2. Ontkennen (Penyangkalan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Plak!

Satu tamparan keras mengembalikan Revan ke dunia nyata. Dua alis tebalnya menukik tajam. Pekarangan rumah pejabat Belanda tadi kembali berubah menjadi taman digelarnya pesta pernikahan sang ayah. Suara musik jazz kembali menggema di telinga Revan. Tidak ada suara jangkrik lagi atau musik klasik yang mengiringi dansanya dengan Fleur Jansen. Gadis di hadapannya bukan lagi Fleur Jansen yang mengenakan gaun merah, tetapi duplikatnya. Wanita bergaun gading selutut. Teman dekat Lydia. Hal mencolok yang menjadi pembeda mereka hanya, Juwita memiliki bola mata hitam pekat dan rambut yang bergelombang bukan ikal. Sisanya benar-benar bentuk kloning dari Fleur Jansen.

"Saya bukan perempuan murahan!" serunya dengan nada tinggi.

Sebelah alis Revan terangkat. "Memang apa yang saya lakukan terhadap kamu?" Ia bertanya dengan nada yang ketus.

Semua orang yang sejak tadi mengelilingi mereka masih bergeming. Seolah-olah Revan dan Juwita adalah tontonan yang paling menarik. Omong-omong Revan juga baru menyadari, sejak kapan ia ada di sini? Bukankah tadi ia hendak melangkah keluar area pesta?

"Barusan kamu cium saya!" seru Juwita.

"Kapan??" Revan tidak percaya dengan penuturan Juwita.

Jujur saja, barusan ia memang mencium-ah, bukan.. Adriaan yang entah ada dalam dimensi mana yang mencium Fleur. Revan hanyalah korban dari deja vu tersebut. Ia tidak melakukan apa-apa selain.. Jalan ke sini tanpa ia sadari mungkin? Selama SMA deja vu itu tidak pernah memberikan efek besar pada apa yang sedang ia lakukan atau kerjakan. Dan Revan bukanlah tipikal laki-laki bajingan yang bisa mencium sembarangan wanita di tempat umum. Ditonton orang banyak. Bukan, itu sama sekali bukan gayanya. Ia tidak mungkin melakukan hal yang sebodoh itu.

Bugh!

Revan memegangi batang hidungnya yang baru saja menjadi sasaran tinju Juwita. Lantas menyeka darah segar yang mengalir dengan ibu jari. Ia berdecak, menatap nyalang pada wanita yang hidungnya sedang kembang-kempis itu.

"Brengsek!" seru Juwita lagi.

Ia menahan pergelangan tangan wanita itu. Ternyata memang hanya wajahnya saja yang mirip Fleur Jansen. Namun kepribadiannya jauh berbeda. "Mau ke mana? Kalau kamu bukan perempuan, saya sudah bikin kamu terkapar babak belur sedetik yang lalu."

"Lepas!" Wanita itu mencoba melepaskan diri.

"Harusnya kamu minta maaf, hidung saya luka." Revan jelas menuntut apa yang sudah wanita itu lakukan padanya.

"Minta maaf??" ulang Juwita. "Harusnya kamu yang minta maaf! Karena bersikap tidak sopan dan kurang ajar. Jangan hanya karena kamu anak dari pemilik acara ini, jadi kamu bisa seenaknya." Lantas Juwita menjatuhkan tatapannya pada tangan Revan yang mencekal pergelangannya.

"Lepas!" Kalimatnya jauh lebih ketus dan penuh penekanan.

Kedua alis Revan bertaut. Ia belum pernah menemukan wanita yang bersikap kurang ajar sepanjang hidupnya selain Lydia. Ah, ya, tentang pepatah bahwa teman memang berpengaruh terhadap kehidupan kita itu benar. Kalau Lydia saja seakan tidak memiliki tata krama, maka Juwita juga sama saja.

"Coba sebut sikap kurang ajar apa yang saya lakukan, saya tadi menyapa kamu dan selesai sampai sana. Jangan terlalu percaya diri." Tantang Revan.

Anehnya, Juwita malah terkekeh lirih diiringi gelengan kepala. Sesuatu yang menurut Revan malah.. kelihatan menggoda? Shit. Pikiran macam apa itu?!

"Ada ya.. laki-laki seperti kamu." Sebelah tangan wanita itu terjulur menyentuh kerah kemeja Revan lalu memiringkan pelan kepalanya. "Padahal kamu kelihatan cerdas, Revandio Pranadipa. Penerus dari Lesmana Pranadipa, kan?"

Revan terdiam menatap tajam wanita itu. Hingga Juwita menyentuh bibirnya dengan ibu jari. Ia masih bergeming di tempat.

"Semoga kamu enggak buta warna," kata Juwita sembari meletakkan ibu jari di dagu tepat di bawah bibir mungilnya.

Lalu Revan sulit percaya bahwa warna sisa lipstick pada ibu jari Juwita mirip dengan warna di bibir wanita itu. Harga diri Revan jatuh seketika. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa ia tidak sadar sudah mencium Juwita? Ini mengerikan. Wanita itu harus jauh-jauh darinya belasan radius kilometer, kalau bisa. Ini baru mencium, jika terjadi sesuatu yang lebih dari itu. Revan tidak bisa mempertanggungjawabkan sebab ia tidak merasa sudah melakukannya.

Sayangnya, bukan Revandio Pranadipa namanya jika ia mudah dijatuhkan karena satu perkara.

"Saya enggak buta warna." Menganggukkan kepala lamat-lamat, Revan perlahan melepas cekalannya pada pergelangan Juwita.

"Tapi kenapa baru menampar saya setelah selesai?" Satu sudut bibirnya terangkat. Padahal Revan sendiri tidak tahu kapan ia memulai dan mengakhiri. Hal terakhir yang diingat Revan hanya tamparan di pipi. "Kamu menikmatinya kan? Perempuan itu memang punya dasar sifat munafik."

Sepasang mata milik Juwita membulat sempurna. Sedetik kemudian bulir bening justru tertahan di kedua bola mata hitam pekatnya yang menatap Revan dalam diam. Tanpa sadar, semua orang mendengar pembicaraan mereka. Dan hati Revan yang sebenarnya tidak seketus sikapnya itu langsung melunak. Ia jadi merasa serba salah saat menatap raut wajah Juwita detik ini.

"Maaf.. saya enggak bermaksud.." Ia berhenti untuk mencari kata yang tepat, deja vu sialan tadi jelas tidak bisa dijadikan alasan. "Jujur, saya memang enggak-"

"Enggak perlu diperpanjang. Permisi.." ucap Juwita sebelum berlalu.

Aneh, melihat Juwita yang raut wajahnya hampir menangis itu membuat perasaannya jadi terkoyak secara tidak wajar. Ia seperti merasa sudah melukai orang yang dicintainya setengah mati. Orang yang sangat berharga dalam hidup. Orang yang tidak ingin ia lukai sepanjang hidup.

"Van, tadi pacar lo?" tanya Seno setelah berdiri di sampingnya, disusul Kai dan Choky.

"Bukan," jawabnya sembari menerima tisu yang disodorkan Choky. Lalu mengelap darah dari hidungnya.

"Friend With Benefit?" Kali ini Kai yang bertanya.
Revan berdecak sebelum menjawab, "Gue bukan binatang."

"Pacar bukan, FWB bukan. Kayaknya si Revan nih mau mengalahkan track record Kai," ujar Choky disusul tawa Seno dan Kai.

Revan hanya mendesis dengan tatapan tajam atas reaksi teman-temannya.

"Tapi gue kira tadi pacar lo. Kalian ciuman di depan umum, Man! Tanpa menggubris ada manusia lain di sini, parah.." kata Kai yang menggelengkan kepala.

"Gue beneran mencium perempuan itu??" tanya Revan mencoba mengingat-ingat sepotong saja dari yang Kai sebutkan.

Choky bersedekap dengan pandangan menerawang. "Lo menatapnya penuh cinta, Van. Sampai enggak menggubris panggilan kita-kita. Beneran yang tadi bukan pacar lo?"

"Bukan. Gue pulang duluan, pusing," jawab Revan.

Sebelah tangannya digunakan untuk memijat pelipis. Kemudian berlalu begitu saja. Percuma mendengarkan penjelasan atau melanjutkan introgasi dengan teman-temannya. Toh, ia tetap tidak mengingat hal lain selain tamparan di pipi dan tinjuan di hidung. Revan bergidik ngeri saat kembali mengingat teman Lydia. Laki-laki yang jadi kekasih Juwita mungkin sudah mirip samsak tinju tiap wanita itu kesal atau marah.

***

Sekali lagi, ia menghirup udara di sekitarnya sebanyak mungkin. Sial, rasa kesal itu masih menggantung dalam benaknya. Lagi-lagi bulir hangat menuruni pipinya. Kenapa juga ia tidak bisa menampar pria itu sebelum semuanya terjadi? Dan yang lebih brengsek lagi, Revan tidak mengakuinya. Kesialan Juwita jadi bertubi-tubi. Sudah jadi tontonan orang, dicap perempuan murahan juga.

"Ta.." Seseorang menyentuh bahunya.
Juwita menemukan Lydia tengah menatapnya penuh tanda tanya saat menoleh. "I never do that, dia yang muncul tiba-tiba! Gue memang setengah Eropa, tapi gue enggak suka cara seperti itu..."

"Iya.. Gue tahu." Lydia mengatakannya antara yakin dan tidak yakin.

"Gue juga enggak mengerti. Kenapa gue enggak langsung menamparnya saat tangan dia mampir di dagu gue.." rutuk Juwita sembari menepuk-nepuk dahinya.

"Lo... Enggak memiliki hubungan dengan Revan di belakang gue kan?"

Juwita melenguh. Demi Tuhan, pertanyaan itu membuatnya makin kesal. "Lydia, gue aja baru mendengar namanya. Gimana bisa gue punya hubungan sama dia?"

Sempat ragu, Lydia berkata, "Masalahnya kalian terlihat begitu intens, Juwita."

"Kenapa lo enggak menyelamatkan gue tadi?"

"Tadinya gue pengin menyeret lo. Tapi kalian kayak membangun dinding kasatmata." Lydia menggunakan kedua jarinya untuk memperjelas. "Seolah ada mantra-mantra yang bikin gue dan orang-orang enggak mampu menghalangi kalian."

Bola mata Juwita membulat sempurna. Bagaimana bisa kejadian tadi dihubungkan dengan sihir atau mantra-mantra? Lalu matanya bergulir ke segala arah. "Gue mulai merasa tempat ini enggak beres. Lo pulang jam berapa, Ly?"

"Jangan-jangan sintingnya Revan mulai menulari gue, astaga!" Lydia bangun dari duduk, mengusap kedua bahu. "Kita enggak bisa pulang bareng. Lo pulang sama supir Papa aja, mau?"

Terserahlah. Yang penting ia bisa pulang dan tidur di kasurnya atau bertemu Adriaan van Denveer dalam mimpinya. Sayang sekali, wujud Adriaan van Denveer yang seperti pinang dibelah dua dengan Revandio Pranadipa. Tidak menjadikan Revan juga memiliki perangai yang mirip dengan Adriaan baik dari sikap maupun tutur kata.

Baik, Baru saja Juwita berharap Adriaan jadi nyata? Sinting. Adriaan hanyalah bentuk dari rasa kesepian dan harapan para wanita lajang sepertinya.

***

"Pak, tolong antar Juwita sampai apartemen ya?" Lydia bicara dengan Pak Usman di luar mobil.

"Siap, Non," jawab Pak Usman.

"Terima kasih ya, Pak." Lydia melambaikan tangannya pada Juwita.

Pak Usman yang hendak membuka pintu mobil tertahan karena harus mengangkat telepon entah dari siapa. Juwita tidak begitu peduli. Ia menyandarkan kepalanya dengan headset yang sudah terpasang di kedua telinga. Memutar satu full album dari Paramore. Tatapan Juwita terpaku pada setiap tweet yang lewat di beranda Twitter-nya. Seringkali ini menjadi cara untuk membunuh waktu bagi Juwita.

"Pak, antar saya pulang. Kepala saya pusing."

"Tapi, Mas, nganu loh.."

Pak Usman hendak mencoba menjelaskan maksudnya pada pada putra sang mamajikannya. Namun satu tangan Revan terangkat menginterupsi penolakan Pak Usman.

"Saya mau tidur di belakang. Bangunkan saja jika sudah sampai." Lantas Revan membuka pintu mobil sembari memijat pelipis dengan mata terpejam.

Melihat Revan yang sudah melenggang masuk tanpa bisa dibantah. Sebagai supir yang baik Pak Usman akhirnya menjalankan mobil dengan tenang. Sempat melirik dua penumpang yang duduk di belakang sejenak. Pak Usman mengarahkan mobil ke arah jalan menuju apartemen Lydia Fransisca. Sebab Tuan mudanya yang tertidur pulas dan teman Nonanya yang tampak sibuk dengan ponsel dalam genggaman. Tidak memberikan protes sama sekali.

Sudah bosan dengan isi media sosial, Juwita melepas headset. Ketika menoleh ke arah kanan, ia hampir terlonjak. Revandio Pranadipa tertidur pulas di sampingnya. Pertanyaannya adalah sejak kapan? Kapan laki-laki itu masuk mobil ini?

"Pak.. Maaf.." Juwita memanggil Pak Usman dengan suara lirih.

"Eh, Non. Itu loh.. saya minta maaf sebelumnya. Mas Revan katanya pusing jadi saya antar sekalian. Memang Mas Revan itu habis audit kinerja perusahaan di Makassar dan langsung ke sini. Tuan Besar bisa kebakaran jenggot kalau Mas Revan tidak hadir. Kasihan Mas Revan, maklumi ya, Non. Saya tetap akan antar Non Juwita dulu."

Juwita menggangguk sebelum menghela napas. Ia merapalkan serentetan doa supaya pria di sampingnya itu jangan sampai terbangun sebelum ia sampai di apartemen. Juwita belum siap bertahan di medan perang karena amunisinya sudah habis. Kepalanya kembali tertoleh untuk sekedar mengecek keadaan Revan. Pria itu masih tertidur dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kaca mobil. Matanya kali ini tanpa sengaja teralih pada bibir tebal yang tertutup rapat itu. Juwita bersyukur bekas lipstik-nya sudah sirna dari sana.

Juwita menggelengkan kepala pelan dengan mata terpejam ketika adegan sialan itu hendak berputar. Lalu samar-samar telinga Juwita menangkap suara tapak kaki kuda. Disusul semilir angin yang membelai lembut pipi. Hal yang seharusnya sangat tidak mungkin terjadi karena ia berada di dalam mobil. Dan lagi, tubuhnya jadi berguncang pelan seolah-olah ia benar-benar sedang menumpangi kereta kuda.

Bersama rasa takut yang menjalar, Juwita segera membuka kembali kelopak matanya.

"Kenapa, Fleur?" Pria itu menjulurkan tangan ke arahnya, menyingkirkan sisa helai rambut di dahi Juwita.

Sementara Juwita refleks kembali menoleh ke arah depan. Terdapat kusir yang sedang memacu kuda dengan tenang. Pak Usman menghilang entah ke mana. Mobil yang ia tumpangi benar-benar berubah menjadi kereta kuda. Lantas pandangannya kembali pada pria yang duduk di samping. Duplikat dari Revandio Pranadipa.

"Kita mau ke mana?"

Beberapa dokar dan bendi lewat berpapasan dengan kereta kuda yang mereka tumpangi.

"Menepati janjiku," jawab Adriaan disusul senyum tipis yang selalu menghangatkan rongga dadanya. "Kata Garritt, kita punya banyak waktu sebelum Papamu kembali dari Oosthaven."

***

Oosthaven : Bandar Lampung (sekarang)

27 Januari 2020.

Terima kasih sudah voment :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro