12. De Storm (Gemuruh)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Adriaan!” Garritt memanggilnya ketika ia hendak melintasi lapangan.

Mereka berada di satu jurusan yang sama bahkan satu kelas. Tapi tidak jauh berbeda ketika mereka masih menimba ilmu di HBS. Mereka jarang bicara banyak, hanya sekedar bertegur sapa seadanya. Itu pun hanya terjadi ketika Adriaan menitipkan sesuatu untuk Fleur atau sebaliknya. Garritt dengan tubuhnya yang lumayan jangkung itu berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Tidak banyak kemiripan antara kakak-beradik Jansen itu. Satu yang Adriaan katakan sama adalah kecerobohan mereka.

Seperti saat ini, Garritt sudah tiga kali menabrak bahu orang-orang yang dilewatinya.

“Hah... Adriaan, kau macam hantu! Aku lengah tiga detik memasukkan buku ke tas. Kau sudah menghilang begitu saja,” tutur laki-laki itu panjang lebar.

“Ada apa?” tanya Adriaan secara langsung. Tidak menanggapi keluhan Garritt barusan.

“Bisa tolong bantu aku saat ujian kelulusan nanti?”

Adriaan mengangkat sebelah alisnya. Memandang laki-laki itu dengan tatapan sedatar ucapannya. “Mungkin.”

“Ah! Kau itu terlalu serius..” Garritt menepuk bahunya sambil terkekeh. “Bisa kita bicara di tempat yang aman?” Wajah Garritt berubah menjadi serius saat menanyakan itu.

Adriaan mengangguk mengiyakan. Setelahnya mereka berjalan menuju halaman belakang RHS. Hanya ada beberapa orang di sana yang tampak sibuk dengan buku-bukunya. Mereka memilih duduk bersila di bawah pohon beringin yang rindang. Tempat ini lebih cocok untuk tidur siang daripada belajar bagi Garritt. Melihat betapa asri, sunyi ditambah angin sepoi-sepoi di sekitar sini.

“Adriaan, kali ini aku ingin bicara sebagai teman. Bukan Kakak dari Fleur Jansen.” Garritt memandang ke arah langit saat mengatakannya. “Jadi, mari kita bicara secara terbuka.”

Adriaan menganggukkan kepala seraya berujar, “Bisa..”

Terdengar aneh. Ini kali pertamanya mereka duduk bersebelahan layaknya kawan lama.

Laki-laki itu berdecak saat menoleh ke arahnya. “Benar apa kata Fleur, kau benar-benar irit bicara.”

Adriaan terkekeh. “Aku tidak pernah begitu yakin ada orang yang ingin mendengarku bicara panjang lebar. Kecuali orang rumah.”

Garritt mengibaskan sebelah tangannya. “Tandanya kau bukan perayu yang ulung.” Lalu kedua alisnya bertaut. “Tapi mengintip sedikit surat-suratmu untuk Fleur, aku justru merasa kau lebih cocok di jurusan sastra.”

Adriaan mendelik tajam karena merasa ditelanjangi hanya lewat surat. “Jadi kau yang pertama membacanya?”

“Antara iya dan tidak. Sudahlah lupakan, topik pembicaraan kita bukan isi suratmu yang mampu membuat perempuan sakit gigi.”

Adriaan terkekeh pelan karena kalimat terakhir.
“Kau sudah bertemu Espen?” lanjut Garritt.

Mendengar nama Espen disebut, wajahnya kembali berubah serius. “Aku tidak sengaja memukulnya dua hari yang lalu. Bukan, bukan karena ia dijodohkan dengan Fleur. Tapi karena kalimatnya yang tidak pantas saat kami membicarakan adikmu.”

Tangan Garritt mengepal kuat. “Aku tidak begitu menyukai perangainya. Macam anjing jalanan yang mengais tulang.” Ia menoleh, mengangkat sebelah alisnya. “Tunggu.. Kau tidak cemburu? Sama sekali? Kau terdengar seperti pasrah dengan keadaan.”

“Itu bukan caraku, Garritt. Kita sangat tahu bahwa Meneer Jansen tidak begitu menyukaiku.”

“Ralat. Sangat amat tidak menyukaimu, Adriaan.” Koreksi Garritt tanpa merasa bersalah.

“Ya.. intinya begitu. Aku tidak pernah tahu kalau posisi ayahku di NHM sudah mendepak Meneer Jansen.”

“Factoriij tersebut sumber keuangan terbesar bagi bangsa kita di Hindia Belanda, Adriaan. Orang-orang yang bisa duduk di kursi penting NHM mendapat pengakuan lebih dari Ratu Wilhelmina."

Entah kenapa Adriaan tidak begitu setuju saat Garritt mengatakan bangsa kita. Tidak, ia tidak pernah ingin menjadi bagian dari orang-orang yang memaksa manusia bekerja rodi membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Sepanjang kurang-lebih 1000 km, tanpa belas kasihan. Bahkan terjadi pembunuhan keji ketika proyek Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu sempat sedikit macet atau tertunda. Kepala pekerja pembangunan jalan tersebut digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan.

Ya, De Grote Postweg itu memang sangat berguna sekarang. Tapi mengingat pertumpahan darah dan air mata dari pribumi di baliknya. Membuat Adriaan sanksi untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Bayangkan, belasan ribu pekerja tewas saat pembangunan jalan tersebut.

“Bulan depan Fleur lulus dari HBS..” lanjutnya.

“Iya, aku tahu,” sahutnya dengan pandangan menerawang. Namun gemuruh badai timbul dalam benaknya.

“Kau tidak akan membawanya kabur dari keluarga kami kan?”

Adriaan berdecak. “Aku belum segila itu, Garritt.”

“Sesungguhnya aku lebih senang melihatnya denganmu. Tapi aku tidak dapat berbuat banyak.” Garritt menepuk pundaknya. “Bawa saja dia kabur, aku tidak keberatan.” Lantas pria jangkung itu beranjak dari duduk.

“Bagaimana jika semesta menentang kami, meski aku membawanya kabur?”

***

Seminggu setelah Revan mampir di sebuah toko bunga sebelum menjenguk ayah Juwita. Hari ini ia kembali lagi berdiri bersandar pada mobilnya menatap toko itu. Masalahnya ia datang terlalu pagi sehingga toko itu belum buka. Dan seminggu adalah waktu yang sangat menyiksa untuk menahan rasa penasarannya. Kenapa wanita tua itu mengenal Adriaan van Denveer? Perkara toko bunga ini, Revan tidak mengandalkan Choky. Laki-laki itu sedang ada masalah dengan pacar putus-nyambungnya.

Tepat ketika papan dengan tulisan closed itu dibalik menjadi open, Revan melangkahkan kakinya. Aroma dari berbagai macam bunga menyerang indra penciumannya, usai Revan mendorong pintu.

“Cari bunga apa, Mas?” tanya seorang perempuan yang pernah ditemuinya di toko ini.

“Saya ingin.. bertemu nenek yang duduk di kursi roda,” jawab Revan dengan ragu. Tidak begitu yakin ia dapat menemui wanita tua itu lagi atau tidak.

Kening perempuan itu berkerut dalam. “Maaf Mas.. Ada perlu apa ya dengan nenek saya?”

Revan berpikir keras demi mencari sebuah alasan. Iya, juga. Revan belum memikirkan alasan logisnya untuk bertemu nenek itu. “Saya.. sedang mencari orang. Kebetulan waktu pertama saya ke sini. Neneknya Mbak kenal orangnya.”

Sempat ada kilat ragu di mata perempuan itu sebelum berujar, “Tapi nenek saya tidak bisa bicara panjang lebar. Sekarang juga sudah pikun, Mas. Maklum.. umurnya 90 tahunan lebih.” Ia menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan. “Kalau diajak ngobrol pun.. mungkin jawabannya agak nggak nyambung.”

Revan menghela napas panjang. “Tapi saya boleh ketemu?”

Perempuan itu mengangguk sebelum menghilang di balik pintu sana. Benar juga, Revan mulai mengkalkulasi umur nenek itu dengan masa deja vu-nya berlangsung. Kemungkinan besar wanita tua itu masih balita saat mengenal Adriaan van Denveer. Kira-kira informasi apa yang dapat dibagikan oleh anak seusia balita? Mendadak Revan memijat batang hidungnya.

Entah kenapa perkara identitas Adriaan van Denveer ini lebih berat daripada masalah pembebasan lahan dan korupsi manajer keuangan di kantornya. Ketika berbalik ia berhadapan dengan wanita tua yang duduk di kursi roda. Menarik napas panjang, Revan mencoba menghampiri wanita tua itu.

“Tuan... Adriaan?” tanya wanita itu ketika Revan berjongkok di depannya.

Lagi. Bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata wanita itu.

“Saya bukan, Adriaan. Saya Revan..” ujar Revan pelan.

“Maaf.. kamu mirip dengannya.” Wanita itu kembali menangis. “Tuan Adriaan baik pada Bapak dan saya ketika kami bekerja di rumahnya. Tuan Adriaan adalah bagian dari kami. Saya tidak pernah melupakan kebaikannya meski saat itu saya masih sangat kecil. Seusia anak SD,” celotehnya seraya mengusap air mata.

“Nenek tahu dimana makamnya?”

Terdiam sejenak wanita tua itu melanjutkan, “Tuan Adriaan tidak pernah kembali setelah malam itu. Bapak bilang Tuan Adriaan dibunuh orang jahat.”

Revan merasa jantungnya berhenti berdetak. Mendengar fakta bahwa Adriaan van Denveer dibunuh seolah menciptakan gemuruh dalam benaknya. Tidak tahu pembunuhan macam apa yang terjadi dengan pria Indische itu. Revan hanya merasa ia sedekat nadi dengan Adriaan. Laki-laki itu seolah menjadi bagian dari potongan masa lalunya yang sangat tidak masuk akal.

Ya, Revan tahu. Adriaan pernah hidup dan perjalanan hidupnya menjadi deja vu Revan selama ini. Hanya saja, apa hubungannya dengan laki-laki itu? Mereka tidak memiliki ikatan darah. Ia bukan dari garis keturunan Adriaan van Denveer.

“Meneer sakit parah setelahnya. Kami semua dipaksa berhenti bekerja dari rumah Nyai.” Lanjutnya.

“Nenek tahu dimana makam Tuan Adriaan?” tanya Revan sekali lagi.

Wanita tua itu menggeleng pelan sebagai jawabannya.

“Nenek ingat di mana rumah Meneer dan Nyai sewaktu di Batavia?”

Dan wanita tua itu kembali menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

***

Orang-orang yang berlalu-lalang menggeret koper mereka menjadi pemandangan Revan detik ini. Setelah menemui satu-satunya saksi mata hidupnya Adriaan van Denveer, ia memutuskan untuk terbang ke Amsterdam. Mencari apa saja yang bisa ditemukannya. Jabatannya di Prana Corp. membuatnya begitu mudah cuti kapan saja. Dengan catatan memantau jarak jauh.
Satu-satunya orang yang dapat ia percaya untuk menemaninya adalah orang yang kini tengah menyodorkan paper cup.

“Yakin nih kita mau ke Amsterdam?” tanya Choky.

Revan meraih paper cup itu dari tangan Choky. “Menurut otak lo yang IQ-nya sedikit di atas orang normal. Kita mau apa di bandara pagi-pagi buta?”

Laki-laki itu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. “Ya barang kali mau memandangi pramugari yang aduhai.” Lantas menaik-turunkan alis.

“Halah, lo aja gampang merana cuma karena Femina enggak angkat telepon.”

Choky berdecak, ia sangat tahu ini merupakan topik yang sangat sensitif bagi temannya. “Jangan bawa-bawa bidadari gue.”

Revan menyeringai saat menatap Choky. “Kaum lemah wanita.”

“Nanti lo juga begitu, Van. Kalau udah menemukan seseorang yang membuat lo enggak bisa tidur. Karena..” Choky mengangkat jari telunjuknya. “Wajahnya ada di mana-mana, termasuk langit kamar.”

“Bisnis gue yang ada di mana-mana.”

“Sombong tingkat langit ke tujuh!”

Revan terkekeh pelan karena seruan Choky. “Itu fakta, Ky. Bukan omong kosong.”

“Ya terserahlah..”

Di tengah-tengah kegiatan menyesap kopi dari paper cup. Ponsel di saku celananya berdering. Setelah merogoh saku, matanya menemukan nama Juwita menari di layar ponsel.

“Halo?”

Sunyi senyap di seberang sana membuat Revan memanggil nama wanita itu. Hingga suara bergetar menyapa gendang telinganya. “Papa saya... Papa saya udah pergi..”

Ia lantas duduk tegak, menyerap apa yang baru saja Juwita katakan. “Sekarang kamu di mana?”

Ada suara isakan tertahan di sana. “Saya masih di rumah sakit..”

"Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana sampai aku datang," ujar Revan seraya berdiri. Telepon diputus setelah ia mendengar Juwita berkata iya di seberang sana. Revan tidak memikirkan hal lain lagi, bahkan kata ganti saya menjadi aku terjadi begitu saja tanpa disadari.

“Mau ke mana, Van??” tanya Choky yang ikut berdiri karena merasakan temannya dalam kondisi gusar.

“Rumah sakit,” jawabnya singkat.

“Kita flight dua puluh menit lagi, Man. Memang siapa yang sakit?”

“Papanya Juwita meninggal.”

Alis tebal di wajah Choky bertaut dalam. “Kita mau ke Amsterdam, Van! Lo mendadak amnesia?”

“Batalkan aja, Ky.” Revan berkata sesingkat itu sembari berlalu. Meninggalkan Choky bersama koper mereka dan tanda tanya.

***

* De Grote Postweg : Jalan kantor pos yang dibangun pada masa pemerintahan Daendels. Dari Anyer (Banten, Jawa Barat) sampai Panarukan (Ujung Jawa Timur). Jadi di tiap 4,5 KM ada kantor pos yang berguna menampung dan menyampaikan surat-surat.

Terima kasih sudah mampir :)

06 Mei 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro