5. Di Antara Magenta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir menyeret kakinya menuju bibir pantai. Matahari tampak menyembul malu-malu di ufuk timur. Angin yang menerpa, membawa keseluruhan rambutnya ke belakang. Ia tak memedulikan butiran pasir kasar yang menempel pada telapak kaki. Begitu ombak mulai menjilati jemari kaki, ia terus berjalan dengan mata terpejam. Dinginnya udara serta air laut seketika membunuh rasa sakit yang gadis itu bawa dari vila.

Kak Randu ... bagaimana rasanya dipeluk Shanghyang Widhi?

Gadis itu melepaskan sekuntum Kamboja dalam pelukan tanpa membuka mata. Namun, air matanya kini luruh bersama jatuhnya kelopak bunga Kamboja kedua. Wayan Randu merupakan kakak laki-laki Anyelir yang meninggal karena kecelakaan ketika masih berusia 12th. Semua orang terlambat menyelamatkannya, termasuk dokter. Hari-hari tanpa kehadiran Randu terasa begitu berat, terutama saat di sekolah. Terlahir sebagai anak yang tidak memiliki asal-usul bapak yang jelas membuatnya dirundung setiap hari.

"Kata ibuku anak yang lahir tanpa Bapak itu anak kutukan, bawa sial!"

Semua nestapa hari-hari Anyelir di sekolah dimulai dari satu seruan itu. Gadis itu akhirnya bolos sekolah selama berhari-hari karena kehilangan Randu, sang malaikat penjaga. Bagaimana ia bisa pergi ke sekolah yang menyiksa itu tanpa Randu di sampingnya? Bagaimana cara menutup mulut mereka semua? Anyelir kecil selalu berpikir seperti itu.

"Anak Mama yang paling cantik, kenapa harus takut keluar rumah?" tanya Mama di suatu siang.

"Mereka nggak suka sama Anye, katanya Anye bikin sial."

Mama merentangkan kedua tangan dan Anyelir menyambutnya. "Semua suka Anye, semua sayang Anye." Mama selalu menjawab seperti itu sembari mengusap punggungnya.

Mungkin benar, perkataan seorang ibu serupa doa. Setelah beranjak dewasa dan menyandang nama Cokroatmojo, semua orang menyukainya. Setidaknya kelihatan seperti itu di depan Anyelir. Meskipun di belakang sana gadis itu tahu sepupu-sepupunya pasti memandang remeh dan mencelanya karena ia dipungut Papa Hermawan. Walau di belakang sana pun semua laki-laki yang mampir hanya berniat untuk bermain-main saja. Anyelir tidak akan membiarkan dirinya terlihat mengenaskan. Ia cantik dan punya uang, bahagianya cukup sampai di sana.

"Anyelir!"

Senyum jail Anggara sulit menghilang sejak menemukan sosok Anyelir yang menenggelamkan separuh kaki. Gaun tidurnya diterpa angin dan ombak secara bergantian. Ya, seperti sudah direncanakan sangat apik, omong-omong vila mereka hanya berjarak lima langkah. Konyol 'kan? Konspirasi antara bapak-bapak gila saham dan ibu-ibu gila menantu memang sulit dihindari. Nah, mereka berdua adalah korban yang harus saling menguntungkan satu sama lain.

Anggara merogoh ponsel di saku celana, lantas mengarahkannya ke Anyelir. "Seorang Anyelir Cokroatmojo pagi-pagi buta ke pantai. Kira-kira apa yang mau dia lakukan tanpa bikini?"

Anggara merekam dan berjalan mendekati Anyelir yang membelakanginya. Namun, senyum lebarnya menyusut ketika melihat jelas gadis itu menangis dengan mata terpejam. Ia pun mengernyit. Jadi, Anyelir tidak menyadari kehadirannya sejak tadi?

"Nye, kaki kamu berdarah?" Anggara terbelalak melihat aliran darah bercampur air, asalnya dari gaun Anyelir. "Anye!" Ia berseru seraya menyentuh bahu gadis itu.

"Anggara?" Suara Anyelir terdengar serak. Matanya yang merah menatap Anggara keheranan. "Kamu ...."

Anggara berdecak karena respons gadis itu. Ia berjongkok mengangkat gaun Anyelir. Darah tersebut benar-benar mengalir dari kaki Anyelir. Ini bukan halusinasi atau sebatas salah lihat. Bagaimana bisa Anyelir diam saja membiarkan kakinya membusuk dalam air laut?

"Kamu habis ngapain sampai begini?" tanya Anggara tak sabaran.

"Kamu yang ngapain kali!" Anyelir menarik gaunnya kasar.

Belum sempat melontarkan makian, laki-laki itu tiba-tiba menggendongnya. Kini matahari telah menampakkan diri sepenuhnya di ufuk timur. Anyelir dapat melihat jelas hidung bangir dan iris cokelat milik Anggara.

"Turunin aku, Anggara!" Anyelir menggeliat. Ia memukul-mukul dada laki-laki itu.

"Diam, nanti kamu jatuh." Anggara menjawab datar, pandangannya lurus ke depan.

Sedetik kemudian bokong Anyelir mencium mesra permukaan pantai. Butiran pasir menempel di kedua lengannya. "Kamu gimana sih? Gendong yang bener dong!" jeritnya seraya melayangkan tatapan garang.

"Tuh kan, kamu jatuh."

"Telat!"

Anggara menghela napas pendek lalu berjongkok dengan satu kaki ditekuk. "Gimana? Sandiwara babak satu mau dilanjut nggak?"

Anyelir meniup kasar helai rambut di dahi. "Sandiwara apa?"

"Kalau bodyguard kamu ngerekam adegan ini, kamu bisa bikin sepupu-sepupu kamu bungkam." Anggara menyeringai.

Cowok ini udah tahu latar belakang gue sebanyak apa?? batin Anyelir menjerit bersama matanya yang ikut membulat.

Kali ini Anyelir memeluk leher Anggara ketika laki-laki itu berhasil menggendongnya lagi. Entah sudah berapa kali ia menyetujui laki-laki itu tanpa pikir panjang. Apa bolos kuliah berminggu-minggu membuatnya semakin bodoh?

"Good girl."

Anggara tersenyum sekilas, lalu mereka melewati jajaran pohon kelapa menuju vila. Sesuai dengan kesepakatan makan malam kemarin, mereka akan lebih dulu bertunangan dan menikah tiga bulan kemudian. Laki-laki itu secara sukarela mengurus masalah kuliah Anyelir yang berantakan bak kapal pecah. Setelah menikah, rencana keduanya mereka akan tinggal di Yogyakarta sementara waktu barulah pindah ke Sulawesi.

Rencananya, tolong digaris bawahi ini. Bisa saja 'kan mereka gagal menikah?

"Hati-hati, ya, Anggara," ujar Anyelir.

"Kamu yang hati-hati, Anyelir."

"Hati-hati untuk?" Anyelir mematri iris kecokelatan milik Anggara Hadiarsa.

"Hati-hati untuk tidak saling jatuh cinta."

Satu sudut bibir Anyelir tertarik. "Kenapa? Kamu takut?"

Anggara berhenti berjalan, lalu menunduk. Ia mencoba menemukan sesuatu dalam sorot mata gadis itu. "Saya memperingati kamu."

"Oh, gitu ... terima kasih ya sudah mengingatkan aku," ejek Anyelir.

Memangnya siapa dia? Jatuh cinta itu adalah bagian dari kepalsuan mutlak di mata Anyelir. Jajaran mantan kekasihnya tidak pernah berhasil mewujudkan dua kata sakral tadi. Dapat Anyelir pastikan kalau seorang Anggara Hadiarsa Pranadipa juga mustahil berhasil. Tidak ada lagi pembahasan setelahnya. Sisa perjalanan mereka akhirnya dihabiskan bersama sinar mentari pagi dan bara api dalam dada masing-masing.

***

"Anyelir kenapa Mas?"

Hermawan Cokroatmojo menyambut Anggara usai pintu utama terbuka lebar-lebar. Raut kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya, tetapi Anggara berani bertaruh kalau pria itu menarik senyum lebar di balik topeng kepolosan. Jangan-jangan darah pada kaki Anyelir tadi pun merupakan bagian dari konspirasi lainnya? Padahal ia sungguhan bersimpati terhadap si bunga beracun.

"Kaki Anyelir terluka, Pak. Dia nggak pakai alas kaki juga, jadi saya minta maaf karena—"

"Oh, nggak usah minta maaf, Mas." Hermawan menoleh pada sang istri yang tengah meremas-remas jemari. "Ma, antar Mas Angga ke atas."

Anggara menghela napas tak kentara. Ia berharap tak ada lagi drama. Bobot Anyelir ringan, tetapi perjalanan mereka sudah cukup panjang. Belum lagi jika harus ditambah menaiki tangga.

"Ruang tamu di mana?" Anggara berbisik di telinga gadis itu usai melirik ke kanan dan kiri.

Mata mereka beradu pandang. "Papa bilang 'kan ke kamar aku. Tuh, kamar yang kedua di lantai atas," bisik Anyelir.

Belum sempat menyahut, Seruni menepuk bahu Anggara. "Ayo, saya antar, Mas. Maafkan Anyelir ya, jangan diambil hati. Kadang-kadang dia suka seenaknya."

Anggara mengangguk sopan seraya berkata dalam hati, anak perempuan macam begini mending ditukar flat shoes, Bu.

"Apa sih, Ma? Orang dia yang sukarela." Anyelir sengaja mengayunkan kedua kaki secara bergantian saat mereka menapaki anak tangga ke tiga. Seketika Anggara menatapnya tajam.

"Yang sopan dong, Sayang," jawab Seruni yang mengekori Anggara. Ia menggeleng pelan melihat kaki Anyelir yang bergerak secara bergantian.

Anyelir tak peduli dan tetap mengulas senyum. "Maafin Anye ya, Mas?" ucapnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Kuku berhias nail art paripurnanya berhasil menancap di leher Anggara.

Seketika laki-laki itu melotot. "Iya, Mas maafin." Suara Anggara terdengar sangat lembut, berbanding terbalik dengan rahangnya yang terlihat mengeras.

Habis kamu nanti. Kira-kira begitulah maksud gerakan bibir Anggara.

Siapa takut? Anyelir ikut menggerakkan bibirnya sambil melotot.

"Duh, hati Mama langsung hangat nih kalau lihat anak muda lagi kasmaran." Seruni memegangi dadanya dengan mata terpejam. "Jadi nggak sabar sama pernikahan kalian."

Usai Anggara membaringkan sang tuan putri, para pelayan meletakkan kotak P3K dan sebaskom air hangat di atas nakas. Seruni meninggalkan mereka berdua bersama senyum lebar yang niscaya dapat bertahan sampai tiga hari kemudian. Anggara menarik kedua kaki Anyelir ke pangkuan, lalu mulai membersihkan telapak kaki gadis itu dengan kapas. Baiklah, kapan lagi seorang Anggara Hadiarsa jadi pelayan 'kan?

Gadis itu tak melontarkan protes sama sekali atas perlakuannya. Anggara menyelupkan kapas ke dalam baskom berisi air hangat, lantas menempelkannya pada telapak gadis itu. Ia mengernyit kala menemukan sisa pecahan kaca yang menyangkut di sana. Tangannya buru-buru mengobrak-abrik kotak P3K, mengambil sebuah pinset.

"Kamu habis ngapain, Nye? Kok bisa begini? Besok aku kirim sandal jepit satu truk ya ke sini," ujar Anggara yang memencet telapak kaki gadis itu supaya mudah mengambil pecahan kaca.

"Sakit, Anggara!" jerit Anyelir. "Kamu niat ngobatin atau nggak?" Ia memukul laki-laki itu dengan guling.

Anggara tetap di posisinya, tidak terusik sama sekali. "Nih lihat, kaca kayak gini bisa bikin kaki kamu dioperasi." Ia menahan tangan Anyelir, kemudian mendekatkan pinset ke wajah gadis itu.

"Aku tahu kok." Anyelir berupaya menarik kakinya, tapi ditahan Anggara.

"Ini kaki kanan plesteran begini." Anggara menyentuh kaki kanan gadis itu, menggerakkannya ke kanan dan kiri. "Kena pecahan kaca juga?"

"Nggak ada yang sempurna di dunia ini termasuk kaki Anyelir Cokroatmojo, oke? Aku bisa bersihin luka sendiri kok, kamu pulang sana." Anyelir beranjak ke tepi kasur. Ia memangku sebelah kakinya.

Anggara tertawa kecil bersama kerutan di dahi. "Kamu lucu."

"Sorry, di sini nggak ada badut ya, Anggara."

Selanjutnya Anggara hanya memerhatikan gadis yang sibuk mengobati telapak kaki. "Saya pikir kamu cewek manja yang gampang nangis."

"A-k-u." Anyelir mengoreksi sebutan yang Anggara pakai. "Tolong dibiasain dong, kupingku gatal dengarnya. Saya, saya, saya!"

"Kalau begitu kamu juga harus panggil nama saya yang benar. Umur kita beda enam tahun."

"Hmm ... iya, Mas Anggara." Anyelir memasang wajah menahan mual, lantas membungkus telapak kakinya dengan perban.

"Aku suka dengarnya."

Anyelir mengangkat kepala, mata mereka bersirobok. "Kok aku malah tambah mual ya?"

Tanpa sadar Anggara mengacak puncak kepalagadis itu bersama derai tertawa. Ada sesuatu yang mengurungkan niatnya untuksegera pergi dari kamar bercat dan berisi barang-barang berwarna ungu ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro