26. Ketidakjelasan Satu Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua tak kan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekadar indah
Kau tak akan terganti

_Marcell_

Anggara sengaja membuka pintu kamar rawat tanpa suara. Ia berniat mengejutkan penghuninya. Akan tetapi, usai pintu tersebut terbuka. Sosok gadis yang berdiri menghadap jendela besar bertirai transparan justru memakunya di tempat. Arindi menangis tanpa suara. Sweater rajut berwarna merah yang membungkus tubuh mungil itu kontras dengan mendung pada wajahnya. Tak kasat mata, tetapi cukup mendominasi. Begitulah kira-kira cara menggambarkan sendu yang berembus menerpa Anggara bertubi-tubi ketika masuk.

Pagi ini Anggara membawa canele, fonograf, beserta piringan hitam pesanan gadis itu. Seperti janjinya jutaan hari lalu, ia tak akan pernah meninggalkan Arindi bersama semua kesedihan dan rasa sakit sendirian. Ia pun akan melakukan apa saja demi menjumpai segaris senyum milik Arindi. Karena mereka adalah dua keping hati yang akan mati bila yang satunya mati. Bilamana kekasih hati diumpamakan sebagai belahan jiwa dan separuh nyawa, maka itu benar adanya.

Arindi Gabriella Jansen adalah segalanya bagi Anggara Hadiarsa Pranadipa. Tidak gugusan bintang, tidak juga benang takdir Revan Juwita, bahkan Julia Pranadipa yang dapat memisahkan mereka. Terkecuali kematian dan Anggara bersedia berdiri di samping Arindi sampai langit terbelah. Jikalau malaikat kematian bisa diajak bergulat di ring tinju, maka Anggara akan bersuka cita mengajaknya. Sayangnya perumpamaan bodoh itu memang hanya akan jadi sebatas perumpamaan.

Anggara tak mengerti kenapa takdir hadir dalam bentuk yang tak masuk akal. Ia tak pernah peduli dan tidak paham apa itu cinta. Namun, takdir membuatnya jatuh bertekuk lutut pada satu nama. Sayangnya takdir juga yang hendak merenggut paksa satu nama itu. Kenapa? Kenapa harus Arindi yang terkurung di rumah sakit ini dan kenapa tidak ada yang lain selain Arindi?

Atas nama semesta beserta isinya, ia sungguh tak bisa berpaling. Jikalau boleh, ia ingin bertukar posisi dengan Arindi. Apakah benar cinta tanpa logika itu bisa diwariskan? Kalau iya, berarti sungguh sebuah kesialan luar biasa karena terlahir dari garis keturunan Adriaan van Denveer.

"Goedemorgen, Juffrouw* Arindi Gabriella Jansen," (*Selamat pagi, Nona Arindi Gabriella Jansen) ucapnya seraya berjalan mendekati Arindi. Gadis itu nampak terkejut dan segera mengusap wajah. "Saya Hadi dari bengkel patah hati. Apa ada yang bisa saya perbaiki? Barusan saya mendapat telepon jikalau Anda malas sarapan pagi."

"Goedemorgen, Meneer Hadi Pranadipa," sapa Arindi seraya berbalik. "Hati saya rusak karena kemoterapi. Bisakah Anda memperbaikinya?"

Anggara mengulas senyum tipis. Menunjukkan kesedihan di hadapan gadis itu sama saja dengan menggoreskan pisau pada luka yang menganga. Ia menjulurkan tangan, membuka kelima ruas jari.

"Maaf, Juffrouw. Saya tidak bisa memperbaiki hati Anda, tetapi saya bisa menemukan tawa Anda yang menghilang pagi ini."

Gadis itu tertawa kecil, lantas ikut menjulurkan tangannya. Mengisi ruas Anggara yang kosong, menautkannya dengan sisa-sisa tenaga. Begitulah cara sederhana mereka untuk saling menguatkan.

"Bagaimana Anda bisa begitu yakin?" tanya Arindi yang memerhatikan tautan jemari mereka bak anak kecil melihat mainan baru.

"Barusan Anda tertawa, Juffrouw."

"Oh ya, Anda benar. Terima kasih sudah menemukan tawa saya."

Anggara menarik gadis itu, merengkuhnya pelan karena takut menyakiti. "Rin, jangan pernah nangis sendirian," bisiknya sembari mengusap punggung gadis itu penuh kasih. "Bahuku siap kapan aja."

Setelah itu Arindi membenamkan wajah di bahunya. Sekian detik terlewat tanpa suara, lama-lama sebelah bahunya terasa basah.

"Aku ... aku sebenarnya nggak mau nangis di depan kamu," tutur Arindi di bahunya.

"Kenapa nggak mau?" Anggara bertanya tanpa berhenti mengusap kepala gadis itu. "Kamu tetap perempuan terhebat buatku, Rin."

Arindi melepas pelukan mereka. Gadis itu menyunggingkan senyum optimis yang selalu membuat Anggara merasa bangga. "Lusa aku akan menjalani operasi pertamaku. Gimana kalau kita bicara soal masa depan?"

Meski sesungguhnya tak menyukai topik masa depan versi Arindi, ia tetap mengangguk. Mengikuti ke mana gadis itu mengajaknya. Mereka cukup lama memandangi langit mendung yang membentang tanpa melepaskan tautan jemari.

"Sejak semalam aku resmi meninggalkan dunia arsitektur," ucap Arindi dengan nada riang yang terasa sangat palsu di telinganya. "Akhirnya aku berani mengubur cita-cita jadi arsitek perempuan nomor satu."

"Kenapa?" tanya Anggara tanpa beralih dari langit mendung. "Kamu bilang dunia kamu lebih luas dari Eropa, lebih keren dari Indonesia. Kenapa kamu mau meninggalkan semua itu?"

"Karena hari ini kita akan membicarakan tentang masa depan kamu."

"Selalu ada kamu di dalamnya," sahut Anggara.

Hening yang cukup menyiksa lagi-lagi menjadi atmosfer di sekitar mereka. Sampai suara serak Arindi kembali terdengar.

"Anggara Hadiarsa Pranadipa," panggil Arindi lagi-lagi dengan suara riang yang tidak ia sukai. "Kelak kamu akan menjadi laki-laki paling hebat dan kelak, akan ada perempuan hebat juga yang mendampingi kamu."

"Kenapa kamu nggak menyebut dirimu sendiri?" Anggara tanpa sadar mengepalkan tangannya di dalam saku celana.

"Aku nggak mau memberi harapan dan berharap."

"Kalau begitu, kenapa kita harus membicarakan hal ini? Aku bawa canele kesukaan kamu, piringan hitam, dan fonograf."

Anggara hampir berbalik mengambil barang-barang tersebut kalau saja gadis itu tidak menahan lengannya. Mereka saling bertukar pandang dan pecahnya tangis Arindi berhasil meninjunya telak berkali-kali. Ia merasa sangat kalah karena air mata yang menjatuhi rahang gadis itu tanpa henti.

"Hadi, ada banyak hal di dunia ini yang nggak berjalan sesuai rencana dan harapan kita. Bukan berarti kita harus kecewa dengan semua itu, karena semuanya tercipta sepasang. Termasuk sebuah pilihan. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu jadi orang keras hati yang melawan takdir. Aku mau kamu tetap jadi Anggara Hadiarsa Pranadipa yang kukenal ...."

"Kamu ngomong apa sih, Rin?"

"Hadi, dengerin aku." Arindi kini memegangi sebelah pipinya. "Dunia kamu harus berjalan dengan atau tanpa aku. Jangan pernah sia-siakan perempuan manapun yang akan mendampingi kamu."

Anggara menggeleng keras, menurunkan tangan kurus itu dari pipinya. "Satu yang harus kamu tahu, Rin. Cuma ada kamu, kamu, dan kamu. Selamanya kamu! Apa pun yang terjadi!"

"Hadi!" panggil Arindi dengan suara yang bergetar. Ia berhenti di depan pintu, tetapi enggan berbalik. Ia tak sanggup melihat gadis itu menangis. "Kamu yang bilang kita harus bisa melewati ini!"

"Melewati ini bersama-sama, Rin." Anggara mencengkeram kuat-kuat gagang pintu. "Bukan aku atau kamu yang sendirian!"

"Waktuku nggak sebanyak itu untuk menemani kamu, Hadi. Ik hou van je ...."

Alih-alih mengambil barang-barang yang ditinggalkannya di depan kamar rawat Arindi. Ia justru pergi dari rumah sakit untuk menenangkan pikiran. Seharusnya, kalau saja waktu bisa berbicara tepat waktu. Kalau saja Anggara tidak segegabah itu. Mungkin ia tak akan pernah merasakan penyesalan terhebat sepanjang masa.

"Pa, Arindi baik-baik aja 'kan?" tanya Anggara tanpa basa-basi setelah berlari pagi-pagi buta menyusuri koridor.

Selain karena ingin menenangkan diri, Revandio Pranadipa pun membutuhkan kehadirannya dalam rapat pelik via Skype untuk keberlangsungan perusahaan keluarga mereka. Hingga ia tak dapat kembali saat Arindi memasuki ruang operasi.

"Kemarin saya meninggalkan Arin di kamar rawat. Kami berdebat sedikit, tapi sekarang saya mau minta maaf sama Arin," jelas Anggara.

"Hadi." Meneer Jansen menahan sebelah bahunya. "Terima kasih banyak telah menjaga putri saya."

"Operasi Arin berhasil 'kan, Pa?"

Meneer Jansen terdiam lama. Merasakan sesuatu yang tidak beres dari gelagat ayah keduanya di Amsterdam. Anggara memilih melewati pria itu.

"Permisi, Pa."

Anggara menerobos masuk ke kamar di mana selama ini Arindi menghabiskan waktu. Ia tahu yang tengah para suster tutup itu pasti tubuh kaku kekasih empat tahunnya. Akan tetapi, Anggara tetap menampik fakta yang ada.

"Sus, jangan ditutup. Arin nggak bisa napas nanti," katanya dengan sudut mata yang sudah basah.

"Hadi?"

Mevrouw Jansen yang wajahnya sembab dan banjir air mata menoleh. Kemudian wanita itu menghambur memeluknya.

"Arin sudah tenang dan nggak merasakan sakit lagi. Terima kasih ya, Nak. Terima kasih sudah menjaga Arin."

Anggara melepas pelukan wanita itu. "Saya minta izin ajak Arin ke rooftop ya, Ma."

Perlahan ia menarik kasar selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu. Anggara tidak tahu bagaimana rasanya jantung tertancap peluru. Namun, mungkin rasanya sama seperti saat melihat Arindi tak bernyawa. Sebab separuh nyawanya pun ikut pergi bersama gadis itu.

"Rin ... kamu masih mau ke rooftop 'kan? Kemarin aku kalah sama emosi dan belum sempat bilang ini." Anggara meraih tangan dingin gadisnya. "Rin, ik hou van je. Itu sebabnya aku enggak mau ngomongin hal kemarin." Ia mengecupi jemari Arindi berkali-kali. "Ik hou van je, Rin. Ik hou van je. Kamu denger 'kan?"

Lima detik yang terlewat penuh kebodohan. Anggara akhirnya menyadari bahwa inilah bentuk penyesalan terhebat sepanjang masa. Ia melepas tangan Arindi lalu membenturkan kening berulangkali ke dinding.

"Arin bilang gue harus bisa jalan sendiri. Arin bilang gue akan baik-baik aja. Arin bilang gue hebat," racaunya seraya membenturkan kening ke dinding tanpa henti.

Sambaran petir memaksa mata Anggara terbuka. Ia tersadar dari mimpi panjang tentang Arindi. Mimpi aneh yang mengulang kembali hari paling berat baginya. Ia melirik gadis yang menemani tidur malam ini. Anyelir masih terlelap memeluk guling. Posisinya seperti biasa, hampir berada di pinggir ranjang. Ya, mungkin hanya Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo yang nampak memilih jatuh ke lantai ketimbang jatuh ke pelukannya. Anggara segera menenggak obat tidur yang sengaja diletakkan di atas nakas.

"Nye," panggilnya seraya menggerakkan telapak tangan di depan wajah Anyelir.

Gadis itu masih bergeming. Napasnya begitu teratur. Anggara melirik jam dinding kamar yang menunjukkan pukul 02.00 pagi. Kemudian ia menarik pelan guling di pelukan Anyelir sampai terlepas. Tanpa sebuah alasan pasti, ia pun menarik gadis itu ke dalam dekapan. Di antara suara hujan deras, Anggara mengubur wajahnya dalam helaian rambut gadis itu. Mencoba mencari sisa-sisa kedamaian yang tak pernah dicarinya dengan cara seperti ini.

Cuma Anggara yang bisa begini. Tidur manggil siapa, bangunnya meluk siapa, batin Anyelir yang sebenarnya berpura-pura tidur.

Anyelir berusaha keras menahan napasnya supaya terlihat teratur. Sementara aroma tubuh laki-laki itu adalah satu-satunya yang ia hirup, sebab hidungnya menempel tepat di dada Anggara. Seperti malam-malam sebelumnya, ia memerhatikan gerak-gerik Anggara tidur. Baru malam ini laki-laki itu melakukan hal di luar dugaan. Meskipun begitu, Anyelir justru memilih tak berkutik hanya karena kasihan pada pola tidur Anggara.

Ya, Anyelir hanya kasihan pada pola tidur Anggara yang menyedihkan. Kalau ia bergerak, laki-laki itu pasti terbangun. Bukan masalah besar 'kan? Ia hanya merasa kasihan. Tolong dicatat yang satu itu. Kasihan.

Suara petir yang membelah langit membuat Anyelir terkejut dalam kepura-puraan. Punggungnya lantas menegang selama sedetik. Tak lama Anggara mengusap-usap punggungnya dan berbisik, "Ssstt ... bangunnya besok aja, masih malam."

Anyelir tak pernahtidur dalam pelukan laki-laki manapun terkecuali mendiang Wayan Randu. Sang Kakak tercinta. Entah Anggara menyadari kepura-puraannya atau tidak. Namun,usapan dan kalimat tadi bagai mantra yang ujung-ujungnya menenggelamkan Anyelir dalam kantuk tak terelakkan.

***

Komen NEXT di sini buat yang mau absen ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro