4. Aanbod (Penawaran)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Juwita mengaduk secangkir kopi yang sudah dicampur susu. Ia tidak pernah menggunakan creamer bawaan. Rasanya kurang nikmat. “Lo enggak punya tawaran di tempat lain, Ly?”

Lydia sudah mulai kembali tidur di apartemen mereka. Ralat, apartemen Lydia sebenarnya. Perempuan itu yang lebih dulu tinggal di apartemen ini, ia hanya menumpang dan baru ikut membayar biaya sewanya separuh sejak beberapa bulan ini. Mereka berteman baik sejak SMA, usai bertemu di acara reuni Juwita pindah ke apartemen ini karena tawaran Lydia.

Lydia memutar bola matanya. “Berhenti meragu. Lo kan mau membantu Oma, Ta.”

Ia kembali mempertimbangkan Oma dan Papa, menepikan sisi egoisnya. Papa dirawat di rumah sakit hampir setahun belakangan ini. Setelah kecelakaan tahun lalu yang dialami kedua orang tuanya. Papa masih dalam keadaan koma dan butuh biaya perawatan yang tidak sedikit. Dunianya berubah drastis, dari kehidupan yang serba berkecukupan hingga ia harus menerima kiriman Oma dan menumpang di apartemen Lydia.

Selain kuliah ia juga memiliki sampingan sebagai guru bimbel di sebuah lembaga pendidikan. Namun gajinya sudah habis untuk membayar biaya semesteran, sedangkan uang kiriman dari Oma hanya cukup untuk operasional sehari-hari. Ia harus mencari cara supaya alat penunjang kehidupan tetap terpasang di tubuh Papa. Sebab apa yang mereka miliki sudah terjual habis, hanya tersisa tabungan untuk biaya rumah sakit sampai.. terhitung tiga hari mungkin. Juwita hapal, karena ia yang mengurus administrasinya.

Alat-alat itu harus tetap terpasang sampai nanti pria yang paling dicintainya itu kembali membuka mata. Juwita punya pemikiran luar biasa optimis yang sejenis itu. Sanak saudara jauhnya dari pihak ayah ada di Belanda, sedangkan anak dari Oma hanyalah Papanya. Ia tidak mungkin mengemis sampai ke Belanda sana. Lagi pula Juwita tidak mau melakukan cara yang semacam itu. Hubungan Juwita dengan keluarga besar dari pihak ibu yang berada di Makassar pun tidak begitu baik. Hanya Oma yang berada di sisinya selama ini.

“Masalahnya gue pernah menampar dia.” Juwita meringis saat mengingat kejadian brutal di pesta pernikahan Mami Lydia. “Gue jadi takut dia punya dendam tersembunyi.”

“Revan itu memang hobinya bikin orang kesal setengah mati sih. Tapi lo enggak perlu khawatir, Juwita. Dia bukan tipikal yang kasar sama perempuan.” Lydia menepuk-nepuk sebelah bahunya. “Pilih aja, jadi sekretaris Revan atau Bapak-Bapak mesum?”

“Sebenarnya dua-duanya bukan pilihan, Ly. Hmm.. gue mau menunggu kabar dari Jobstreet dulu. Tapi terima kasih banyak, lo benar-benar udah banyak membantu gue.”

“Percaya deh, Revan enggak berbahaya macam hiu lapar yang ada di dalam pikiran lo.”
Juwita meringis.

“Ta, gue mau tanya sesuatu. Lo beneran enggak punya hubungan yang spesial sama Revan?” Pertanyaan itu sontak menghentikan tawa Juwita.

Ia menggelengkan. “Kan gue udah bilang, gue aja baru kenal Revan setelah lo kenalin.”

Tadinya Lydia ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia lebih memilih menyingkirkannya. “Hmm.. Ya udahlah enggak penting. Kalau lo mau ambil tawaran tadi, lusa siap-siap ya.. Lo harus meniru cara kerja Anneke. Dia sekretaris kesayangan Revan.” Dalam pikirannya, Lydia sebenarnya sedang mengingat percakapannya dengan Pak Usman—supir Papa tirinya.

“Cara kerjanya atau berapa senti batas rok dari lutut yang Anneke pakai?”

Lydia mengusap dagu. “Bisa juga sih, mungkin berapa kancing yang dilepas juga dari batas leher.”

Pandangan Juwita langsung berubah horor. “Serius?”

Tawa Lydia malah membuatnya membulatkan mata. Nyali Juwita jadi runtuh seketika, kalau begitu apa bedanya Revan dengan manajer mesum dari divisi HRD yang Lydia tunjukan?

Lydia mengibaskan tangan. “Itu cuma candaan, Juwita. Meski Revan punya tatapan yang niscaya menginjak harga diri orang. Dia bukan laki-laki semacam itu.”

“Hehe.. Semoga. Gue agak ragu karena dia aja bisa mencium perempuan yang baru lima menit dijabat tangannya.” Sepasang mata Juwita beralih pada langit cerah yang terlihat begitu indah dari jendela besar di apartemen mereka.

Juwita mendesah, dihirupnya aroma kopi yang terkuar dari cangkir. Matanya memandang kagum pada apa yang ada di luar jendela. Memang semua yang diciptakan Tuhan itu tidak dapat diduplikasi oleh siapa pun. Langit, bumi dan penghuninya. Begitu melirik arloji di pergelangan tangannya, Juwita meraih tas tangan di atas meja.

“Mau ke mana?” tanya Lydia yang tengah memperhatikan gerak-geriknya.

Ia tersenyum sekilas. “Menjenguk Papa.” Lantas bangkit dari duduknya. Berlalu bersama benaknya yang tengah bergelut di dalam sana.

“Hati-hati, Ta.”

Lambaian tangan dari Juwita sebelum menutup pintu. Menjadi jalan bagi memori Lydia untuk memutar percakapan singkat bersama Pak Usman.

“Mbak, temannya Mbak Lydia itu pacarnya Mas Revan ya?” tanya Pak Usman yang tengah mencuci mobil saat ia berniat meminta tolong diantar ke supermarket.
Lydia mengerutkan dahinya. “Enggak biasanya Pak Usman bergosip. Memangnya ada apa?”

Setelah tertawa, Pak Usman berujar, “Nganu loh Mbak, mesra sekali di dalam mobil.”

“Hah? Kapan mereka semobil?”

“Waktu Mbak minta antar teman Mbak pulang. Mas Revan minta diantar pulang juga sama saya. Ya sudah saya antar sekalian. Tadinya Mas Revan langsung tidur di dalam mobil dan temannya Mbak hanya main HP saja tidak peduli sekitar. Tapi Mas Revan bangun lalu mereka ngobrol sepanjang jalan.”

Lydia jadi penasaran mendengar penjelasan Pak Usman. “Ngobrol tentang apa, Pak?”

“Duh, saya kurang mengerti, Mbak. Bukan pakai bahasa Indonesia apalagi pakai bahasa Jawa.”
Dahi Lydia berkerut semakin dalam, Revan dan Juwita berbincang sepanjang jalan? Wajar memang untuk orang normal, tapi tidak wajar untuk dua orang itu.

“Sempat berciuman juga sih Mbak,” lanjut Pak Usman.

“Hah?? Yang benar Pak! Bapak merekamnya?” Bola mata Lydia nyaris keluar dari tempatnya.

“Wong.. cuma cium tangan, Mbak. Saya mah ndak berani selancang itu.”

“Yah.. itu namanya bukan berciuman Pak!”

Lydia bukan orang yang hobi mencampuri urusan orang lain, terutama urusan Revandio Pranadipa. Hanya mengingat wajah Revan saja dapat membuatnya kesal setengah mati. Tapi ia tertarik untuk sedikit mengorek kebenaran dari penuturan Pak Usman.

***

“Van, teman Lydia akan masuk lusa,” kata Papa begitu mereka keluar dari ruang meeting.

Revan menghela napas. Barusan perutnya sudah menjerit minta diisi. Namun obrolan tentang sekretaris baru yang Papa ulas membuatnya jadi enggan memakan paket makan siang lengkap di depan matanya. Revan jadi lebih ingin memakan teman Lydia yang sedang jadi kandidat terkuat sekretarisnya.
Kali ini maksud Revan adalah makan dalam artian yang sesungguhnya. Makan dengan mulut. Mulutnya memakan mulut teman Lydia. Oke, barusan otaknya kembali konslet karena teman Lydia. Memang teman Lydia itu rasanya perlu dikirim ke benua Antartika supaya hidup Revan tidak terusik.

“Mbak Anneke masih sekretaris saya, Pa.”

Papa mengibaskan tangannya. “Jangan tahan karyawan yang mau resign, Van. Terutama Anneke, kita tahu alasannya. Dan kita tahu kinerjanya selama ini.”

“Justru itu, Pa. Saya berusaha mempertahankan Mbak Anneke di sini.”

Papa mengerutkan dahinya dalam. “Jangan katakan, kamu terlibat cinta dengan Anneke! Astaga, Van.. dia sudah punya suami. Dan alasan resign-nya juga karena ingin mengurus anaknya yang masuk rumah sakit!”

Revan memijat pelipis. “Saya tidak terlibat cinta, ini tentang kinerja Mbak Anneke yang saya tidak yakin bisa digantikan teman Lydia.”

“Anneke hari ini resmi resign dan teman Lydia yang akan menggantikan posisinya. Selesai perkara.” Ayahnya melirik arlojinya. “Lusa jam sembilan dia interview dan bawa berkas.”

Daripada berdebat lagi dengan Papa, ia lebih memilih melahap makanan di depannya. Papa adalah salah satu orang yang sulit Revan ajak negosiasi. Lebih baik mengajak negosiasi klien supaya menang tender daripada berargumentasi dengan Papanya.

***

Lagi. Juwita menghapus butiran bening yang jatuh di pipinya. Seakan ia tidak sanggup lagi bersuara, ia hanya mampu memandangi Papa yang masih harus hidup dengan segala macam alat medis yang tidak begitu ia pahami. Ia tidak ingin mengeluh, sebab mengeluh hanyalah milik orang-orang lemah.
Tapi hatinya memang terlalu rapuh tiap kali memandangi Papa yang tergolek lemah. Satu doa di dalam hati kecilnya, ia hanya berharap Papa bisa kembali membuka matanya. Tidak masalah jika ia harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. Yang terpenting Juwita tidak mengemis pada siapa pun.

Seakan badai tidak pernah sirna dalam hidupnya, seorang perawat kembali memanggilnya. Seperti biasa, tagihan administrasi rumah sakit. Ia pun mengecup kening Papa sebelum beranjak keluar ruang rawat. Duduk di salah satu kursi panjang taman rumah sakit, Juwita mengembuskan napas panjang. Ditatapnya sekali lagi bukti pembayaran biaya rumah sakit. Lantas ia mengeluarkan ponselnya.

“Halo, Ta?” Suara Lydia menyambutnya begitu ia memulai sebuah panggilan.

“Maaf, gue ganggu ya?” Ia tahu di jam-jam seperti ini Lydia sedang sibuk dengan kegiatannya di kantor Wedding Organizer milik sang ibu. Ada banyak hal yang Lydia urus sebagai Event Organizer.

“Enggak, ada apa?”

“Hmm.. Besok gue harus ketemu siapa di kantor Bokap lo?”

Terdengar suara gebrakan kecil di meja. “Jadi lo beneran mau menjalani tawaran gue? Good choice! Besok lo ketemu Anneke aja. Dia masih di sana, menunggu penggantinya masuk supaya bisa di-training lebih dulu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro