Nye." Anggara mengalihkan. Ekspresi gadis itu lebih menarik diteliti. "Ada fee plus-plus-nya juga kalau mau diceritain."

"Jangan macam-macam ya, Anggara. Aku bisa bikin kepala kamu bocor cuma pakai heels."

"Aku juga bisa lempar kamu dari lantai tujuh gedung Atmojo group."

Gadis itu terkesiap, sedangkan Anggara menahan tawa.

"Anggara, kamu kejam banget!"

"Kamu sendiri?"

Anyelir menyisir sebagian rambut dengan jari. Ia menempelkan siku ke sandaran sofa untuk menyangga kepala. "Bercanda kok."

Laki-laki itu tertawa kecil. "Hal kayak gitu dilakukan atas dasar suka sama suka, mau sama mau. Kalau dipaksa namanya bukan bercinta, tapi tindakan kriminal."

Anggara tiba-tiba kehilangan gairah mengecek laporan. Ia ikut menyangga kepala dengan siku. Pada satu waktu, baginya Anyelir Cokroatmojo adalah sebuah tantangan. Kemudian di satu waktu lain, gadis itu menjelma sebagai kristal rapuh. Entah sisi mana yang paling menarik, Anggara masih menimbang-nimbang.

"I know it, Anggara," sahut gadis itu.

Detik ini saja, Anyelir akan mengakui kalau ia menyukai alis dari keseluruhan komposisi wajah Anggara. Sebatas suka melihat saja, bukan menjurus ke artian romantis. Pancaran bola mata laki-laki itu begitu damai. Berbeda dengan beberapa mantan kekasihnya yang menatapnya bak makanan siap santap. Kadang mata itu seakan bisa menariknya menyelam lebih dalam, tetapi ia selalu berhasil menampik.

Semua kolega, teman, serta kerabat mungkin mudah tertipu oleh peran yang mereka lakoni. Namun, baik dirinya maupun Anggara tak akan pernah saling tertipu. Sekali lagi, apa yang mereka miliki sebatas skenario di atas kontrak. Selebihnya mungkin lebih kepada sebatas ketertarikan fisik. Wajar 'kan? Mereka berdua sama-sama dewasa dan punya pemikiran cukup logis. Di luar sana pun ia yakin jikalau Anggara menyimpan perempuan lain. Entah itu Arindi atau siapapun.

"You're so beautiful indeed."

Itu bukan pujian pertama yang menyapa telinganya selama bernapas dua puluh tahun. Ia akan menganggap kalimat receh tersebut bak angin lalu, melodi kaset rusak, atau lagu lama. Kedua sudut bibir Anyelir tertarik diiringi mata terpejam, tepat ketika jemari Anggara menyusuri garis wajahnya. Sentuhan itu berhenti cukup lama di bibirnya.

"Stay by my side tonight, Anyelir," tutur Anggara

"Nggak usah sok romantis."

Anyelir menepuk dahi Anggara dengan novel tanpa berniat menyingkirkannya. Entah kenapa ia enggan melihat wajah laki-laki itu sekarang.

"Kalau faktanya aku memang romantis gimana?" tanya Anggara, suaranya terpendam buku.

"Mau minta cerai dong."

Anyelir melempar buku ke sembarang tempat, lantas buru-buru berdiri. Ia benar-benar tidak menyukai posisi semacam ini. Namun, laki-laki itu berhasil menahan sebelah tangannya.

"Lepas atau aku—"

Kalimatnya menggantung di udara dan Anyelir gagal melarikan diri. Ia menatap lurus ke depan saat terpaksa duduk di sofa lagi. Telinganya menangkap gerakan Anggara yang memangkas jarak mereka. Cukup pelan hingga Anyelir lupa berkedip. Laki-laki itu seakan sengaja menyentuh bagian perutnya hanya untuk memegang lengan sofa. Sekalipun tertutup rambut panjang bergelombang, embusan napas Anggara terasa hangat di sekitar lehernya.

Anyelir benci menunggu, apalagi ditemani aroma musk laki-laki itu yang berusaha mengacaukan pikiran. Terlebih lagi, Anyelir benci terkunci. Harusnya ia sanggup menjauhkan laki-laki itu meski satu senti saja. Tanpa butuh melirik, bahkan menoleh. Ia tahu hidung Anggara sekarang berjarak sekitar satu senti dengan daun telinganya.

"Jangan pergi. Temenin aku kerja, Nye," bisik laki-laki itu.

Sial, perpaduanembusan napas mint serta suara beratnya melumpuhkan ingatanAnyelir selama lima detik.

***

*Doppelganger menurut mitologi Mesir kuno merupakan kembaran orang yang sudah mati. Benar-benar mirip secara fisik, masih memiliki perasaan dan ingatan yang sama.
*Revan dan Juwita ada di 1/2 Sendok Teh (genre romansa-fantasi-fiksi sejarah)

Selamat malam minggu ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro