25. Tentang Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesudah menikah, entah menikahnya dalam konteks apa pun pasti akan ada perubahan. Anyelir punya kegiatan pagi yang normal layaknya istri pada umumnya. Ia memasangkan dasi Anggara setiap pukul enam pagi di depan meja makan. Ia pun menyambut kepulangan Anggara di pukul delapan malam. Mereka membiasakan semua kegiatan tersebut demi menjaga imej sebagai pasangan paling bahagia. Rahasia pernikahan cukuplah menjadi rahasia mereka dan kedua orang tua mereka. Orang lain cukup tahu mereka berdua adalah pasangan bahagia.

"Kamu sakit?" tanya Anggara. Ia lantas mengangkat dagu gadis itu.

Anyelir menggeleng. Ia sibuk mengingat-ingat tutorial memakaikan dasi yang sudah dipraktikkannya pada tiang jaket. Nyeri perut ia abaikan sejenak. Semua perempuan pasti merasakan sakit di hari pertama datang bulan. Hal yang sangat amat normal.

"Muka kamu pucat, Nye. Kamu istirahat aja di kamar."

Setelah mengatakan itu, ia mengambil bagian dasi yang masih digenggam Anyelir. Mereka sempat beradu pandang. Lewat bola mata Anyelir yang menyorotkan kebosanan tiada tara, ia tahu jikalau gadis itu pasti menganggapnya sedang berpura-pura peduli. Sayangnya, Anggara malah memang benar-benar peduli. Anggara tak akan membiarkan gadis itu jatuh sakit. Ia tidak ingin ada tambahan rumor lain yang menyebar. Karena sereceh apa pun, rumor akan memengaruhi profilnya di mata publik. Di luar semua itu, sisi kemanusiaannya masih berfungsi dengan baik.

"Benar nggak apa-apa kalau aku masuk kamar lagi?" tanya Anyelir.

Anggara mengangguk seraya memegangi dahi gadis itu. Tidak ada tanda-tanda demam. Entah apa yang membuat wajah ayu itu pucat pasi. Ia mengecup singkat pelipis gadis itu, lalu membiarkannya beranjak. Baru empat langkah menjauh, Anyelir tiba-tiba ambruk. Untung saja, ia menangkap tubuh mungil itu sebelum terkapar di lantai.

"Nye ...," bisik Anggara. "Anyelir?"

Gadis itu tak bereaksi saat Anggara menepuk-nepuk pelan pipinya. Beberapa pelayan tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Sementara ia malah merenungkan sesuatu sambil perlahan mendekap Anyelir. Kekhawatiran mulai merambatinya secepat darah berdesir. Dulu, ia kerap menemukan Arindi jatuh pingsan. Kemudian ia memandangi wajah pucat gadis dalam dekapannya. Anyelir Cokroatmojo sedang tidak bersandiwara. Gadis itu benar-benar pingsan. Gadis itu sakit.

Sakit. Satu kata yang membuat telinganya berdengung seketika lantas tuli, padahal ia bisa melihat jelas, para pelayan bertanya padanya diiringi raut wajah cemas.

Sakit, satu kata juga yang mengingatkannya pada Arindi. Namun, lebih kepada kenangan yang sedih. Karena sakit membuat Arindi memilih pergi bersama malaikat maut ketimbang tetap berada di sisinya.

Kemudian tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia bergegas menggendong Anyelir menuju mobil apa saja yang terparkir di depan teras rumah. Anggara sungguh tak menyukai rumah sakit. Namun, ia harus membawa Anyelir ke sana. Jangan sampai kata terlambat menang darinya. Begitulah yang Anggara pikirkan selama mobil melaju, lantas detik demi detik menggiringnya ke suatu masa.

"Rin, kamu sakit apa?" Anggara bertanya sembari mengusap poni lepek Arindi. Sudah dua kali ia menemukan Arindi tiba-tiba pingsan.

Gadis berambut sewarna pohon mahoni, melebarkan senyum. "Aku nggak sakit, cuma kecapekan aja."

"Benar?"

"Iya, Hadi Ganteng." Gadis itu menyengir lebar sambil mengacak-acak rambut Anggara.

"Kalau kamu lupa, aku punya banyak waktu buat dengerin keluh kesah kamu."

Arindi tak pernah bercerita tentang penyakit yang dideritanya sampai gadis itu kemudian benar-benar terbaring lemah di rumah sakit. Anggara merasa begitu bodoh. Sangat bodoh. Sampai-sampai ia sulit menerima alasan Arindi.

"Aku cuma mau berbagi hal-hal yang bahagia sama kamu. Sesimpel itu," kata Arindi ketika mereka duduk bersampingan di brankar rumah sakit, memandang langit mendung yang bertengger.

Anggara terdiam lama. "Tapi sakit kamu, sedih kamu, juga punyaku, Rin. Harusnya kamu membagi semuanya, karena aku juga begitu ...."

"Maafin aku ya?" Arindi menautkan jemari mereka, tetapi tatapannya kosong mengarah ke jendela.

"Maaf untuk?"

"Nggak bisa menemani kamu lebih lama."

"Kamu ngomong apa sih, Rin? Aku nggak marah sama kamu, aku marah karena terlambat tahu," jelas Anggara lirih, tetapi diiringi penekanan. "Kalau kamu berpikir aku berniat meninggalkan kamu karena hal ini, sampai-sampai kamu memilih nggak menceritakannya. Kamu salah, Rin. Aku bukan laki-laki yang sedangkal itu."

Tak ada satu orang pun yang bisa menerima suatu kehilangan dengan mudah. Baik itu kehilangan sebuah barang-barang sepele, apalagi yang sangat berharga. Anggara merasa kosong begitu Arindi hilang dari muka bumi. Hilang ditelan waktu. Hilang ditelan kabut penyesalan. Berandai-andai itu mudah, tetapi pengandaian tetaplah sebuah harapan kosong.

"Bapak Anggara?"

Anggara mengangkat kepala, lantas bertanya, "Bagaimana keadaan istri saya, dok?"

"Tidak ada masalah yang berarti dengan kondisi istri bapak."

"Bagaimana dengan hasil labnya?"

Jujur, Anggara tak puas dengan jawaban dokter. Oleh karena itu ia berinisiatif membawa hasilnya kepada dokter kepercayaan keluarga. Jangan salah paham, bukan berarti ia melakukan hal ini atas dasar cinta mati kepada Anyelir. Sekali lagi, ia hanya sedang membiarkan sisi kemanusiaannya berfungsi maksimal. Seperginya dokter, ia duduk di samping brankar Anyelir. Sepucat apa pun wajahnya, gadis itu tetap bak Dewi Aphrodite. Entah sudah berapa menit ia mematri paras Anyelir. Bulu mata lentik itu bergerak pelan hingga Anggara menjumpai iris mata yang sewarna miliknya.

"Aku di mana?"

Anyelir mengangkat sebelah tangan, lantas mengernyit karena menemukan jarum infus beserta selangnya di punggung tangan.

"Kamu tadi pingsan. Kita sekarang di rumah sakit," jelas Anggara.

"Kamu ngapain bawa aku ke sini sih?"

Anyelir hendak mencoba duduk, tetapi laki-laki itu menahan bahunya hingga ia kembali berbaring.

"Udah kamu istirahat aja dulu. Kita nggak akan pulang sebelum kamu sehat."

"Anggara, please jangan berlebihan. Aku nggak sakit. Aku cuma lagi datang bulan di hari pertama."

Kini giliran Anggara yang mengernyit. "Datang bulan?"

"Iya, datang bulan. Semua cewek pasti merasakan sakit perut di hari pertama mereka. Udah sekarang kamu panggil suster, aku mau pulang."

Kalau ada orang yang berlebihan tentang rasa sakit, Anggara Hadiarsa Pranadipa adalah satu-satunya. Sekarang laki-laki itu hanya memandangnya dengan tatapan curiga. Namun, Anyelir malas menanggapi dan beranjak turun dari brankar. Ia hendak menggeret tiang infus, tetapi Anggara menghalangi jalannya.

"Benar kamu cuma nyeri karena datang bulan?"

Anyelir mengangkat sebelah alis. "Dokter bilang apa coba?"

"Aku nggak terlalu percaya sama ucapan dokter tadi." Tatapan Anggara sedatar jalan tol, nada bicaranya pun tegas. "Kamu nggak punya riwayat sakit parah?"

"Kamu kenapa sih?" Anyelir memegangi sebelah pipi laki-laki itu. "Kamu nyumpahin aku sakit parah?"

Anggara menggeleng dan rahangnya masih mengeras. "Jawab aja pertanyaan aku."

Anyelir menghela napas bosan. "Aku terlahir sehat dengan tubuh lengkap dan paras cantik." Ia merentangkan kedua tangan, lantas mengibaskan rambut. "Gimana? Kamu bisa lihat keajaiban dunia yang ke delapan nggak?"

***

Dulu, Anyelir pikir keajaiban dunia hanya ada delapan dan salah satunya adalah kecantikan abadi. Namun, fakta itu salah. Karena keajaiban dunia lainnya adalah Anggara Hadiarsa Pranadipa yang menemaninya seharian di kamar sambil mengompres perutnya. Jas slim fit hitam teronggok di sofa kamar, sedangkan kemeja Anggara pun sudah tergulung sampai ke siku dan bagian kancing paling atas terbuka.

"Kamu ... nggak kerja?" tanya Anyelir.

Beberapa malam mereka sudah tidur seranjang. Di beberapa momen pun mereka pernah berciuman. Namun, berada sedekat ini dalam keadaan sadar dan waktu lama membuat Anyelir merasa aneh.

"Menurut kamu?" Laki-laki itu tak menatapnya saat bertanya. Anggara sibuk mengecek alat kompres perut yang tergeletak di atas perutnya.

"Kayaknya nggak usah dikompres lagi deh. Udah enakan kok."

Anyelir hendak menyingkirkan alat kompres, tetapi tangannya ditepis laki-laki itu.

"Sebentar lagi, masih hangat."

Melihat reaksi sang suami kontraknya, Anyelir tertawa tanpa suara. "Yang merasakannya tuh aku, Anggara. Udah deh berhenti bersikap berlebihan. Kamu tadi udah ketemu dokter kepercayaan keluarga 'kan?"

Laki-laki itu mengangguk acuh.

"Terus apa lagi?" tanya Anyelir.

"Cuma mau memastikan kamu benar-benar nggak sakit."

Dahi Anyelir lagi-lagi berkerut. Sungguh, seharian ini Anggara membuat dahinya selalu melipat berkali-kali lipat. "Kamu kedengeran kayak suami yang takut istri tercintanya sakit."

Dua sudut bibir laki-laki itu tertarik seiring beranjak dari sisi Anyelir, menuju pintu kamar. "Ya bagus dong."

Maafkan segala ketidakjelasan dalam bab ini ya, Ndro ( ꈍᴗꈍ). Dikarenakan Anggara dan Anyelir lahir tanpa outline yang paten kayak Cakra-Kenanga, dia jadi rada mengawang-awang di atas awan Ndro wkwkwk. Makasih udah mampir ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro