20. Demi Satu Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak lama setelah Anyelir dibaptis di depan keluarga besar Anggara. Mereka melangsungkan pemberkatan di salah satu gereja di Bali. Begitulah kira-kira, jika ada pasangan yang memeluk keyakinan berbeda, maka harus ada yang mengalah. Kini mereka menuruni anak tangga ditemani lemparan kelopak mawar pink dan jemari saling bertaut. Anggara dapat merasakan tatapan tajam beberapa mantan Anyelir yang sangat sengaja ia undang. Sekadar ingin memberi ultimatum secara tidak langsung, bahwa ia telah memenangkan bunga beracun yang jadi bahan perebutan.

"Nye, mantan kamu mukanya ngajak ribut semua," kata Anggara setelah memasuki mobil.

"Lagi pula kenapa diundang sih?"

"Ya, buat tontonan lucu aja."

Anyelir hampir memutar mata, tetapi batal karena Anggara berkata, "Eh, matanya dilarang muter di depan suami."

"Ya udah, kalau kepalanya aja gimana?" tanya Anyelir.

"Horor dong, sayang."

Sebenarnya Anyelir agak kurang setuju ketika Mama Julia meminta pemberkatan diadakan sore hari dan resepsi di malam harinya, pasti sangat melelahkan. Akan tetapi, setelah dipikir masak-masak, mengingat Anggara kemarin-kemarin cukup mengerikan ketika bicara soal ranjang. Ia batal mengajukan keberatan. Setidaknya hal-hal semacam ini bisa jadi alasan kuat untuk pura-pura pingsan setelah acara. Mereka berdua cukup dewasa, Anyelir juga mengerti mana ada pernikahan yang tak melibatkan urusan ranjang. Entah itu pernikahan murni, kontrak, siri, atau apa pun.

Napas Anyelir tiba-tiba terasa berat. Boleh jadi, petualangannya menjelajahi dunia percintaan yang palsu sangat mumpuni. Akan tetapi, ia tak pernah mau dan selalu berlindung di balik pengawal tiap kali mantan-mantannya mencoba merayu atau menjebak ke arah sana. Sayang sekali, Anggara Hadiarsa Pranadipa punya wewenang dan hak di sini. Belum lagi rumor Anggara yang masih mengawang-awang di atas kepala. Hanya waktu yang dapat membuktikan semua itu. Ia memijat-mijat kening serta mengatur napas.

"Kamu pusing?" tanya Anggara.

"Nggak apa-apa kok, Mas."

Anyelir memaksakan senyum manis, sedangkan laki-laki itu mendekatkan wajah ke samping telinganya.

"Is everything alright?" bisik Anggara. "Banyak kolega yang nunggu kita, Nye."

"Everything is alright, Mas Angga. Cuma lapar aja," bisik Anyelir.

"Sebentar lagi sampai gedung resepsi. Kamu bebas makan tart setinggi dua meter."

Tawa manis Anyelir lumayan menggelitik telinga. Meskipun sudah beberapa kali bertemu dan mengobrol, Anggara sangat amat jarang melihat gadis itu tertawa.

"Jangan sering-sering ketawa ya."

Anyelir mengarahkan wajah ke jendela. Ia tertarik melihat wanita tua yang membawa sesajen untuk ibadah. "Kenapa?"

"Cantik aja," ucap Anggara lirih seraya berpaling.

"Apa?"

Kemudian pandangan mereka bertemu di satu titik. Gadis itu tampak menuntut pengulangan ucapan Anggara. Namun, alih-alih mengatakan lagi pujian kecil tadi, Anggara menyingkirkan helai rambut di dahi gadis itu.

"Nggak apa-apa."

***

Sekitar sejam yang lalu mereka tiba di hotel penginapan khusus keluarga. Ia hanya melepas jas dan menggulung kemeja sampai ke siku lantas merebahkan diri. Demi satu hari menjadi pasangan paling bahagia tanpa celah. Mereka harus terus menempel bak perangko. Seakan-akan dunia ini runtuh jika sedetik saja ia melepaskan jemari Anyelir.

"Aku boleh panggil kamu Hadi nggak?" Anyelir bertanya.

"Kenapa kamu mau panggil aku Hadi?"

Aroma Lilac menguar, tetapi Anggara enggan membuka mata. Sekadar melepas kaus kaki pun malas. Mungkin malam ini ia bisa tidur nyenyak tanpa butuh olahraga atau memeriksa perkembangan Atmojo Konstruksi. Semoga saja mimpi sialan itu tidak datang.

"Anggara kepanjangan. Angga kayak mantanku semasa SMP," jawab Anyelir.

"Sayang lebih simpel kok."

"Kenapa sih kamu pengin banget dipanggil sayang?"

Anggara menghela napas dan terpaksa membuka mata. Ia memiringkan tubuh, menyangga kepala dengan sebelah tangan. "Katanya Anggara kepanjangan dan Angga mirip mantanmu."

"Hadi lebih gampang," tutur Anyelir yang bersandar pada kepala ranjang.

"Sayang lebih gampang."

Hidung Anyelir mengembang seketika. "Sumpah, aku capek."

"Ya, tidur dong. Apa mau ditidurin, hm?"

Anyelir memukul laki-laki itu dengan guling berkali-kali. Hanya jenis pukulan ringan demi menghilangkan stress yang sempat melanda ketika di dalam kamar mandi. Anggara menangkap guling itu lantas menjadikannya bantal. Laki-laki itu merubah posisi tidur, menghadap langit-langit kamar. Ia diam-diam mengawasi setiap gerak-gerik, bahkan helaan napas Anggara. Mereka membiarkan waktu mengalir tanpa sepatah kata pun.

"Kenapa sih kalau nikah itu harus punya anak?" tanya Anyelir tatkala memindai vas bunga di meja rias.

"Siapa yang mengharuskan?"

Anggara belum ingin melepaskan langit-langit kamar dari pandangannya. Ia menyelipkan kedua lengan ke belakang bantal. Akhir-akhir ini bahan obrolan Anyelir membuatnya memikirkan hal-hal yang tak pernah lagi ia pikirkan.

"Tadi Mama kamu bilang, Nye mudah-mudahan cucu pertama Mama cewek ya. Udah capek ngurusin Anggara dari kecil, gitu katanya."

Satu sudut bibir Anggara tertarik. "Itu harapan Mama, bukan tuntutan, Nye. Masih banyak orang-orang yang nikah pengin punya anak, tapi belum dipercaya. Itu sama sekali bukan masalah."

"Banyak juga laki-laki yang meninggalkan istrinya karena nggak bisa menghasilkan keturunan."

Ungkapan gadis itu ternyata mampu membuat Anggara duduk bersila. Ia memindai gadis yang kepalanya terbungkus handuk putih. Gaun pernikahan mewah dilengkapi ekor sepanjang sekian meter, serta tiara berlian sudah berganti kimono satin merah muda.

"Nggak semua. Banyak juga yang meninggalkan istrinya setelah punya anak. Ya, tergantung pribadi masing-masing." Anggara langsung mengacungkan telunjuk saat gadis itu hendak buka mulut. "Diam dulu, Nye. Aku tahu kamu mau bilang laki-laki itu berengsek dan memang benar, laki-laki itu berengsek."

"Jadi?"

Tanpa sadar posisi duduk mereka sekarang saling berhadapan. Anyelir menarik satu bantal, membawanya ke pangkuan. Penjelasan Anggara yang agak filosofis selalu berhasil menarik atensinya. Laki-laki itu masih mengenakan kemeja putih. Namun, dasi hitam yang mengikat di leher kini telah melonggar. Rambutnya pun agak berantakan. Begitu menginjakkan kaki di kamar, Anggara nampak tak memiliki niat untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

"Pertama, kamu harus mengerti dulu apa itu konsep pasangan, baru kita ngomongin pernikahan."

"So, what is the meaning of lovers, Pak?" Anyelir menautkan jemari, bertopang dagu di atas bantal dalam pangkuan. "Apakah sebatas sampah-sampah yang harus dibuang?"

"Pasangan menurut Anggara versi masa lalu adalah makanan yang nggak pernah basi dan ngebosenin. Kenapa diibaratkan makanan?" Seperti biasa, tangan Anggara pasti bergerak macam orang yang tengah mempresentasikan program penting. "Karena kebutuhan yang paling, paling manusia butuhkan itu cuma dua, napas sama makan. Kenapa nggak diibaratkan bernapas? Karena bernapas itu lebih cocok disandingkan dengan manusia mengingat Tuhannya. Benar nggak?"

Anyelir mengangguk. "And then?"

"Misal nih, aku sama kamu." Anggara menunjuk dirinya sendiri, lalu gadis itu. "Kalau kita punya konsep pasangan kayak tadi. Bahagia pernikahan kita itu sebatas ada kamu dan aku di dalamnya. Anak, harta, dan sebagainya kita anggap bonus."

Bibir Anyelir melengkung sempurna. "Anggara, sedetik yang lalu aku berpikir kalau kamu tuh soft boy banget! Tipe laki-laki impian semua perempuan gitu, tapi nggak tahu ya tiga detik lagi." Ia melirik ke sudut mata kanan, lalu mengedikkan bahu.

Anggara mengangguk takzim. "Semua teman ngopi aku juga mikir kayak gitu sebelum terjadinya proses pembuahan. Santai, Nye."

Kini laki-laki itu sibuk melepas dasi, kemudian berdiri di samping nakas. Anggara pun meletakkan dasi serta arloji di sana.

"By the way, kamu nggak minat tidur di sofa gitu?" tanya Anyelir.

"Kenapa? Ada kasur. Kalau kamu mau di sofa, dapur, atau kamar mandi silakan aja, Nye."

"Males banget. Kamu nggak ada drama nyuruh aku tidur di kamar lain gitu?"

"Sia-sia dong skenario kemarin-kemarin." Anggara sibuk melepas kaus kaki dengan satu kaki tanpa mau repot-repot membungkuk atau berjongkok. "Kenapa? Kamu takut?"

Anyelir meneguk ludah. Usai mengembuskan napas kecil lewat mulut, ia masih juga bertanya, "Mungkin kamu mau berdrama alergi sama aku gitu?"

"Kamu kali yang alergi sama aku."

"Kalau aku alergi, mungkin kamu udah sering bonyok karena suka cium-cium seenaknya."

"Berarti kalausekarang aku cium, terima-terima aja?" Anggara mulai melepas kancing kemejabagian atas sambil mengerling jail.


Jangan ngambek, Ndro. Di sini belum saatnya kita haus berjamaah wkwkwk, jadi sampe sini aje ye.

Good night and have a weekend 💓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro