1. Huwelijksfeest (Pesta Pernikahan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Filosofi cinta dalam setengah sendok teh,

dan dalam setengah sendok teh kita temukan rasa itu. Menjadi secangkir dari rasaku dan rasamu..

Di penghujung senja, tempatmu biasa menantiku. Kemudian di ufuk timur, tempatku biasa menjemputmu.

Surya tidak terbit di sisimu. Pun tidak terbenam di sisiku. Meski kita bernaung di dalam cakrawala yang sama..

Dariku, masa yang tidak memiliki detik bahkan batas.

Revandio Pranadipa, seringkali ia benci berada di keramaian. Menjadi pusat perhatian orang. Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah pesta pernikahan ayahnya. Revan tidak bisa melarikan diri, kecuali ia ingin dianggap anak durhaka dan tidak tahu balas budi. Sejujurnya, Revan tahu, sangat tahu. Perempuan yang memegang koktail red wine di depan sana. Boleh jadi sebenarnya lebih ingin melempar koktail itu ke wajah Revan daripada meminumnya.

Lydia Fransisca, satu-satunya putri dari Paramitha. Mereka beberapa kali bertemu di acara jamuan makan malam keluarga. Dan dinner terakhir berujung pada Lesmana Pranadipa dan Paramitha yang mengumumkan tentang pelaksanaan pernikahan mereka. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya, karena baik Revan maupun Lydia sudah membaca tujuan itu.

"Kita harus membatalkan pernikahan itu," kata Lydia ketika acara makan malam usai. Di meja hanya menyisakan mereka berdua yang duduk bersebelahan.

Jadi posisi makan yang ayahnya ciptakan seperti ini, Revan duduk berseberangan dengan Paramitha lalu Lydia duduk berseberangan dengan Lesmana. Alasannya klasik, supaya lebih cepat berbaur dan akrab.

"Kenapa?" tanya Revan.

"Kok kenapa sih? Ya, memangnya lo mau berbagi harta warisan?" Lydia menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Aneh. Justru lo yang lebih cocok mengadakan pesta pernikahan."

Senyum tipis Revan tersemat. "Terus lo mengajak gue membatalkan itu supaya kita yang menikah?"

Lydia meliriknya sebelum mendengus. "Oh iya, gue lupa kalau lo punya tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata manusia normal."

"Gue enggak bergantung hidup sama harta warisan." Revan mengangkat sebelah tangannya menyentuh kepala Lydia. "Relakan aja kebahagiaan mereka ya, Adik kecil."

Lydia menepis tangan Revan, seolah-olah tangan itu mengandung racun berbahaya. "Sinting!" Kemudian pergi melangkahkan kaki dengan hentakan.

Setelah itu mereka hanya bertemu lagi saat fitting gaun dan jas. Sampai akhirnya pernikahan itu dilangsungkan di sebuah taman dengan dekorasi garden party. Waktu dilangsungkannya pesta pernikahan juga di pukul lima sore. Sangat khas kaula muda kan? Revan dan Lydia hanya mampu tersenyum penuh makna untuk hal itu.

Ketika Revan kembali menatap Lydia, ia melihat adik tirinya tengah memeluk erat seorang wanita. Teman yang paling dekat dengan Lydia mungkin, karena pesta ini hanya dihadiri oleh rekan kerja dari Lesmana Pranadipa dan Paramitha saja. Kisaran umurnya tidak mungkin di bawah 40th. Wanita itu melepas pelukannya pada Lydia. Namun Revan tidak melepaskan pandangannya hingga wanita itu berbalik. Dia mengenakan dress atas lutut berwarna putih yang senada dengan Lydia. Potongan di depannya lebih pendek, lalu menyisakan ekor di belakangnya.

Tapi wanita itu jelas tiga kali lipat lebih mudah mencuri perhatian orang. Dari bentuk wajah, rambut cokelat bergelombang yang membingkai wajah, dress yang membalut tubuhnya, hingga high heels yang mempercantik tungkainya. Ketika mata mereka bertemu pandang, Lydia membawa wanita itu berjalan menghampirinya.

Kali ini Revan membenarkan, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Sosok dara jelita keturunan Nederlander dalam deja vu selama masa SMA-nya, detik ini hadir sebagai teman dekat Lydia Fransisca. Hanya saja potongan rambutnya yang berbeda. Gila, psikiater yang sempat didatanginya beberapa kali pasti salah memberi diagnosa bahwa ia sudah sembuh. Revan seperti tidak dapat membedakan antara dunia nyata dan dunia khayal.

Revan masih belum dapat melupakan bayang-bayang Fleur Jansen sampai detik ini. Gadis itu terasa seperti bagian dari dirinya sendiri. Padahal jelas-jelas Revan sadar, Fleur Jansen hanya sebentuk keindahan yang semu.

***

Sekian detik. Mata mereka terpaut hingga Juwita merasa orang-orang yang ada di sekitarnya melebur bersama angin. Pria itu... Mirip dengan pria dalam deja vu yang belakangan ini dialaminya. Revandio Pranadipa benar-benar duplikat dari Adriaan van Denveer, yang membedakan mereka hanya pakaiannya saja. Juwita mengingat jelas itu, karena setiap deja vu yang ia alami terlalu begitu nyata.

"Oh ya, itu Kakak tiri gue." Lydia menarik tangannya.
Juwita bergeming.

"Kenapa, Ta?"

Juwita menjatuhkan tatapannya pada high heels yang membalut kakinya. Bagaimanapun, Juwita harus bersikap senormal mungkin dan melupakan deja vu yang belakangan ini dialaminya. Ini adalah dunia nyata, rapalnya dalam hati.

"Iya? Oh.. Itu yang namanya Revan." Lantas memaksakan sebuah senyuman sebelum mengikuti Lydia.

"Hati-hati. Dia lebih bahaya dari sate kambing yang dikonsumsi berlebihan. Darah tinggi lo bisa naik dalam tiga detik karena ngobrol sama dia."

Kali ini Juwita memaksakan tawa hambar. "Iya, lo udah cerita berulang kali."

Seiring dengan jantungnya yang berdegup aneh. Juwita menangkap sepasang sepatu tepat di hadapannya. Begitu mengangkat kepala, ia menemukan tatapan lembut milik Adriaan van Denveer di sana. Bukan tatapan menusuk yang memporak-porandakan batinnya beberapa menit lalu.

"Ta, kenalin ini Revan." Ucapan Lydia berhasil menyadarkannya.

Juwita mengulurkan sebelah tangannya. "Juwita." Lalu tersenyum senormal mungkin.

"Revan," ujar laki-laki itu singkat. Tidak lama mereka saling berjabat tangan. "Terima kasih sudah datang," katanya lagi.

Tatapan lembut milik Adriaan tadi berganti secepat kilat menjadi tatapan datar tanpa minat. Kemudian pria itu pergi meninggalkan mereka begitu saja.

"Lihat? Dia beneran nyebelin bahkan dari caranya menatap orang lain, sumpah!"

Juwita tidak membalas gurauan sahabatnya. Matanya justru mengikuti punggung Revandio Pranadipa hingga menghilang di balik kerumunan.

Jelas sangat berbeda, Adriaan van Denveer hanya hidup dalam deja vu. Sementara dia, Revandio Pranadipa, laki-laki nyata yang hidup menghirup oksigen di dunia fana ini. Wake up! Wake up!

Juwita berdecak pelan karena jeritan hatinya sendiri.

***

Revan berhenti melangkah, tiba-tiba orang yang berlalu-lalang di sekitarnya lenyap begitu saja. Taman yang tadinya berhiaskan lampu-lampu menawan ditambah dekorasi vas bunga besar. Berubah menjadi sebuah pekarangan luas dengan cahaya temaram dari lampu jalanan khas abad ke-20. Serta musik jazz yang menjadi teman para tamu menikmati kudapan macaroon dan wafle ice cream menguap entah ke mana. Justru suara jangkrik yang lebih mendominasi di sini. Bahkan jas keluaran desainer ternama yang ia kenakan berganti menjadi jas kuno era kolonial.

Lantas diangkatnya sebelah tangan dengan mata terpejam. Revan memijat batang hidung supaya deja vu yang kambuh ini segera lenyap. Ketika kembali membuka mata, ia masih terperangkap di tempat yang tidak seharusnya.

Gelap kembali menyergap, sebab kedua telapak tangan yang selembut sutra menutupi kelopak matanya. Disusul suara khas yang menggelitik indra pendengaran.

"Adriaan, Ik vinden je ...," bisik gadis itu di samping telinganya.

Harum mawar yang memikat itu dihirup dalam-dalam, efeknya selalu sama. Memberi letupan-letupan menyenangkan di dalam sana. Ia tidak pernah bisa lepas dari jeratan yang berhasil mencengkeram jiwa dan raganya. Gadis itu sudah merebut segalanya, hingga ia hanya bisa jatuh bertekuk lutut.

"Ik mis je."

Bahkan lidahnya bisa dengan mudah mengungkapkan kalimat semanis madu bila gadis itu di sampingnya.

"Ik mis jou ook, Mijn schat," bisik gadis itu lagi.

"Mijn schat?" ulangnya.

"Ja, jij bent mijn vriendje."

"Aku ingin lebih," candanya.

Perlahan Revan menyingkirkan tangan itu dari wajah dan berbalik. Matanya langsung disuguhkan pemandangan sosok gadis Nederlander bergaun merah. Bahu mungil yang telanjang itu berhiaskan rambut ikal panjang kecokelatan di setiap sisinya. Ya, senyum yang melumpuhkan telak syaraf otaknya hanya dimiliki Fleur Jansen.

"Aku mengikutimu dari dalam sana, tadinya aku berniat memanggilmu," kata Fleur.

Semudah itu senyum Fleur menularinya. "Aku tidak begitu suka keramaian."

"Bagaimana gaunnya?" Fleur menundukkan kepala, mengamati gaunnya yang mengembang. "Tadinya aku tidak ingin memakai ini, karena kupikir kau tidak akan datang ke acara semacam ini."

"Mooi.." Ia menatap sepasang mata cokelat itu lekat-lekat saat bersirobok dengan miliknya.

Fleur tertawa kecil. "Aku suka hadiah gaun darimu."

"Aku senang kau mengenakannya. Selaras dengan yang ada dalam bayanganku saat melihat gaun itu di Nederland."

Semu merah menghiasi pipi yang seputih salju di Nederland. Sayup-sayup terdengar suara musik pengiring dansa dari dalam sana. Pesta pernikahan salah satu anak dari Pejabat ini diadakan hingga tengah malam. Awalnya ia datang hanya untuk menemani ayahnya karena sang ibu sedang kurang sehat. Seperti biasa, ia tidak pernah singgah lama di dalam ruangan pesta yang penuh dengan perbincangan membosankan. Di dalam sana ayah tidak pernah tidak memperkenalkannya kepada seluruh rekan-rekan dari berbagai profesi, tidak lupa juga membanggakannya di depan orang-orang tersebut.

"Adriaan, kau bisa berdansa?"

"Mau diuji?" Lalu ia mengulurkan tangan yang langsung di sambut Fleur.

Membungkukkan tubuhnya, Revan mengecup ringan buku jari gadis itu. Kemudian sebelah meraih pinggang gadis itu, tangannya yang lain menggenggam milik Fleur. Langkah kaki mereka seiring dengan musik di dalam ruangan sana. Di bawah langit malam yang bertabur berlian. Bersama desau angin yang berembus lembut, Fleur melakukan gerakan berputar di bawah tangannya. Hingga gaunnya mengembang lalu helai rambut cokelat yang diikat setengah ke belakang itu jatuh di dahi. Ia tidak memiliki waktu untuk menyingkirkan helai rambut itu karena harus kembali menangkap Fleur.

"Adriaan, kau percaya cinta pada pandangan pertama?" tanya Fleur di tengah dansa mereka.

Revan menggelengkan kepala. "Tapi aku mengalaminya."

Tawa kecil menghiasi bibir mereka.

"Aku juga," ujar Fleur.

Gadis itu kembali melakukan gerakan berputar di bawah tangannya dan ia menarik tubuh gadis itu lagi. Mendekapnya sampai mati, kalau bisa. Disentuhnya dagu gadis yang tengah melebarkan dua sudut bibir merah delima. Membiarkan mata mereka saling terpaut bersama ritme debaran jantung yang menggila. Lantas ia menarik wajah itu pelan sembari menundukkan kepala. Dan ketika bibirnya bersentuhan dengan milik Fleur untuk pertama kali, hatinya telah bersumpah untuk tidak lagi meragu.

Ia tidak pernah menginginkan sesuatu yang lebih dari Fleur Jansen untuk menemaninya di sepanjang hidup.

***

Revandio Pranadipa tiba-tiba muncul di hadapannya setelah sempat menghilang di balik kerumunan. Mereka sempat mematung sampai akhirnya Revan menyunggingkan senyum tipis. Entah kenapa detik itu cara Revan menatapnya seolah menyiratkan bahwa ia adalah satu-satunya yang paling diinginkan. Juwita juga tidak tahu kenapa ia bisa menerjemahkannya. Padahal ia tidak pernah mengenal Revan sebelum ini. Lalu Revan dengan langkah ringan menutup jarak di antara mereka. Sementara Juwita tidak bergerak satu inci pun, otak dan persendiannya lumpuh seketika.

Dengan mudahnya Juwita membiarkan pria itu menyentuh dagunya, menciumnya. Semua mengalir begitu saja tanpa bisa ia hentikan. Juwita tidak mengerti, kenapa ia seperti tidak memiliki raganya sendiri. Harusnya ia memberikan tamparan keras untuk laki-laki yang tengah melumat lembut bibirnya detik ini. Tanpa permisi bahkan sepatah kata pun.

Oh, tapi sungguh sialan Juwita malah mengikuti alur. Matanya terpejam, ia terbuai, jatuh ke dalam jurang yang membuatnya terperangkap.

"Ik hou van je," kata Revan usai menarik wajah.

Juwita mengerjapkan mata, menelaah kalimat dalam bahasa Belanda yang baru saja Revan ucapkan. Ia tahu artinya, karena Juwita memang memiliki darah blasteran Belanda. Hanya saja.. ini sangat tidak masuk akal.

***

* Ik vinden je : Aku menemukanmu
* Ik mis je : Aku merindukanmu
* Ik mis jou ook, Mijn schat : Aku merindukanmu juga, Sayang
* Ja, jij bent mijn vriendje : Iya, kamu pacarku
* Ik hou van je : Aku mencintaimu

24 Januari 2020.

Terima kasih sudah voment :)


Kali aja ada yg mau polow 🤭💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro