5. De Bloem (Bunga)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Permisi, Saya Juwita Kaluna ingin bertemu dengan Bu Tita," ucap Juwita pada seorang resepsionis di lobi yang ia temui.

"Sudah buat janji sebelumnya?"

"Sudah, tadinya dengan Bu Anneke lalu dialihkan ke Bu Tita," jelas Juwita.

"Baik, silakan tunggu sebentar." Sang resepsionis mengarahkannya pada sofa yang terpajang di lobi. Maka Juwita duduk di salah satu sofa single-nya.

Begitulah yang disampaikan Lydia semalam. Ia harus menemui Tita yang notabenenya bagian HRD sebelum bertemu Anneke. Sesekali ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Ia datang tiga puluh menit lebih awal. Kata orang bijak, datang tepat waktu adalah salah satu kunci meraih kesempatan emas. Meski ia belum menerka-nerka bagaimana rupa dan cara kerja orang-orang dalam gedung ini, Juwita yakin, nepotisme di sini tidak begitu berjalan dengan baik sepertinya.

Pagi tadi ia sempat sarapan dua tangkup roti, jadi ia sudah siap menerima serangkaian uji coba atau mungkin bertemu dengan kakak tiri Lydia. Menguji seberapa sabarnya ia menghadapi satu-satunya manusia yang kerap menatapnya dengan tatapan datar tanpa minat. Serta kalimat bernada angkuh yang membuat telinga seringkali menjadi gatal.

"Mbak Juwita?"

Ia yang merasa terpanggil segera bangkit dari duduk menghampiri resepsionis tersebut.

"Bu Tita hari ini terbang ke Kalimantan dan Bu Anneke sedang izin. Mbak diminta langsung ke ruangan pak Revan," lanjut resepsionis tersebut.

Juwita menjatuhkan tatapannya ke lantai sejenak sebelum memaksakan seulas senyum untuk resepsionis bernama Silva. Ia baru saja membaca id card yang tergantung di leher wanita tersebut. Juwita hanya mengangguk setelah Silva memberitahu letak ruangan Revan berada. Satu pesan yang masuk membuat ponsel Juwita bergetar dalam genggaman.

Lydia : Udah ketemu Tita?

Juwita : Gue diminta langsung ke arena tinju

Lydia : Haha. Ketemu Revan maksudnya?

Juwita : Wish me luck today. Terakhir kali lihat Revan, gue merasa hari itu adalah hari paling sial.

Kemudian Lydia membanjiri chat mereka dengan sejumlah emoticon mengejek. Usai mengangkat wajah, mereka berhenti di depan sebuah pintu yang Juwita yakini sebagai pintu gerbang arena tinjunya pagi ini.

"Silakan masuk, Mbak," kata Silva sebelum meninggalkannya berdiri termangu.

Tarik napas. Buang. Tarik napas. Buang.

Lantas ia mengetuk pintu itu dua kali sebelum mendorongnya. Baru saja masuk, ia langsung disambut oleh busur yang mengarah ke papan dart game di belakangnya. Jantung Juwita hampir saja tumpah tidak karuan karena busur yang melewati helai rambutmya yang tergerai. Sebelum akhirnya tertancap di tengah lingkaran merah. Wah, luar biasa kurang ajar. Ia nyaris memekik jika pengendalian dirinya tidak sebagus ini. Bisa-bisa karyawan di sana berpikir bahwa ia sudah gila karena berteriak di dalam ruangan yang notabenenya adalah ruangan big boss.

Begitu kembali menatap ke depan. Ia menemukan Revan dengan wajah datar yang tampak kelihatan tidak merasa berdosa sudah melakukan hal sialan barusan. Sekali lagi, datar tanpa ada maksud tersirat untuk sekedar meminta maaf. Kelihatannya memang sengaja melakukan hal tadi.

"Bapak, mau membuat mata saya jatuh di lantai?" tanya Juwita dengan nada yang untungnya masih bisa dikendalikan dan terdengar sopan.

Revan mengangkat alisnya sebelum menganggukkan kepala lamat-lamat. "Jangan berlebihan. Buktinya kamu masih baik-baik saja."

Sialan. Batin Juwita.

"Duduk," kata Revan menunjuk kursi di depannya dengan dagu.

Juwita mendudukkan diri tepat di depannya tanpa segaris senyum. Pagi ini rambutnya diikat setengah, tubuhnya berbalut blouse hitam dan rok skirt putih. Orang normal pasti akan memilih blouse putih dan rok hitam bukan sebaliknya. Revan bernapas lega karena deja vu-nya tidak kambuh saat bersitatap dengan Juwita. Mau tidak mau, ia menerima Juwita sebagai sekretarisnya karena Anneke sudah tidak dapat bertahan lebih lama.

Padahal Revan sudah memberikan penawaran terbaik untuk Anneke. Dan wanita itu memang mengutamakan buah hati di atas segalanya. Patut diberi standing applause kalau saja keadaan mood Revan sedang bagus. Sayangnya tidak.

"Jadi, apa yang membuat kamu yakin bisa menggantikan sekretaris saya?" Revan bertanya usai membuka berkas CV milik wanita itu.

Ternyata Juwita tidak memiliki garis keturunan Belanda dari kedua orang tuanya. Revan menilik itu dari nama belakangnya. Tadinya ia sempat berpikir jika wanita itu berasal dari keturunan Fleur Jansen dan nama belakang Juwita setidaknya sama dengan Fleur atau marga Belanda lainnya. Mungkin nanti Revan akan mengerahkan orang untuk mencari asal-usul garis keturunan Juwita Kaluna.

Tunggu.. kenapa juga Revan peduli dengan garis keturunan Juwita?

Setidaknya Revan harus tahu kenapa deja vu-nya malah kambuh setelah sempat sembuh. Dan barang kali garis keturunan Juwita dapat menjadi titik cerah baginya. Memang awalnya itu terjadi pada saat ia pindah ke rumah baru di usia 17th dan berhenti ketika Revan berumur 20th. Harusnya setelah ia rutin berkunjung ke psikiater dan dinyatakan sembuh, deja vu tersebut sudah berhenti total. Namun nyatanya tidak, apalagi setelah bertemu Juwita yang notabenenya adalah Fleur Jansen versi abad ini.

Deja vu-nya jadi terasa semakin sialan. Sebab ia yang menjadi Adriaan van Denveer di sana sangat kontras dengan dirinya sendiri. Tentu ia tidak bisa mengelak, tidak sama sekali ketika deja vu-nya mulai merangkai sebuah jalan cerita.

"Saya akan bekerja sebaik mungkin. Sesuai prosedur dan job desk yang Mbak Anneke sampaikan nanti," ucap Juwita dengan lugas tanpa beralih dari tatapannya.

Baik, ternyata dia cukup tahu cara menjawab dalam sesi interview yang Revan singkat. Ia kembali membaca CV milik Juwita. Sebab terlalu lama memandangi garis wajah Juwita membuatnya diserang pening ringan. Karena kemiripannya dengan Fleur Jansen ditambah potongan-potongan adegan deja vu yang tersimpan apik dalam memori.

Hampir sekian menit Revan berada di dalam ruangan yang sama dengan wanita itu. Ya, bahkan Revan menghitung menitnya. Deja vu itu untungnya tidak menunjukkan tanda untuk muncul. Sekali lagi, Revan dapat bernapas lega.

Ia menganggukkan kepalanya lamat-lamat. "Kita coba masa training. Kamu bisa tanda tangan kontrak ke bagian HRD setelah ini."

Revan menangkap ekspresi riang yang tersembunyi di balik sorot mata itu. Jika deja vu-nya muncul dengan intensitas yang lebih parah selama Juwita jadi sekretaris, sepertinya ia tidak akan memperpanjang kontrak kerja Juwita. Tingkat kewarasannya jelas menjadi hal yang penting bagi rotasi kehidupan Revan. Hampir mencapai pintu, Revan memanggil Juwita hingga wanita itu kembali berbalik.

"Bawakan saya kopi." Lantas ia beralih menyalakan laptopnya. Mengerjai orang sama sekali bukan hobi Revan, namun entah kenapa ekspresi kesal Juwita membuatnya terhibur. Jadi ia menyuruh wanita itu membawakannya kopi. Padahal Revan sudah menyesapnya secangkir satu jam yang lalu.

"Oh, baik. Nanti saya minta OB bawakan kopi ke ruangan Bapak," jawab Juwita.

Mengangkat kepalanya dari layar laptop, Revan tersenyum miring. "Instruksi saya barusan bukan untuk OB."

Dahi Juwita serta-merta berkerut samar. "Saya yang harus membuat kopi untuk Bapak?" Lalu menunjuk dirinya sendiri.

"Saya lihat IP kamu lumayan bagus. Saya kira kamu bisa menerjemahkan instruksi dari saya dengan baik."

Meski ekspresi Juwita begitu terlihat tenang, sebenarnya ia sangat ingin melempar stiletto-nya sedetik setelah Revan mengatakan hal yang lumayan membuat api meletup di dalam dadanya.

Sekretaris mana yang merangkap menjadi OB?!

***

"Lo pernah merasakan deja vu?" Revan bertanya pada Kai yang duduk di sampingnya.

Mereka memang selalu mengadakan pertemuan di sebuah kafe dalam rangka menghilangkan penat. Juga dalam rangka mempererat persahabatan mereka yang terbangun sejak masa putih-abu. Seno dan Choky yang duduk di depannya masih sibuk dengan menu di tangannya masing-masing.

Kai berdecak. "Tiap hari gue mengalaminya, Van."

"Serius?" Baik, kali ini Revan mengarahkan seluruh atensinya pada Kai.

"Iya, tiap pagi gue deja vu di ranjang sama Miyabi."

"Sampah lo!" seru Revan dan Choky yang melempari Kai dengan sedotan.

"Itu sih enggak butuh deja vu, tiap malam aja lo gonta-ganti cewek buat diajak olahraga," kata Seno.

"Dia sih bukan olahraga! Tapi menanam saham!" seru Choky.

"Kalau Revan yang tanam saham sih gue percaya. Duit dia memang enggak akan habis tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh pengkolan. Nah, kalau si Item? Saham yang dia tanam cuma bikin populasi cewek bersegel di dunia ini jadi langka kayak badak bercula satu!" keluh Seno panjang lebar.

Kai dipanggil Item karena kulitnya memang lebih eksotis di antara mereka berempat. Choky tergelak karena ucapan Seno sampai telinga caplangnya memerah.

"Duh.. bayi, jangan ikut campur urusan laki-laki dewasa. Lo mending cuci tangan, cuci kaki terus bobo siang sana!" balas Kai tidak mau kalah. "Lagi pula deja vu apa sih, Van? Udah kayak film Narnia aja." Kai menyandarkan punggungnya pada kursi sebelum menarik sebatang rokok.

Revan berdecak, ia merasa sudah sia-sia menanggapi Kai dengan serius. Lalu tawa Seno yang terdengar sumbang menggema di telinganya.

"Jangan bilang dia deja vu naik naga terbang!" Seno berseru. Selain pikirannya yang kerap di luar nalar. Ibarat kertas, Seno memang yang paling bersih di antara mereka berempat. Maka dari itu dia sering dijuluki bayi oleh Kai yang memang predator kamar hotel.

Choky mengusap dagunya pelan. "Kok gue jadi ingat logo saluran TV ya.."

Helaan napas Revan menandakan bahwa ia sedang tidak ingin ikut campur dalam obrolan tidak bermutu di antara teman-temannya. Berbeda dengan tiga pria yang terhitung easy going tersebut, ia memang tipikal pemikir dan lebih serius.

"Omong-omong, lo masih mencari kandidat sekretaris, Van?" tanya Choky.

"Yth. Bapak Lesmana udah punya kandidat untuk posisi itu. Telat lo," jawab Revan yang pada akhirnya memilih mengecek ponsel.

"Kalau gitu ngapain lo neror gue dua hari yang lalu, Bambang??" Choky mendengus usai mengatakannya.

Kai menyedot frappe-nya dengan sebelah alis terangkat sebelum bertanya, "Relasinya Anneke, Van?"

"Bukan, teman Lydia."

Kedua alis Choky terangkat tinggi-tinggi. "Teman Lydia yang waktu itu lo cium setelah lima menit jabat tangan?!"

Kai malah menganggukkan kepalanya lama-lamat. "Kan, bener apa gue bilang. Revan nih cuma pura-pura di depan kita aja. Katanya enggak ada apa-apa, katanya enggak kenal. Tapi sampai dijadiin sekretaris, Man!"

"Bisa Everytime, everywhere kalau gitu," sahut Seno yang memainkan alis. "Tinggal telepon diminta ke ruangan, selesai."

"Mantap jiwa! Gue jadi minat cari sekretaris kayak gitu." Choky menimpali candaan Seno.

Obrolan teman-temannya yang mulai melenceng itu membuat Revan melayangkan tatapan tajam. "Otak lo semua wajib dirukyah satu-satu."

***

Usai meneguk segelas air putih di dapur, Revan berdiri sejenak mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia terbangun dari tidur karena kerongkongannya yang kering. Setelah itu Revan melangkah keluar dari dapur. Sebelah kakinya sudah memijak satu anak tangga, namun terhenti seketika saat telinganya menangkap dehaman.

"Adriaan, Papa ingin bicara."

Revan mengembuskan napasnya secara teratur sebelum menunduk. Dan benar, kaus Linkin Park dan celana santainya sudah berganti menjadi pakaian khas Adriaan van Denveer. Pegangan tangga rumahnya pun berubah menjadi ukiran kayu yang lebih kuno. Begitu ia mengangkat kepala, lampu rumahnya sudah berubah menjadi lampu gantung klasik abad 20. Lampu gantung yang berlapis tembaga kuning dengan lima mangkuk membentuk lingkaran. Lantas ia berbalik, berhadapan dengan pria paruh baya berambut cokelat yang menatapnya tajam.

Mau tidak mau, ia menapaki lantai rumah yang berdentum karena sepatunya. "Iya, Pa." Kemudian ia mengikuti ke mana ayahnya melangkah.

"Papa tidak melarangmu berhubungan dengan perempuan mana pun, kecuali Fleur Jansen." Ayahnya serta-merta mengucapkan kalimat tersebut begitu mereka sampai di ruang kerjanya.

"Tidak bisa, Pa," jawabnya singkat tanpa ada rasa keraguan.

"Jangan membuat Papamu naik pitam! Kau satu-satunya penerusku dan Papa mendukungmu dalam segala hal."

Dihelanya napas sembari menatap lekat manik mata yang mirip dengannya. "Saya menjalani pendidikan dengan baik dan memang akan menjadi penerus Papa juga. Lantas apa hubungannya dengan Fleur?"

"Adriaan, tinggalkan saja gadis itu," ucap Papa dengan penuh penekanan.

"Kenapa? Dia tidak menganggu apapun yang akan saya jalani."

"Tapi dia akan, jadi tinggalkan gadis itu."

"Jika ini hanyalah pertikaian yang terjadi antara Papa dan Meneer Jansen. Saya dan Fleur tidak termasuk di dalamnya."

"Jangan membantah!" Pria paruh baya itu menggebrak meja kerjanya.

"Saya tidak pernah membantah Papa. Saya hanya melakukan apa yang ingin saya lakukan. Jangan mengatur hati saya, Pa. Karena saya pun tidak punya kuasa mengendalikannya."

Fleur, bunga dalam bahasa Prancis. Juga bunga tidurnya di sepanjang malam. Ia tidak akan pernah melepaskan gadis itu.

11 Februari 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro