17. Demi Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memandangi rintik hujan yang menyisakan bulir-bulir bening pada jendela sama sekali bukan gaya Anyelir. Setelah urusan di Surabaya selesai, liburannya pun ikut usai. Anggara mengantarnya sampai di kediaman Hermawan Cokroatmojo. Hari pernikahan mereka maju sebulan lebih cepat dari dugaan Anyelir. Semua orang di sekeliling mereka yang melakukannya. Siapa peduli? Ia hanya perlu tampil sesuai apa yang orang-orang harapkan dan Anggara inginkan.

"Gimana di Surabaya kemarin? Kamu belum cerita apa-apa."

Suara tersebut disusul suara sepatu hak menggema. Memecah keheningan yang sempat Anyelir nikmati. Kamar bernuansa ungu berhias glow in the dark ini telah ia tempati kurang lebih tujuh tahun. Waktu yang tidak bisa dibilang sebentar, walau tidak bisa dikatakan lama juga. Meninggalkan Bali tak sepenuhnya meninggalkan Randu. Sosok bocah kecil itu terkadang hadir dalam mimpi dan sepi. Anyelir berharap Randu tahu jikalau mereka baik-baik saja. Meski dalam hitungan hari, ia pun akan meninggalkan Mama.

Tinggal, satu kata itu mengandung dua makna yang bertolak belakang. Kebetulan ia sangat mengenal makna menyedihkan dari kata tersebut. Selama menghirup oksigen di dunia, Anyelir sadar, ia mengarungi waktu tanpa sebuah tujuan jelas untuk dirinya sendiri. Pernikahannya bersama Anggara pun sebatas kontrak di balik keperluan perusahaan dan harta. Nahas? Tidak juga. Realita mengajarkannya untuk tak memercayai dongeng.

"Anggara sukses dapat legitimasi Eyangnya. Tinggal serah terima jabatan di cabang Yogyakarta," sahutnya.

Bayangan sosok wanita bergaun merah tua tertangkap lewat pantulan kaca. "Bagus dong. Sebentar lagi Atmojo Konstruksi bisa pulih dengan adanya Anggara di belakang Papa. Perjalanan karirnya di Prana Corporation cukup menarik kata Papa. Dio sama Niko nggak akan bisa menginjak-nginjak kita lagi."

Anyelir bersedekap. "Sebenarnya aku nggak terlalu peduli sama semua itu, yang aku tahu calon suamiku lebih gila dari yang kupikirkan."

Mama menarik kedua bahunya, hingga ia berbalik. "Rumor itu benar? Apa saja yang sudah dia lakukan sama kamu?"

Raut wajah Mama terlihat khawatir, sedangkan Anyelir menarik napas panjang. "Kalau yang Mama pikir semacam memukul atau bikin aku nyaris mati sih nggak. Dia cuma punya segudang rencana ekstrem aja kok."

Mendengar itu kedua alis Mama terangkat disusul napas yang berembus lewat celah bibir. "Mama sebenarnya agak khawatir sama rumor itu." Wanita itu membawa sejumput rambut Anyelir ke belakang telinga. "Tapi Papa bilang kamu terlindungi sama kontrak."

Senyum tipis Anyelir terukir. Ia memegangi kedua lengan Mama. "Kontrak itu menjebak kita, Mama."

"Nggak ada pilihan lain, Nye." Mama memegang balik kedua lengan Anyelir. Sorot matanya menyiratkan permohonan. "Kontrak itu lebih baik dibandingkan penarikan aset dan pemecatan secara nggak terhormat yang bisa Dio lakukan."

"Kalau gitu kenapa nggak serahin aku ke Mas Dio aja? Aku bukan klan murni, berarti aku bisa-bisa aja dong nikah sama dia."

Mama berdecak. "Jangan gila dong, sayang."

Anyelir tertawa lepas. Ia tak ingin membuat Mama khawatir. Mama sudah cukup merasakan pahit manisnya kehidupan sebelum mereka bertemu Papa Hermawan. Katakan saja mereka parasit, dan ya, mereka memang parasit.

"Dia ganteng kok, Ma." Anyelir melirik ke sudut plafon sejenak. Senyumnya melebar. "Cuma agak munafik aja sih."

"Jangan coba-coba berurusan sama dia, Nye. Niko aja udah cukup bikin Papa ketar-ketir."

"Kalau cuma berurusan sama blind date gitu sih nggak masalah, Ma."

"Anyelir ...," panggil Mama dengan nada memperingatkan.

"Oke ...," sahutnya sambil menahan tawa. "Aku nggak minat melanggar tradisi yang satu itu."

Anyelir ingat ketika masih duduk di bangku SMA, ia pernah satu lift dengan sosok wakil ketua Atmojo Group generasi ke enam tersebut. Kebetulan mereka hanya berdua dan hal sesepele itu entah kenapa sangat berkesan untuknya, padahal ia sempat menggerutu karena Papa memintanya mengantar dokumen yang tertinggal ke kantor pusat. Dio Anggara Cokroatmojo kebetulan baru saja pulang dari US kala itu. Tampak cuek, tetapi sangat menarik untuk dilirik.

"Nye ...." Mama menangkup sebelah pipinya. "Mama nggak tahu ini pantas diucapkan atau nggak, tapi Mama harap pernikahan kamu berjalan baik-baik saja."

Anyelir langsung memeluk wanita itu erat. "Aku akan baik-baik aja, Ma."

Demi waktu yang bergulir, aku nggak mau terikat apa pun selain surat kontrak, lanjutnya dalam hati.

***

Gambar seorang gadis berambut cokelat itu merupakan salah satu harta berharga Anggara dibanding deretan daftar saham. Sebut saja ia bodoh, tiap memandangi lukisan itu hidungnya selalu berair. Ketika menyentuh bagian pipi pada lukisan tersebut, waktu melemparnya ke suatu momen bersama Arindi.

"Aku mau lihat salju," kata Arindi ketika musim dingin mulai menyapa Amsterdam.

Gadis yang bersandar pada brankar itu tersenyum lemah. Rambutnya cokelat halus, panjangnya melewati bahu sedikit. Meskipun rambut tersebut adalah wig, tak sedikit pun melunturkan kecantikan Arindi. Sinar mata gadis itu sudah lama meredup, tetapi Anggara tetap menyukainya. Bersama langkah lelah, ia mendekati Arindi dan duduk di pinggir brankar.

"Di luar dingin, Rin," ucapnya pelan.

Ibu Arindi sedang pulang ke rumah sebentar, sedangkan ayahnya mengurus administrasi. Mereka biasa ditinggal berdua saja di kamar ini. Tidak ada kegiatan lain selain bercerita tentang keseharian atau hal-hal konyol semasa sekolah saat Anggara berada di kamar ini

"Please ...."

Arindi menyentuh lengan Anggara. Tangan kurus itu terpasang selang infus dan ia merasa sakit tiap kali memandangnya. Genap enam bulan sudah gadis itu terpenjara di rumah sakit. Namun, tak pernah sehari pun Anggara absen menjenguk gadisnya, bahkan ia membawa tugas kuliah dan pekerjaan di Prana Corporation kemari. Baginya semua adalah prioritas, tidak bisa dipilih salah satu.

"Hadi, please ...," kata Arindi lagi karena ia tak juga menjawab.

Gadis itu hadir bahkan sebelum ia menyadari apa itu arti cinta pertama. Mereka adalah teman bercerita, teman belajar, teman makan, teman nonton, teman aneh. Semuanya.

"Iya, Rin," jawab Anggara setengah hati.

Demi Tuhan, ia selalu ingin memenuhi permintaan Arindi. Akan tetapi, apakah semua itu bisa membuat Arindi bertahan di sisinya? Kepala Anggara selalu dipenuhi pertanyaan tersebut tiap kali menyusuri jalan, mendekam di perpustakaan, atau menginjakkan kaki di sini. Ia melepas jaket, kemudian dengan hati-hati memakaikannya pada gadis itu.

Arindi melebarkan senyum, bibirnya sangat pucat. "Makasih, Hadi."

Anggara mengangguk sambil menarik dua sudut bibir. Ia menyentuh puncak kepala Arindi seraya melambungkan banyak harapan. "Sebentar."

"Aku nggak mau ke taman."

Langkah Anggara terhenti di depan kursi roda yang hendak ia siapkan.

"Aku mau ke rooftop. Boleh 'kan?" pinta gadis itu.

Anggara kembali menduduki pinggiran brankar. Ia menghela napas sebelum bertanya, "Mau ngapain, Rin?" tanyanya hati-hati.

"Mau ngobrol sama kamu."

"Kita bisa ngobrol di mana aja."

"Iya, termasuk rooftop 'kan?"

Baiklah, Anggara menyerah. Hanya orang bodoh yang mengajak pasien keluar kamar menikmati salju turun dan ialah salah satunya. Demi waktu yang bergulir, Anggara tak pernah ingin menyakiti atau mengecewakan gadis itu. Baik lewat kata-kata atau perlakuan, sama sekali tidak. Oleh karena itu sekarang ia berjongkok, membantu Arindi naik ke punggungnya.

"Aku kangen kampus," ujar Arindi ketika mereka menapaki anak tangga pertama menuju rooftop.

"Buat apa? Aku ada di sini."

"Emang aku ke kampus buat ketemu kamu doang?"

"Terus apa?"

Anggara tertawa di antara rasa lelah. Jangan salah paham, ia bukan lelah karena menggendong Arindi sembari menaiki tangga. Bobot gadis itu seringan kapas. Jujur, Anggara lelah karena melihat gadisnya harus melewati perawatan panjang yang masih menggantung ini. Tidak bisakah realita memberinya secercah harapan? Ia tahu segala hal di dunia ini diciptakan sepasang, termasuk pertemuan dan perpisahan. Akan tetapi, mereka juga sepasang 'kan? Lantas kenapa harus ada ucapan selamat tinggal yang dipaksakan?

"Kangen menjalani hidup normal aja," jawab Arindi.

Anggara bungkam. Ia sepenuhnya yakin, Arindi sudah bosan mendengar bualan semacam 'kamu pasti bisa sembuh'. Mereka berdua sepakat menelan bulat-bulat pahitnya kenyataan.

Terdengar tawa kecil Arindi. "Jangan galau dong, Mas Hadi ganteng."

Di antara rasa mengenaskan yang sangat sialan itu, Anggara menyambut tawa Arindi.

"Dua puluh tahun aku hidup bahagia. Punya anggota tubuh lengkap, Mama, Papa, dan kamu." Arindi menyandarkan kepala di punggungnya. Sungguh, tanpa perlu gadis itu meminta, ia bersedia meminjamkannya sebagai sandaran seumur hidup. "Masa aku mau protes sama Tuhan cuma gara-gara sakit?"

"Protes kamu 'kan cuma kalau nggak dibawain canele."

"Iya dong, habis kamu pelit! Minta dibawain tiap hari, tapi malah seminggu sekali itu juga kalau ingat." Gadis itu meletakkan dagunya di sebelah bahu Anggara. "Hadi ganteng ... kalau aku pergi nanti, kamu bakal benar-benar melupakanku nggak?"

Gelembung ingatan tersebut pecah karena getar ponsel di meja. Anggara tak pernah menangisi kepergian Arindi. Hanya hidungnya saja yang mendadak berair jika mengingat gadis itu lebih jauh. Dengan terpaksa, ia menutup sketchbook dan menilik layar ponsel.

Anyelir:
Niko bilang kita bisa ketemu Mas Dio di hari Selasa. Jam makan siang.

Anggara:
Makasih ya cantik :)

Anyelir:
GOSAH NGALUS.

Entah kenapa Anggara malah mendial nomor gadis itu, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Ia sendiri tidak mengerti kenapa memilih menelepon Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo malam ini. Dering pertama terabaikan, tetapi di dering kedua helaan napas Anyelir terdengar jelas.

"Pesan tadi kurang jelas?" sambut suara di seberang sana.

"Kangen."

"Udah gila ya?" sembur Anyelir.

Canele, pastry imut khas Prancis.

"Jangan pernah tinggal, kalau enggak mau ditinggal. Karena nantinya yang ada tinggal kenangan."
_Anyelir & Anggara_

Oke, quotes setengah ngaco ini cuma menyesuaikan cerita ya 🤧🤧🤧

Maafkan segala kalimat yang tidak berkenan selama cerita ini berlangsung :)

Have a nice dream ❤️

Tertanda,
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro