3. Een Verzoek (Sebuah Permintaan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepasang mata Juwita memperhatikan Adriaan yang tengah mengajari anak-anak di sana tentang huruf abjad. Adriaan fasih dalam banyak bahasa yaitu Inggris, Belanda, Melayu dan Prancis. Lulus dari HBS dengan nilai sempurna bukan hal yang aneh bagi seorang Adriaan van Denveer.

"Kenapa tidak ikut bergabung?" Adriaan bertanya.

"Lebih senang melihatmu mengajari mereka."

Adriaan mengangguk. "Bosan ya?"

"Sama sekali tidak," ucapnya seraya menggeleng pelan. "Bagaimana dengan ini?" Lantas diangkatnya keranjang berisi berbagai macam buah dan roti.

Adriaan mengambil alih keranjang dari tangannya. "Kita bagikan."

Laki-laki itu kemudian menautkan jemari mereka. Membawanya dalam sebuah genggaman hangat. Adriaan hanya meletakkan keranjang itu di tengah-tengah sekumpulan bocah pribumi yang tersenyum polos penuh arti. Salah satu bocah ditunjuk untuk membagikan makanan tersebut secara adil. Adriaan tidak hanya memperkenalkan huruf abjad dan angka. Tapi juga mengajak mereka berpikir dan memiliki sifat sejati sebagaimana layaknya manusia. Saling berbagi, saling membantu.

Sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh VOC dicabut. Setelah Multatuli atau nama pena dari Eduard Douwes Dekker menerbitkan buku berjudul max Havelaar dan tersebar di Nederland. Hukum agraria membuat sistem tanam paksa berakhir di Hindia Belanda. Namun, tetap saja kelaparan dan kemiskinan merajalela di sini. Ia tahu sedikit banyaknya tentang sejarah bangsanya dan bangsa ini yang saling beririsan. Seperti Adriaan, ia juga seringkali merasa iba pada pribumi.

Ia tidak bisa berbuat banyak, selain diam-diam mengajak anak-anak pribumi sekedar makan bersama dari keranjang makanan yang dibawanya. Sebab ia bukan ratu Wilhelmina yang memiliki kekuasaan tertinggi di Nederland dan dapat melakukan apa saja. Termasuk memberikan kebijakan pada pemerintahan di Hindia Belanda.

Bersama angin sore yang tidak pernah membuat mereka kecewa, Adriaan mengajaknya berkeliling ladang jagung.

"Adriaan, kau bisa membuat puisi?"

"Bisa, jika kau yang meminta."

"Kalau begitu, aku ingin dengar sekarang," ujarnya riang. Menarik pelan lengan Adriaan supaya beralih menatapnya.

"Coba sebutkan satu kata."

Juwita berpikir mencari kata-kata yang akan Adriaan rangkai. Lalu tercetus ide dari kebiasaannya di sore hari. "Setengah sendok teh?"

Langkah kaki mereka terhenti, tepatnya karena Adriaan yang berhenti melangkah. Laki-laki itu terdiam, wajahnya nampak sedang berpikir. Terlihat jelas dari pantulan sepasang kelereng berwarna cokelat yang pancarannya selalu teduh itu. Dan Juwita tetap menunggu laki-laki itu dengan senyum terkembang.

Tiba-tiba Adriaan menatapnya penuh arti sebelum berkata, "Dan dalam setengah sendok teh, kita temukan rasa itu. Menjadi secangkir dari rasaku dan rasamu.." Lalu tangan Adriaan bergerak melepaskan topi lebar yang senada dengan gaunnya. Membuat angin dengan bebas menyisir lembut surai cokelatnya.

"Di penghujung senja, tempatmu biasa menantiku. Kemudian di ufuk timur, tempatku biasa menjemputmu. Setengah sendok teh di satu malam panjang, kini aku menunggumu. Bersama secangkir rasa yang sempat kau bawa dalam mimpi. Dari Adriaan van Denveer untuk Fleur Jansen." Tutup Adriaan.

Adriaan memiliki banyak sisi yang membuatnya seolah bisa merasakan bagaimana menyentuh awan di atas sana. "Aku suka puisimu."

"Itu bukan puisi," sahut Adriaan. "Tapi rangkaian isi hati dari tiga kata yang kau sebut."

Dua sudut bibirnya tertarik, ia dengan sengaja menanyakan, "Adriaan, hou je van me?"

Mereka bertatapan cukup lama sebelum jemari Adriaan terulur. Membawa helaian surai ikal panjangnya ke belakang telinga. "Ik hou van je, Fleur."

"Als je van me houdt. Wil je met me trouwen?"

Mendadak ia menyesal menanyakan hal semacam itu. Apa yang ia pikirkan? Papa hanya pergi ke Oosthaven, bukan pergi ke bagian bumi lain selamanya. Terakhir kali Adriaan mengantarkannya pulang, laki-laki itu sudah mendapat seberondong makian yang tidak pantas. Bahkan hampir terkena pecut ikat pinggang, tapi tentu saja ia tidak membiarkan itu terjadi. Ia yang tadinya berdiri di samping Adriaan lantas bergerak memeluk laki-laki itu, hingga punggungnya yang jadi sasaran pecut dari Papa.

Tidak masalah. Asalkan Adriaan baik-baik saja dan masih bersamanya, ia pun akan baik-baik saja. Ia sendiri tidak mengerti kenapa Papa sebenci itu pada orang-orang berdarah campuran seperti Adriaan dan pribumi. Entah bagaimana takdir berkuasa, Adriaan mencakup semua kriteria yang Papa benci. Darah campuran dan wajah dominan pribumi.

"Ik hou van je.. En ik zal later met je trouwen," kata Adriaan lirih.

Jika cahaya matahari mampu menembus kaca jendela. Maka sorotan mata milik Adriaan van Denveer mampu menembus relung hatinya. Dan seperti kerelaan dari dedaunan kering yang dilahap api. Maka ia akan melakukan hal yang sama untuk Adriaan.

Jentikan jari di depan wajah Juwita, tiba-tiba mengubah tatapan teduh menghanyutkan milik Adriaan van Denveer menjadi tatapan datar tanpa minat milik Revandio Pranadipa. Bak sambaran petir di siang bolong, momen indah di ladang jagung hancur berkeping-keping tak bersisa. Ia kembali menjadi Juwita Kaluna yang menumpang di mobil Revan. Demi jajaran koleksi perangko neneknya, ia sangat ingin mencolok kedua mata Revan. Supaya berhenti menatapnya dengan cara menjengkelkan semacam itu.

"Turun," kata Revan. Mengarahkan dagu ke apartemen yang ia tempati.

Ia mengerjapkan matanya berulang kali sebelum mendesah berat. "Sebentar," ujarnya kesal sembari memasukan ponsel dan headset.

"Terima kasih," ujar Revan dengan sengaja. Nada sindiran tersirat jelas dalam kalimatnya.

Juwita berdecak kesal. Bola matanya terputar sebelum berkata, "Terima kasih." Dengan penuh penekanan lalu membanting pintu mobil.

***

"Van, gue udah bicara sama Papa, kalau teman gue bisa menjadi sekretaris lo." Lydia tiba-tiba sudah bersedekap di depan pintu kamarnya.

"Punya hak apa lo?" Revan dapat melihat jelas Lydia yang mendengus kesal. "Mbak Anneke masih jadi sekretaris gue."

Setidaknya Revan masih menahan surat resign yang diajukan Anneke. Bukan tanpa alasan. Ia malas mencari sekretaris baru dan kembali beradaptasi. Anneke sudah lebih dulu bekerja dengan Papa sebelum dengannya. Jadi jam terbang yang dimiliki Anneke membuatnya begitu profesional.

"Papa udah mengiyakan." Perkataan Lydia terkesan begitu memaksa di telinga Revan.

Revan yang bersandar pada kepala tempat tidur hanya mengedikkan bahu. "Kalau gitu minta aja Papa jadiin teman lo sebagai sekretarisnya. Gue enggak akan mengganti Mbak Anneke."

Lydia mengarahkan matanya ke atas sembari berkacak pinggang. "Helooow?? Ini cuma masalah posisi sekretaris, by the way, anyway, busway..." Lantas berdecak kesal, hendak masuk ke dalam kamarnya. "Lo punya hubungan lebih ya sama Anneke??"

"Berhenti di sana, jangan coba-coba masuk," ujarnya tanpa beralih dari buku yang tengah ia baca.

Langkah kaki wanita itu sempat terhenti secara otomatis. "I don't care," kata Lydia.

Pada akhirnya giliran Revan yang berdecak. "Lo enggak mengerti bahasa Indonesia, ya?"

Ia mengangkat kepala untuk menatap Lydia tajam. Revan sangat tahu, wanita yang notabenenya adalah adik tirinya itu memang menjengkelkan setengah mati dan keras kepala.

"Intinya besok teman gue udah jadi sekretaris lo. Titik."

"Enggak ada posisi sekretaris atau apa pun itu. Lo pikir perusahaan punya nenek moyang lo?"

Lydia menyentak kepalanya. "Sumpah, ngobrol sama lo enggak pernah enggak bikin darah gue naik sampai ubun-ubun." Lalu meniup kasar anak rambutnya. "Terserah. Papa udah setuju."

"Teman lo yang mana memangnya?"

Revan sedikit penasaran kenapa adik tirinya itu begitu memaksakan kehendak. Jangan katakan bahwa teman yang Lydia maksud adalah perempuan yang mirip Fleur Jansen itu. Tidak, Revan tidak akan membiarkan Juwita Kaluna memasuki wilayah teritorialnya. Perempuan itu terlalu berbahaya bagi titik waras dan kesadaran Revan. Sebab mencium wanita itu tanpa disadarinya saja sudah fatal. Padahal yang melakukan itu adalah dirinya yang menjadi Adriaan van Denveer dalam deja vu.

Revan juga tidak mengerti kenapa deja vu itu muncul lagi setelah ia bertemu kembaran Fleur Jansen. Sejak duduk di bangku kuliah semester dua, Revan sudah tidak pernah mengalami hal itu lagi.

Ia sendiri tidak memiliki kakek buyut dengan nama belakang van Denveer. Tapi setiap Revan berkaca diri, ia memang mirip laki-laki yang hidup sekitar di abad Ke-20 itu. Yang membedakannya dengan Adriaan hanya pakaiannya saja. Revan juga memiliki warna bola mata kecokelatan. Revan menggeleng, ia tidak percaya dengan yang namanya reinkarnasi atau semacamnya. Apalagi segala semacam takhayul.

"Juwita." Revan berdecak kala telinganya menangkap satu nama itu. "Dia lagi menyusun skripsi dan butuh pekerjaan. Karena enggak mau membebani Omanya."

"Enggak mau merepotkan Omanya tapi merepotkan orang lain," gerutu Revan.

"Sumpah, Van.. lo tuh beneran enggak punya semacam rasa iba sama orang lain?"

"Apa yang perlu gue kasihani? Kalau menginginkan apa pun termasuk posisi di dunia kerja. Lo harus berusaha bukan jadi parasit buat orang lain."

Lydia memejamkan mata sebelum menghela napas panjang. "Lo enggak tau ceritanya! Jadi jangan merasa lo yang paling hebat, Revandio Pranadipa!" seru wanita itu.

Bagaimanapun cara Lydia. Ia tidak akan membiarkan perempuan itu mengganti posisi Anneke. Kalau perlu ia tidak usah memiliki sekretaris. Ia masih bisa mengurus segalanya dengan baik.

"Keluar sana, gue mau istirahat." Revan enggan berdebat dengan Lydia terlalu lama.

Kemudian suara bantingan di pintu adalah hal yang terakhir Revan dengar. Usai Lydia meninggalkan kamarnya, Revan kembali merebahkan diri. Memejamkan matanya erat supaya lekas tertidur pulas. Ini hari yang melelahkan, di mana Revan yang baru sampai dari Makassar harus menghadiri pesta pernikahan. Lalu bertemu dengan Fleur Jansen versi abad ini. Mengerikan juga bagaimana kata kebetulan itu terjadi dengan cara seperti ini.

Ketika kantuk semakin membelainya lembut, membawanya pada sebuah kedamaian yang tak bertepi. Saat itu juga indra pendengarannya menangkap alunan denting piano. Tidak, di rumahnya tidak ada barang bernama piano. Di antara Revan, ayah dan almarhumah ibunya tidak ada yang bisa memainkan alat musik itu.

Jangan, tolong jangan hadir kembali. Rapalnya dalam hati.

Suara dentingan piano itu makin terdengar jelas di telinga. Revan mengatur napas, ia tidak takut dengan apa pun. Kecuali deja vu sialannya. Dihirupnya napas dalam-dalam tanpa membuka mata supaya menetralkan kewarasan otak. Dan harum mawar yang terpatri dalam indra penciuman Revan kembali memenuhi paru-paru.

"Open your eyes, Mijn schat.." Lalu terdengar suara tawa lirih yang begitu menggoda.

Sepasang mata cokelat milik gadis Nederlander itu menatapnya manja ketika ia membuka mata. Sementara jemari Revan menekan tuts piano tanpa ada nada yang terdengar sumbang. Ia hafal di luar kepala susunan not dari instrumen ini, karena Fleur Jansen begitu menyukai spring waltz.

Gadis manja itu sangat menyukai karya milik Frederic Chopin daripada Beethoven atau Bach. Maka dari itu ia memberikan satu piringan hitam untuk Fleur dengarkan di saat ingin tidur. Saat sendiri di kamar atau saat hujan dengan fonografnya. Ia tidak selalu dapat memainkannya secara langsung untuk Fleur, selain di rumahnya seperti saat ini. Ketika Papa mengantar Mama menjenguk kakek-neneknya di Samarang.

"Kau bisa memainkannya tanpa memperhatikan tuts?" tanya Fleur yang duduk di sampingnya sejak tadi. Sesekali Fleur bersandar di bahunya atau ikut memainkan tuts-tuts piano bersama.
Lalu anggukan kepala darinya cukup menjadi jawaban bagi Fleur.

Fleur mengulas senyum. "Kau tahu? Aku selalu membayangkanmu memainkannya di rumah kita. Nanti."

Nanti. Ia kembali mengulang kata itu. Sedangkan ingatannya memutar klip di mana ia mengantar Fleu. Sebelum ayah dari gadis itu pergi ke Oosthaven.

"Masih berani kau datang kemari, hah??" tanya Meneer Jansen.

Mereka baru saja melewati pekarangan rumah Fleur yang luas. Ia selalu mengantar gadis itu sampai di depan pintu rumah. Tapi jarang, dapat dihitung dengan jari berapa kali ia masuk ke dalam rumah itu.

"Maaf, Meneer. Saya hanya mengantar Fleur pulang."

"Fleur! Sudah berapa kali Papa bilang jangan berhubungan dengan si Darah Campuran Pribumi itu!"

"Papa! Sudah.. Adriaan hanya mengantarku pulang." Fleur tidak pernah gentar di depan laki-laki paruh baya itu ketika memberikan pembelaan untuknya.

"Cepat masuk!" seru Meneer Jansen pada putrinya.

"Adriaan.. maaf-"

"Fleur cepat masuk!" Meneer Jansen memotong ucapan Fleur dan mengarahkan tatapan tajam padanya.
Mevrouw Jansen yang tiba-tiba keluar dari rumah berteriak, "Hei, bajingan sialan! Berani kau membentak putriku?! Bicara yang baik dengannya!"

Meneer Jansen mendengus. "Sudah, jangan ikut campur. Bawa Fleur masuk."

"Aku tidak akan masuk sebelum Adriaan pulang," ujar gadis di sampingnya yang mengeratkan tautan jemari mereka.

Ia menoleh sembari memberi tatapan memohon. "Masuk, Fleur.." bisiknya.

"Jangan temui putriku lagi, keparat!"

Tiba-tiba Fleur bergerak cepat, memeluknya begitu erat. Gadis itu menghalangi pecutan yang harusnya ia terima.

"Fleur.." panggilnya khawatir. Kedua lengannya meraba punggung gadis itu. Dalam hati ia ingin sekali menghunus pedang di jantung pria paruh baya keparat itu. Yang sudah membuat Fleur kesakitan dalam pelukannya. "Harusnya kau tidak melakukan ini.."

"Aku baik-baik saja, Adriaan."

Tentu tidak. Sebab sebelah bahunya yang menjadi tempat Fleur membenamkan wajah terasa basah.

"Fleur! Apa yang kau lakukan?!" teriak Meneer Jansen. Lantas menarik paksa Fleur dari pelukannya.

Iya, nanti. Bagaimana pun caranya ia akan berjuang sampai mati demi memiliki Fleur Jansen seutuhnya. Bagaimana pun caranya, kata nanti itu akan ia wujudkan untuk Fleur Jansen.

***

* Hou je van me? : Apa kau mencintaiku?
* Als je van me houdt. Wil je met me trouwen? : Jika kau mencintaiku. Maukah kau menikahiku?
* Ik hou van je.. en ik zal later met je trouwen : Aku mendintaimu dan akan menikahimu nanti
* Mijn Schat : Sayang
* Oosthaven : Bandar Lampung zaman kolonial
* Fonograf/Phonograph
*Meneer : Tuan
*Mevrouw : Nyonya

Q: Thor ini kenapa masa kolonial dan masa sekarang terasa satu dimensi?

A: Sabar ya cantik, tar ada penjelasannya kok stay tune aja kalo sayang sama Adriaan :')

31 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro