18. Demikian Aku Mencintaimu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir dan Anggara secara bersamaan muncul di balik Mercedes Benz CLS-Class sambil membanting pintu. Dua pengawal yang melangkah lebar-lebar di sisi mereka segera membuka payung lipat hitam karena cuaca sedikit panas. Sementara jarak menuju pintu utama tak seberapa jauh. Namun, seakan sudah tersusun dalam skenario, tepat di langkah ketiga mereka sama-sama mendorong kacamata hitam yang bertengger di hidung. Sementara angin sepoi-sepoi berembus menerbangkan rambut cokelat Anyelir serta rambut klimis Anggara. Patung rajawali—yang tengah melebarkan sayap siap menerkam mangsa—berukuran tiga meter menyambut mereka. Salah satu ciri khas sekaligus kebanggaan klan Cokroatmojo.

Boleh jadi tema pakaian mereka hari ini persis seperti hendak mendatangi acara pemakaman. Namun, mereka berdua tetap menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di kawasan kantor pusat Atmojo Group. Tadinya Anggara sempat menawarkan sebuah restoran di kawasan HI, sebab ia tak ingin dianggap sebagai calon adik ipar yang pelit. Namun, sayangnya sang wakil ketua Atmojo Group teramat mencintai ruang rapatnya. Jadilah mereka menginjakkan kaki di sini.

"Lantai tujuh," titah Anyelir pada pengawal di sampingnya.

Usai mengangguk patuh, sang pengawal langsung menekan tombol angka tujuh. Sesuai dengan sejarah Atmojo Group, seluruh kantornya terdiri dari tujuh lantai, melambangkan perusahaan yang dijalankan oleh tujuh pion utama. Ia dan Anggara berdiri di tengah dua pengawal setia mereka. Lift kosong karena semua orang menyingkir begitu Anyelir lewat. Lencana emas yang tersemat pada balzer gadis itu merupakan lambang Atmojo Group. Hanya dimiliki dan dipakai pihak keluarga yang tidak masuk ke dalam struktur organisasi perusahaan ketika mendatangi kantor.

"Kamu udah hubungi sekretaris Pak Dio?" tanya Anggara.

Dikarenakan berada di wilayah kekuasaan klan Cokroatmojo, Anggara tak mungkin memanggil nama Dio tanpa embel-embel. Ia memasukkan kacamata ke saku jas, lalu melirik Anyelir.

"Lima menit yang lalu aku udah konfirmasi kehadiran kita dan keberadaan Mas Dio ke Dinda," jawab Anyelir.

"Undangan sama souvernir?"

"Udah dibawa Baron." Anyelir mengarahkan ibu jari ke pengawal di sampingnya.

"Good."

"Bentar deh ...." Anyelir menarik kacamatanya ke kepala. Ia membuang napas keras lewat mulut. "Aku ini sebenarnya sekretaris atau calon istri kamu ya?"

Anggara menyeringai begitu mereka bertemu pandang. "Ide bagus, Nye. Kebetulan aku belum punya sekretaris di Yogyakarta."

Hidung Anyelir mengembang, lantas ia membawa sisa-sisa rambut ke belakang telinga. "Enam puluh delapan juta."

"Semalam empat ronde?"

"Gaji gue sebulan, njir!" Anyelir melotot seraya menginjak gemas kaki calon suami setengah warasnya.

"Duh ...," Anggara meringis. "Kalau semalam empat ronde?"

"Sama botol kecap sana!"

Dua pengawal di sisi mereka berpura-pura tak mendengar obrolan itu, sibuk mengamati dinding-dinding lift.

"Nggak muat dong, sayang. Gimana sih kamu, udah pernah nyobain juga." Anggara memainkan alis bersama senyum jail.

"Sakit kepala gue, punya calon suami sakit begini." Anyelir memijat-mijat dahi, sebelah tangannya bersedekap. Ia menyikut perut Baron. "Bos kamu lagi kumat, jangan lupa tutup kuping."

"Kenapa? Kita lagi ngomongin kaki kamu sama sepatu kemarin, Nye. Mikirnya kejauhan nih ...." Anggara beralih pada Linggar. "Nona kamu lagi sensi, Gar. Jangan lupa beliin balon."

"Beli balon di mana, Pak?" Linggar bertanya begitu serius.

Anggara mendekatkan diri kepada pengawalnya. "Di Indomaret, yang dipajang di kasir. Bungkusnya kotak, gambar depannya cewek cowok, Gar. Paham kamu?"

Linggar tampak berpikir keras.

"ENGGAK USAH DITANGGAPI, LINGGAR, SAYA PECAT KAMU!" titah Anyelir dengan napas tersengal-sengal, sedangkan Baron di sebelahnya menggembungkan kedua pipi.

Terbukanya pintu lift menghentikan amukan Anyelir secara otomatis. Gadis itu mengubah ekspresi wajah setenang mungkin. Mereka berjalan beriringan dengan formasi Baron dan Linggar di belakang. Dentuman sepatu mereka pun mampu menimbulkan banyak tanda tanya. Tak sedikit investor serta pimpinan perusahaan besar yang singgah di sini. Akan tetapi, paras luar biasa Anyelir Cokroatmojo ditambah lencana warisan—berlapis emas dua puluh empat karat dengan berat sekian belas gram—seakan menjadi sesuatu yang patut diamati lekat-lekat.

Sesampainya di depan sebuah pintu kaca berwarna hitam, langkah mereka terhenti. Ada beberapa staf berjajar di belakang seorang wanita yang mengenakan blazer cokelat, rok span hitam selutut, serta scarf batik berwarna peach. Keseluruhan rambut panjang hitam legamnya dikucir ke belakang. Tidak lain dan bukan, wanita itu pastilah Dinda Mahesti, sekretaris Dio.

"Selamat siang Bapak Anggara dan Ibu Anyelir," sapa Dinda. "Selamat datang di Atmojo Group, perkenalkan saya Dinda Mahesti, sekretaris Bapak Dio."

Baik Anyelir maupun Anggara kompak mengangguk diiringi senyum ramah.

"Senang bisa berkunjung ke sini. Bapak ada?" tanya Anyelir sekadar berbasa-basi.

"Mari saya antarkan ke ruang rapat," ajak Dinda.

***

Adigang, adigung, adiguna.

Pahatan kalimat semboyan pada sebuah papan menyita perhatian Anggara. Ia tak asing dengan patung rajawali berukuran tiga meter. Rumah Pak Hermawan pun memajang patung tersebut. Dinda meninggalkan mereka di ruang rapat bersama dua cangkir kopi dan pastry khas Jawa. Anggara agak lupa nama makanan itu. Bulat warna hijau, isinya gula merah.

"Sayang, ini apa?"

Anggara menunjuk makanan di piring lebar. Isinya cuma enam biji dan sudah ia makan empat sekaligus. Untung saja kerongkongan Anggara mengalahkan gorong-gorong beton. Lama-lama ia agak curiga bahwasanya wakil ketua Atmojo Group generasi keenam ini adalah saudagar pelit, medit bin kikir.

Gadis itu berhenti menekuni ponsel. "Dari tadi Mas yang makan, masa nggak tahu? Nggak usah caper deh, lagi males." Ia kembali mengetik sambil manyun.

"Ya, memang nggak tahu." Anggara memasukkan dua buah terakhir ke mulut. "Beliin dong, Yang."

"Beli sendirilah! Manja banget!"

"Kan nggak tahu namanya."

"Foto dong, masukin ke google."

"Apa yang mau difoto?" Anggara menyodorkan piring kosong ke siku gadis itu.

Setelah mengarahkan bola mata ke atas dan menghela napas berat, Anyelir menoleh disertai senyum madu. "Fotoin Anye aja gimana?" Ia bertopang dagu, kemudian tangannya yang lain merapikan simpul dasi Anggara.

"Nggak usah difoto, udah terpatri."

"Unchhh, gemes banget sih ... Mas Hadi ganteng," ujarnya sambil mencubit perut Anggara.

Candaan mereka tergantikan oleh sebuah keheningan asing. Laki-laki itu diam seribu bahasa. Ada sesuatu yang tak Anyelir mengerti dalam pancaran bola mata Anggara. Ia sengaja mengejek nama tengah laki-laki itu, sebab dalam daftar riwayat hidup yang saling mereka bagi, terdapat aturan konyol tentang dilarang keras memanggil nama tengah Anggara.

Reaksi tersebut entah mengapa membuat Anyelir mengambil sebuah kesimpulan receh. "Panggilan kesayangan dari mantan ya?" Ia kini menepuk-nepuk pelan pipi Anggara.

"Bukan."

"Oh, ya? Demi jagad raya ini, barusan sih aku lihat kamu buang napas berat, Mas."

Anyelir mengangkat kedua bahu, kemudian menyesap kopi yang telah mendingin.

"Iya, demikian aku mencintaimu," sahut Anggara.

Anyelir sontak terpejam dan terpaksa menelan kopinya dengan cara yang begitu menyakitkan.

"Harus banget pinjam gombalan supir angkot?"

"Kamu pernah naik angkot?"

"Of course, Anye pernah melarat sebelum pakai lencana ini." Anyelir menunjuk bagian jas sebelah kirinya. "Gombalan jenis tadi sering banget Anye denger kalau naik angkot sama Mama. Bikin asam lambung naik, tahu nggak?"

Senyum Anggara melebar. "Kamu juga digombalin?"

"Nggak, saat itu Anye masih bocah SD. Tapi Anye berani menyimpulkan kalau cinta-cintaan itu pasti lebih murah dibanding harga sepatu bekas."

Sebelah alis Anggara terangkat. "Cinta itu nggak bisa dinilai pakai angka atau abjad A B C D, Anyelir."

"Ya, berarti cinta-cintaan itu memang nggak berharga karena nggak ada nilainya dong. Benar nggak?"

Boleh jadi semua teman minum kopi Anggara juga masa bodoh dengan apa itu cinta ketika mereka bergulat di ranjang. Namun, persepsi setengah ngaco Anyelir membuatnya terpaksa berpikir tentang hal yang mendadak tabu baginya. Ia menggeser undangan silver berembos emas yang tertera nama mereka berdua.

"Ini bukti kuat kalau kamu cinta sama dirimu sendiri. Kamu nggak akan menerima tawaranku kalau kamu nggak memikirkan kenyamanan dirimu sendiri." Anggara menunjuk ukiran nama gadis itu. "Kenapa? Karena aku bukan siapa-siapa buat kamu. Iya nggak?" Kali ini ia berbisik sambil melirik pintu kaca.

Gadis itu tersenyum lebar. "Of course, I love me, my self, and I. Cuma yang Anye maksud tadi itu cinta-cintaan di antara laki-laki dan perempuan, Mas Anggara Hadiarsa Pranadipa."

"Cinta itu cuma punya satu arti entah untuk siapa pun, Anyelir sayang."

"Beda, Mas Angga sayang. Misal dalam konteks Mama Seruni dan Anyelir begini, laki-laki manapun bisa aja meninggalkan Anyelir, tapi nggak dengan Mama Seruni."

"Nah itu, Paham 'kan kamu? Cinta yang Mas maksud cuma punya satu arti, ya begitu. Cuma untuk orang-orang paling berharga, contohnya Ibu Seruni."

Anyelir menggeleng. "Kasih sayang ibu sepanjang masa, kasih sayang laki-laki sepanjang galah. Habis manis, sepah dibuang. Penjelasan Mas nggak bikin persepsi Anye berubah." Ia meraih cangkir kopinya, memandangi cairan hitam pekat itu. "Ya, benar sih mungkin cinta memang cuma punya satu arti."

Padangan mereka saling terkunci. Anyelir meletakkan cangkir kopinya di meja tanpa melepaskan kuncian itu. "Dan artinya cuma tinggal," lanjut Anyelir.

"Maksud kamu?"

"Jangan pernah tinggal, kalau nggak mau ditinggal. Karena nantinya yang ada tinggal kenangan."

Anggara menyeringai. "Itu sih prinsip kamu doang."

"Loh ...." Kedua alis Anyelir terangkat. Matanya mengedip sekali, lalu tawa manisnya terurai tanpa suara. "Mas juga 'kan?"

Terkadang Anggara tak habis pikir, kenapa gadis sialan itu seakan bisa membaca rahasianya bak buku yang terbuka lebar?

"Kalau kamu mau tahu—" Anggara menarik paksa dagu gadis itu. "Cinta itu kayak gini."

Anggara melumat kasar bibir yang siang ini berwarna peach. Ia tidak akan membiarkan Anyelir bernapas satu detik pun. Sulit dipungkiri kalau bibir ranum itu masih selembut kemarin-kemarin, tetapi Anggara tak akan membiarkan dirinya tersesat lagi dan lagi. Ia mengunci Anyelir lewat dagu dan rengkuhan di pinggang.

"Enghh ...." Gadis itu berusaha mendorong Anggara menjauh. Namun, usahanya gagal total. Mereka tak bergerak satu inci pun. "Stop ...." ucap gadis itu tak jelas, tetapi ia mengerti.

Anggara berhenti setelah merasakan air mata gadis itu yang ikut membasahi pipinya.

"Cinta nggak bisa dijelaskan, cuma bisa dirasakan," ujar Anggara.

***

Wkwk maaf ya dikit, jari sama imajen kurang sinkron belakang ini ( ꈍᴗꈍ) udah gitu kerjaan padet kayak lontong, asli. Udah gitu Sabtu masuk juga, Ndro. Kesel dari kemarin enggak bisa-bisa update. Padahal malam ini harusnya aku ngurusin Cakra di lapak sebelah (人 •͈ᴗ•͈)

Yodalahya.

Have a nice dream ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro