24. Tentang Sebuah Permintaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah laki-laki itu terhenti dan Anyelir mulai khawatir. Ia menoleh ke belakang. Ada dua pengawal setia yang berjarak dua meter di belakang mereka. Mau tak mau, tatap Anyelir kembali bersinggungan dengan laki-laki di sampingnya. Walaupun langit gelap, Anyelir masih dapat menjumpai sorot mata Anggara yang seolah siap mengulitinya.

"Memangnya kamu mau kita memiliki arti yang seperti apa? Sementara kamu sendiri nggak percaya cinta," sahut Anggara.

Baiklah, sekarang Anyelir bingung. Laki-laki itu benar menanggapinya atau mereka masih dalam mode skenario?

"Lupakan apa yang aku bilang tadi," ucap Anyelir sambil berjalan mundur, sebab genggaman mereka mengendur.

Satu sudut bibir Anggara terangkat. Ia membaca arti lain dalam bola mata Anyelir. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan apa yang gadis itu utarakan. "Jangan mundur-mundur, Anyelir. Nanti kamu jatuh."

Gadis itu tidak mengindahkan ucapan Anggara dan terus berjalan mundur hingga kakinya terendam air laut.

"Sini, Nye ... nanti kamu sakit."

Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Namun, Anyelir enggan menyambutnya dan tertawa sinis. "Kalau kayak gini tuh aku suka bingung. Kamu lagi sandiwara atau nggak."

"Menurut kamu gimana? Aku nggak sejahat yang kamu pikir," sahut Anggara sembari memasukkan sebelah tangan ke saku celana. Sering kali ia tak mengerti dengan jalan pikiran perempuan. "Aku bukan tokoh sinetron penyiksa istri, Nye."

"Oh ya?"

Ombak kecil datang, lalu ia mencipratkan airnya ke arah Anggara. Laki-laki itu sempat menutupi wajah dengan lengan untuk menghindari cipratan. Ia pikir, Anggara pun akan pergi meninggalkannya begitu saja yang tiba-tiba kekanakan. Namun, sayangnya tidak. Laki-laki itu justru melakukan serangan balik sampai-sampai mereka tertawa lepas tanpa beban, tanpa kepura-puraan.

"Anyelir!" panggil Anggara yang berhasil menarik gadis itu ke pelukan sebelum punya kesempatan untuk lari darinya. "Hayo, nggak bisa ke mana-mana 'kan kamu?"

"Iyalah, kamu nggak kasih kesempatan buat lari," jawab Anyelir di sela-sela tawanya.

"Nggak akan pernah ada kesempatan buat kamu!"

Anggara lantas menggelitiki pinggang gadis itu. Ia antara gemas dan kesal karena ulah Anyelir. Kemeja putih beserta celana pendek cokelatnya basah. Ia tak peduli dengan terpaan angin laut atau segelintir orang yang memerhatikan tingkah laku mereka. Anggara hanya peduli satu hal. Ia menyukai tawa Anyelir Cokroatmojo.

"Udah ... udah ... aku susah jalan, Mas ...," ujar Anyelir yang kelelahan mengurai tawa. Ia berbalik, lalu bertumpu pada dada bidang Anggara tanpa sengaja. Sementara laki-laki itu masih merengkuh pinggangnya. Di bawah cahaya rembulan serta embusan angin pantai, Anyelir mendongak. Pandangannya dan Anggara bertubrukan di satu titik. Tawa mereka kini menghilang. Letupan kekesalan serta keegoisan prinsip mereka pun lenyap.

Dalam sekejap, Anggara melihat Arindi tersenyum. Kemudian dalam sekejap pun, ia kembali menemukan wajah damai Anyelir. Entah, gadis yang ia rengkuh itu Arindi atau Anyelir, yang jelas ia sendiri tak mengerti mengapa dua sudut bibirnya tertarik begitu saja dengan mudah.

Di sisi lain, Anyelir pikir kejadian aneh di Garuda Wisnu Kencana adalah yang pertama dan terakhir. Akan tetapi, ia kembali merasakan itu. Ia tertambat pada senyum Anggara yang seakan mengandung mantra ajaib. Karena senyumnya pun ikut mengembang hingga matanya terpejam tanpa perintah otak sama sekali.

"Pak, maaf," ucap Baron penuh kehati-hatian. "Nyonya Julia menanyakan kapan Bapak dan Ibu kembali ke hotel untuk makan malam."

Ah ya, masih ada Baron dan Linggar yang setia menemani.

Gelembung frekuensi perasaan semu mereka pecah seketika. Namun, tidak ada perubahan ekspresi yang signifikan. Anggara melepas rengkuhannya sembari bertanya, "Nye, pulang, yuk?"

Anyelir mengangguk seraya menerima uluran laki-laki itu. Entah ini sebuah pertanda bagus atau hanya pemanis belaka. Akan tetapi, ia merasa dirinya akan baik-baik saja dalam seminggu ke depan. Selama berjalan beriringan, ia beberapa kali mencuri kesempatan untuk memprediksi laki-laki itu lewat ekspresi wajah. Tak ada satu hal mengerikan pun yang ia temukan, kecuali ketenangan. Wajah damai Anggara nyatanya membawa kedamaian juga baginya. Apa artinya ini?

***

Sesudah pesta pernikahan yang mereka adakan besar-besaran di Bali. Anggara memboyongnya ke sebuah rumah di Yogyakarta. Konon katanya, Anggara Hadiarsa Pranadipa memiliki beberapa rumah. Di Yogyakarta adalah miliknya sendiri, sedangkan rumah di Surabaya merupakan aset pemberian Eyang Putri. Kemudian masih ada lagi rumah pemberian ayahnya di Jakarta dan Makassar.

"Selama di Belanda, kamu tinggal di apartemen?" tanya Anyelir iseng. Mereka baru saja membeli beberapa pakaian untuk acara-acara penting perusahaan, termasuk acara penobatan Anggara nanti.

"Kadang, tapi lebih sering pulang ke rumah Kakek dan Nenek dari Mama."

"Katanya kamu jarang banget pulang ke Indonesia. Nggak bisa ninggalin teman minum kopi terlalu lama ya?"

Anggara tertawa kecil, lalu menggeleng. Ia menatap gadis yang menemani perjalanannya hari ini. "Kamu penasaran banget."

"Oh, berarti jawabanku benar."

"Sama sekali bukan, Nye. Kalau kamu mau tahu, teman minum kopiku ya sebatas itu. Nggak ada keterlibatan lain yang lebih dari itu."

Dahi Anyelir tampak berkerut dan Anggara merasa terhibur melihatnya.

"Kenapa memangnya, Nye? Kalau aku udah punya proyek dan tujuan yang agak berat. Aku cuma akan fokus di sana."

Sebelah alis Anyelir terangkat, disusul kekehan sinis. "Kamu kayak kedengeran lagi ...." Ia sengaja menggantung kalimatnya sampai Anggara kembali menoleh. "Menenangkan hati istri tercinta?"

Anggara berdeham. "Aku hanya menjawab pertanyaan yang bahkan belum berani kamu cetuskan."

Kali ini Anyelir menempelkan siku ke kaca mobil, lantas bertopang dagu. "Iya, aku percaya kok, Anggara."

"Good. Kamu kedengaran sedikit lebih manis sekarang."

"Aku cuma punya itu untuk bertahan dalam pernikahan semacam ini."

Tepat saat itu juga ban mobil Anggara berdecit hebat. Mereka tiba-tiba sudah berada di pinggir trotoar ditemani lampu jalanan yang agak meredup.

"Nye, aku nggak ngerti apa maksud kamu mancing-mancing dari kemarin," tembak Anggara usai melepas setir mobil.

"Kenapa kamu harus peduli?" Anyelir mengernyit. "Aku cuma mengatakan apa yang ingin aku katakan dan memang terjadi."

"Kalau kamu setuju dengan pernikahan ini, artinya kamu sudah mengerti konsepnya seperti apa."

"Kalau kamu memang sudah mengerti konsepnya. Harusnya kamu nggak perlu mempermasalahkan cuitanku, Anggara."

Anggara menyugar rambut sambil berdesis. Benar juga, kenapa ia harus mempermasalahkan cuitan gadis itu?

"Aku nggak mempermasalahkan itu, Nye. Tapi aku pernah bilang, katakan semua yang ada di hati dan kepala kamu supaya kita bisa berjalan beriringan."

Anyelir terdiam. Perlahan-lahan ia mulai menyesali keanehan mulutnya belakangan ini. Apa yang ia harapkan dari pernikahan dua perusahaan, selain kerja sama jangka panjang dan harta yang tak ke mana-mana? Konyol. Ingin sekali Anyelir membenturkan kepalanya berkali-kali. Jangan sampai Anggara membaca keanehan ini sebagai suatu pertanda.

Astaga, pertanda apa, Nye?

Tiba-tiba Anyelir bergidik membayangkan mimpi buruk menjadi nyata. Iya, tertarik ke dalam artian romantis kepada Anggara Hadiarsa Pranadipa adalah seburuk-buruknya mimpi.

"Aku baik-baik aja." Anyelir berdeham sambil menata kalimat di kepala. "Kita udah berjalan beriringan kok. Contohnya penobatan kamu nanti. Hal itu nggak akan pernah terjadi kalau kita belum satu tujuan dan berjalan beriringan."

Sekian detik Anggara masih memperhatikannya tanpa ekspresi. Ia sempat was-was akan ada pembicaraan tak nyaman selanjutnya atau sejenis kekerasan fisik. Mau bagaimana lagi? Laki-laki itu punya rumor yang cukup mengerikan meski hanya sekadar rumor. Namun, pikiran jeleknya langsung terpatahkan begitu Anggara menyalakan mesin mobil.

"Jangan pernah berani berkhianat, Anyelir," katanya.

"Membocorkan rahasia perusahaan maksud kamu?"

"Iya, termasuk pergi dengan laki-laki yang bukan Linggar, Baron, atau Pak Hermawan."

Sontak Anyelir menoleh cepat bersama sebelah alis terangkat tinggi-tinggi.

"Permintaan Anggara adalah perintah," titah laki-laki yang sekarang tengah memasang earphone. "Tertulis jelas dalam kontrak."

"Oh ... oke ...."

Anggara bilang permintaannya adalah perintah 'kan? Apa lagi respons yang dapat Anyelir beri selain mengiyakan?

See you in the next chap ❤️
Have a nice dream (⁠人⁠*⁠'⁠∀⁠`⁠)⁠。⁠*゚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro