19. Demi Penjelasan Tersendat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir menatap pantulan diri, wajahnya dipenuhi titik-titik air. Riasannya hilang tak bersisa setelah ia membasuh muka sebanyak empat kali. Ia terkadang membenci garis wajah yang diturunkan ayah biologisnya. Anyelir selalu berharap laki-laki berengsek itu mati tergilas kontainer atau membusuk dalam jurang.

"Kenapa gue nangis sih tadi? Gue nggak ngerti sama lo, Nye," gerutunya di depan cermin. "Ah, lo nangis karena bibir yang sakit 'kan? Bukan karena yang lain? Bukan karena penjelasan nyebelin dia? Ya, ya, ya, bibir sama muka gue sakit banget." Ia mengangguk-angguk cepat.

Pintu kamar kecil nomor tiga terbuka. Anyelir terlonjak. Pertama, ia pikir toilet ini benar-benar kosong. Kedua, ia tak pernah berpikir kalau orang yang keluar dari kamar kecil ketiga adalah Bunga Kenanga Cokroatmojo. Kali pertama mereka bertukar pandang lewat cermin, Anyelir dapat merasakan dingin yang tiba-tiba menusuk tulang belakangnya hanya karena tatapan Kenanga.

Ada hal krusial yang selalu ingin ia jelaskan. Namun, Kenanga selalu pandai menghindar. Ia sempat tak peduli lagi dengan hubungan mereka sebagai saudara sepupu. Hanya saja ketika berhasil menemukan Kenanga lagi, sesuatu dalam benak Anyelir seolah-olah meronta-ronta. Memintanya mengeluarkan alasan yang mungkin sekarang sudah berkarat karena tersembunyi rapat ribuan hari.

"Mbak ...."

Kenanga melesat keluar tanpa basa-basi. Biarpun Anyelir sangat sadar akan penolakan tersebut. Ia tetap mengejar Kenanga hanya untuk terdiam bersama sejuta kebodohan di tengah koridor. Gadis yang mengenakan blazer lavender itu lenyap ditelan rasa penyesalan terlambat. Anyelir mengeratkan kepalan tangan sambil memindai sekitar. Ia baru saja menyadari kalau Bunga Kenanga Cokroatmojo adalah satu-satunya sepupu yang menganggapnya sebagai manusia.

"Mbak, aku mau ngomong sesuatu," ucapnya pada diri sendiri.

Anyelir menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ciuman Anggara tadi terus berputar di kepala. Sayangnya dalam artian yang menyakitkan. Ia sendiri tidak mengerti kenapa memilih definisi itu untuk ciuman Anggara. Ia mendongak, lantas mengerjap-erjap beberapa kali. Entah kenapa matanya terasa perih lagi. Laki-laki itu berhak dan bisa melakukan apa saja bukan? Kalau begitu kenapa Anyelir harus merasa pusing dengan segala ketidakjelasan dalam benaknya? Pernikahan mereka tinggal menghitung hari.

Mungkin mata kaki benar-benar bisa berfungsi sebagai mata kepala. Karena tanpa sadar, Anyelir sudah berdiri di depan pintu ruang rapat tadi. Ia memegang pegangan pintu kuat-kuat sebelum membukanya. Ada Juniko dan Dinda yang duduk berseberangan dengan Anggara. Di tengah-tengah meja rapat terdapat hidangan makan siang. Mereka menoleh, tepat saat ia masuk bersama senyum madu. Ia melangkah pelan mendekati laki-laki yang tengah mengernyit.

"Kamu pucat banget, sayang." Anggara meraih sebelah tangannya. Kalau bisa, sebenarnya Anyelir ingin langsung menepis sentuhan laki-laki itu. "Pusing?"

"Iya, Mas. Aku izin pulang duluan ya? Naik taksi aja sama Baron atau Linggar."

Tidak ada sosok Dio Cokroatmojo di sini. Entah sedang ada di mana manusia itu, rasanya lebih baik ia pulang lebih dulu naik taksi, becak, atau apa pun. Asal tidak bersama Anggara.

"Di sini ada rest room?" tanya Anggara pada sekretaris dan tangan kanan Dio. "Sepertinya tunangan saya butuh istirahat sebelum pulang."

Sebisa mungkin Anyelir menahan diri untuk tidak berdecak keras atas ucapan laki-laki itu.

"Oh, ada, Pak. Mari saya antarkan," jawab Dinda yang berdiri menghampiri mereka berdua.

"Saya mohon izin mengantar Anyelir," kata Anggara pada Niko.

Juniko mengangguk. "Silakan, Pak."

Anyelir tak mungkin mengelak rangkulan Anggara. Jadi, ia memilih diam mengikuti. Rest room yang Dinda maksud berada sekitar enam meter dari ruang rapat. Wanita itu mempersilakan mereka masuk, lalu pergi undur diri. Ruang rest room ini hanya berisikan satu set sofa, lukisan, dan sebuah lemari es. Wakil ketua Atmojo Group pasti tidak mau membuat para manajer berleha-leha. Anyelir memandangi lukisan abstrak yang terpajang. Ia menunggu Anggara meninggalkannya juga. Namun, suara pintu terkunci segera membuatnya berbalik.

"Kamu marah, Nye?" tanya Anggara yang bersandar pada pintu.

"Penting buat kamu?"

Karena malas menatap Anggara, ia mengalihkan pandangan pada sebuah lukisan aneh yang menggambarkan ruangan gelap.

"Aku minta maaf soal tadi."

"Untuk apa kamu minta maaf?" Anyelir tak berhenti mengamati lukisan itu sambil melanjutkan, "Itu bukan yang pertama kalinya kamu menyerang aku tiba-tiba.

"Kata menyerang rasanya terlalu berlebihan." Anggara menunduk, menatap kosong lantai marmer. "Aku cuma kesal dan kesulitan mengontrol ciuman tadi. Maaf."

"Harusnya kamu ketemu Mas Dio dan urus kontrak kerja sama, bukan di sini."

"Mas Dio ada urusan mendadak sejak pagi. Dia udah tandatangan dan Niko cuma mewakili aja. Nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan lagi."

Anyelir mengangkat tangannya karena masih mendengar suara sepatu Anggara. "Berhenti di sana, Anggara."

"Kenapa?" Anggara sama sekali tak berniat mengindahkan permintaan gadis itu. Ia tetap melangkah pelan. "Aku nggak akan melakukan itu lagi, Anyelir."

Anyelir menggeleng. "Terserah. Please, berhenti di sana."

Napas Anyelir terasa berat. Matanya lagi-lagi terasa perih. Lukisan itu membawa ingatan tentang sebuah gudang gelap. Tempat di mana Anyelir yang masih berumur dua belas tahun berjongkok menutup mata dan telinga. Berusaha meredam jeritan kesakitan salah satu anak perempuan yang tengah diperkosa. Beruntung ia sudah lebih dulu bersembunyi. Kalau tidak, mungkin Anyelir mengalami nasib buruk itu. Mereka yang tersekap dalam gudang berada di antara hidup dan mati.

"Anyelir?"

Anggara terkejut bukan main karena melihat Anyelir Cokroatmojo tiba-tiba berjongkok. Gadis itu pun menutup mata dan telinga. Isakannya terdengar begitu menyiksa, sedangkan bahunya berguncang hebat.

"Anyelir, aku minta maaf," ujarnya panik. "Aku janji itu yang terakhir. Aku minta maaf, Nye." Ia mencoba merangkul, tetapi gadis itu selalu mengelak.

"Mama, Anye takut ...," racaunya dalam bisikan. "Anye, takut ...."

Anggara menarik paksa gadis itu. "Anyelir, ini Anggara!"

Tubuh gadis itu bergetar dengan kedua tangan bertaut di dada. Hidung serta mata Anyelir memerah. Beberapa helai rambut menempel di pipinya. Untuk kali pertama, seorang Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo terlihat sangat rapuh, berantakan. Kondisi ini jauh lebih mengejutkan dibanding pasca ciuman tadi. Mereka menatap satu sama lain di antara tanya tak terucap serta penjelasan tersendat.

"Nggak ada yang perlu kamu takuti. Aku di sini," ucap Anggara sesudah berhasil merengkuh gadis itu.

***

"Aku pernah diculik sama sindikat penjual anak dan perempuan."

"Kapan?"

Anggara menyodorkan secangkir vanilla latte yang dibawakan staf ke arah gadis itu. Ia tak pernah menyangka, Anyelir ternyata punya pengalaman ekstrem dibanding sekadar mengencani laki-laki dari Sabang sampai Merauke.

"Makasih."

Anyelir menyesap minuman favoritnya sambil menunduk. Sekarang ia benar-benar merasa malu karena Anggara harus melihat kondisi semacam tadi. Kondisi yang paling dibencinya.

"Kejadian itu nggak lama setelah Kak Randu meninggal. Aku habis pulang dari Pura dan pas bangun udah ada di gudang sama delapan anak perempuan," lanjut Anyelir. Gadis itu menatap langit sore bersama sendu yang menggelayut di matanya. "Dua hari kami disekap tanpa dikasih makan. Ada satu hari yang paling aku takuti. Hari itu Bapak-bapak salah satu komplotan itu masuk, aku langsung sembunyi di dalam kardus, di sudut ruangan. Teman-teman yang lain mungkin nggak sempat berpikir dan mereka nggak sadar aku sembunyi. Gudang itu luas, banyak barang-barang bekas, tapi sangat tertutup dan pengap. Di situ aku dengar langsung kalau Kak Dian di ...." Ia kesulitan menarik napas. Kali ini bukan hanya matanya yang terasa perih, tetapi hatinya pun ikut perih.

"Jangan dilanjut." Secara bersamaan tanpa sadar Anggara menggenggam tangan Anyelir yang bertaut di pangkuan.

Rooftop kantor pusat Atmojo Group masih sama seperti terakhir kali Anyelir kunjungi. Jajaran mawar merah dalam pot-pot besar mengelilingi pagar pembatas. Sengaja didesain seperti taman mawar atas permintaan para tetua. Mereka menduduki salah satu kursi taman yang tersedia. Sekarang pukul setengah empat sore. Ia tak menyangka, butuh waktu lama untuk merasa lebih baik dalam dekapan Anggara dan pergi ke sini. Ya, salah satu alasan Anyelir mengencani banyak lelaki adalah untuk menutupi masa lalu dan mengenyahkan rasa takutnya. Entah akan bagaimana nanti ia menjalani pernikahan bersama Anggara.

Anyelir menggeleng. "Mas sendiri yang bilang, kalau aku harus menceritakan apa yang ada di kepala dan hatiku." Ia memandangi lautan caramel dalam mata Anggara. "Hari lain, ketika kami mau dibawa Batam naik kapal laut. Aku memilih mati di lautan."

"Kamu lompat?"

"Saat itu aku cuma berpikir, lebih baik mati daripada harus mengalami hal kayak Kak Dian atau hal buruk lainnya. Sore itu kami sedang digiring menuju sebuah kamar." Anyelir meremas tangannya sendiri kuat-kuat. "Terus aku lari sekencang mungkin dari kabin ketika kapal tepat di tengah lautan. Nggak peduli sebelah kaki yang berdarah kena pisau orang-orang gila itu karena aku yang berusaha berontak."

Ini adalah kali pertama Anggara menyeka bulir air mata di pipi Anyelir. Ia bahkan tidak punya kata-kata untuk mengapresiasi keberanian gadis itu.

"Sanghyang Widhi menyelamatkan hidupku, Mas. Karena pas aku bangun, aku udah di rumah sakit. Ada Mama sama Papa Hermawan. Mereka bilang aku ditolong Intel yang menyamar sebagai nelayan. Aku koma seminggu lebih dan memang benar hampir mati." Anyelir memaksakan tawa kecil, meski tahu kerapuhan serta kelemahannya tak akan tertutupi sama sekali. "Aku hebat 'kan, Mas?"

Anggara menarik sudut bibir, lalu menyentuh puncak gadis itu. "Banget."

"Aku ingat sama kisah Putri Dyah Pitaloka Citraresmi pas perang Bubat. Dia melakukan belapati setelah ayah dan pasukannya mati di tangan pasukan Kerajaan Majapahit demi membela kehormatan Kerajaan Sunda."

"Kisah cinta Raja Hayam Wuruk sama Putri Dyah Pitaloka Citraresmi itu penuh intrik politik. Karena saat itu satu-satunya kerajaan yang belum bergabung sama Majapahit cuma Kerajaan Sunda. Tapi ya gitulah ... sejarah terkadang nggak bisa langsung disimpulkan, karena ada banyak sumber."

Anyelir menyesap vanilla latte seraya mengangguk. Ia bersyukur sebab berhasil mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Bagaimanapun Anyelir tak ingin tertangkap basah menangis di depan siapa pun, terutama laki-laki itu. Senja merambah langit ditemani senyum tipis laki-laki itu. Kalau boleh jujur, Anyelir tak pernah menceritakan masa lalu mengerikan itu kepada siapa pun. Ia pun tak mengerti kenapa bisa menceritakan hal tersebut pada Anggara dengan mudah.

"Mas ngapain?" tanya Anyelir yang merasa laki-laki itu tengah menciumi puncak kepalanya berkali-kali.

"Nggak ngapain-ngapain, cuma suka aja sama wangi rambut kamu."

"Ngeles ih."

"Bajaj ih." Anggara meniru nada suaranya.

Kemudian, entah kenapa mereka tertawa bersama tanpa alasan jelas.

*Belapati: menusuk pisau/pedang ke jantung saat keadaan terjepit dan perang berlangsung. Pada zamannya, wanita yang melakukan belapati dianggap terhormat. Karena daripada dilecehkan, mereka memilih mati.

Anyelir versi kalem setelah dirukyah

Anggara versi Aa prom night zaman SMA. Masih suci, putih, bersih, belum ternoda.
(Btw, karena Anggara dominan indo meski setengah bule juga. Dia bola mata doang yang cokelat ye sama perawakannya ngambil patokan cowok bule gitu. 185an lah ceritanya.
PS: kalo enggak bisa dibayangin, boleh bayangin author
PSS: jangan protes, Ndro. Author dimari emang pelit, medit, bin kikir soal cast 💔)

BUAT YANG PENASARAN ADA MASALAH APA TUH SI ANYE DENGAN SI KENANGA. SILAKAN MAMPIR KE WHEN THE FLOWERS TALK 🌻🌻

SARANGHAE ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro