13. Verbliejf Hier (Tetaplah Di Sini)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kata orang bijak, setiap tetes air yang jatuh membasahi bumi adalah berkat terbaik dari Sang Pencipta. Namun berbeda dengan tetesan air yang membasahi pipi wanita itu. Dia sedang merasakan suatu kehilangan yang hebat. Hingga bernapas saja rasanya sulit. Lydia yang duduk di sampingnya mengusap bahunya pelan. Sementara Juwita berusaha menarik napas panjang. Wanita itu mencoba mencari sisa-sisa kekuatan di antara tautan pada jemarinya sendiri. Sebab tidak ada yang dapat memberinya kekuatan selain dirinya sendiri dan Sang pemegang kendali takdir.
Bukan, ini bukan Juwita Kaluna yang seharusnya, pikirnya.

Seharusnya Juwita Kaluna itu sekuat batu karang yang biasa diterjang ombak. Namun.. bukankah batu karang juga akan hancur jika terus-menerus diterjang ombak? Kalau begitu ini adalah hari kehancurannya. Pada akhirnya Juwita tetap akan menyusuri jalan setapak gelap itu sendirian. Papa sudah berjuang terlalu lama bersama alat-alat yang menyakitkan itu. Juwita tidak boleh egois. Kepergian Papa berujung melepaskan rasa sakit yang selama ini pria itu derita.

Kata takut seharusnya menjadi kata sekian yang ia keluarkan. Hidupnya harus terus berjalan dengan atau tanpa Papa.

"Ly.. lo udah tau.." Juwita berhenti untuk mengenyahkan sesak yang membuatnya sulit bicara. "Siapa yang melunasi semua biaya Papa?" Sekarang ia menoleh menatap Lydia secara langsung. Tidak peduli dengan keadaan wajah atau matanya saat ini.

Lydia adalah orang pertama yang boleh melihatnya lemah kapan saja.

Seminggu belakangan ia memang meminta Lydia untuk membantunya mencari tahu orang yang melunasi biaya rumah sakit ayahnya. Tidak banyak yang Juwita ingin lakukan setelah mengetahui siapa orangnya. Paling tidak ia wajib mengucapkan terima kasih dan bersedia melakukan apa saja yang bisa ia lakukan untuk orang itu. Lydia sudah menjadi bagian dari Pranadipa. Tentu saja hal semacam itu bukan perkara sulit bagi Lydia.

Lydia diam begitu lama hingga ia kembali memanggil nama wanita itu. "Udah, Ta.." jawab wanita itu.

"Iya, siapa, Ly?" Juwita menggenggam kedua tangan sahabatnya itu.

"Orangnya.. Baru aja menelepon lo sepuluh menit yang lalu."

Dua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Juwita belum amnesia siapa yang terakhir kali diteleponnya sebelum kembali duduk di samping Lydia. "Maksud lo.. Itu enggak mungkin banget, Ly.."

"Menurut lo kenapa hal itu enggak mungkin dilakukan seorang Revandio Pranadipa?"

"Gue enggak membahas mengenai kemampuan finansialnya, Lydia. Tapi untuk apa dia buang-buang uang, maksud gue.." Tiba-tiba Juwita kehilangan kata-katanya.

Lydia hanya memandang sahabatnya yang mendadak terlalu idiot semenjak menjadi karyawan Revan. Mungkin orang-orang yang bekerja dengan Revan, otaknya bisa tumpul. Karena laki-laki itu berubah menjadi Godzilla hanya karena masalah pembebasan lahan yang tidak semulus rencana. Dan sayangnya Lydia malah memikirkan laki-laki malang yang terjebak sebagai tangan kanan Revan namun sudah berhasil membobol gembok hatinya.

Rifaldi Mahardika. Siapa lagi?

Aldi terlalu sering bersama Revan, sehingga kemanusiaannya perlahan meluntur. Laki-laki itu terdeteksi sebagai robot yang mirip Revan. Hanya saja rating-nya masih sekitar tiga puluh persen di bawah kakak tirinya. Karena remot dari robot Aldi ada di tangan robot Revan.

"Lo tau? Revan orang yang cukup perhitungan meski dia sanggup membeli pulau kalau mau. Dia orang yang enggak akan mengeluarkan sepeser uang untuk hal yang sia-sia, Ta. Dan gue rasa lo adalah orang yang tidak masuk dalam persentase kerugian ala Revandio Pranadipa. Sekalipun dia jual semua sahamnya buat lo."

Juwita menggeleng. Ia masih bersikeras menentang fakta. "Lo berlebihan. Revan masih lebih miskin dari Bill Gates."

Lydia merubah raut wajahnya sedatar mungkin. "Boleh jadi dia cuma General Manager di perusahaan keluarga karena masih ada Papa dan Om-Tantenya. Tapi kan dia founder sekaligus owner di beberapa bisnis yang dia bangun sama teman-temannya." Mengibaskan tangan, Lydia kembali melanjutkan, "Abaikan Bill Gates, Bapak-bapak itu terlalu jauh untuk dijadikan barometer."

Pertama, Revan terlalu bodoh menyadari bahwa laki-laki itu sebenarnya punya rasa lebih terhadap temannya. Kedua, Juwita terlalu idiot karena sampai tidak menyadari sebuah sinyal sama sekali dari kakak tirinya. Tidak mengerti juga kenapa terjadi hal yang disebut disconnected terhadap dua orang itu.

"Lantas?" Juwita bertanya dengan kedua alis bertaut.

"Sepertinya gue harus pulang dulu deh, Ta." Kebetulan Lydia melihat jelas kakak tirinya yang berjalan terburu-buru di koridor sana.

***

"Mau ke mana?" Revan menahan sebelah tangan Lydia ketika berpapasan.

"Gue cukup di bagian mengurus pemakaman Papanya Juwita aja," jawab Lydia.

"Orang-orang gue udah mengurus itu semua." Untuk pertama kalinya mereka berpapasan tanpa ada bumbu debat sama sekali. Bahkan dari sorot mata masing-masing. "Dia membutuhkan lo di saat seperti ini. Dan salah satu bantuan yang tepat adalah tetap di sampingnya."

Senyum Lydia yang terasa asing itu mengembang. Kali ini bukan senyum mengejek yang biasanya sukses membuat darah Revan naik ke ubun-ubun. "Dulu. Saat kami masih SMA, dia butuh gue temani. Mulai sekarang dia membutuhkan lo dan mulai sekarang juga gue berani menemani yang lain."

Tatapan dari wanita itu seolah berhasil menerobos pikiran yang selama ini tertutup. "Apa maksud lo?" tanya Revan pelan.

Lydia mendesis. "Lo ternyata tidak secerdas yang gue kira Yth. Bapak Revandio Pranadipa. Let me go and hold her tight."

Hold her tight. Kalimat itu terulang hingga lengan Lydia terlepas begitu saja darinya.

"Van.."

Revan berbalik karena Lydia memanggilnya.

"Gue suka sama Aldi."

Ini kali pertamanya Revan melihat binar di mata adik tirinya. Tapi ya.. Revan tetap lah Revan dalam keadaan apapun.

"Terus lo berharap aku jadi mak comblang? Itu enggak akan terjadi, Lydia. Pekerjaan ya pekerjaan. Urusan pribadi ya urusan pribadi."

Lydia memunggunginya sembari mengibaskan sebelah tangan. "Memang enggak ada gunanya punya Kakak macam lo."

Sikap Lydia yang sekarang menyebabkan kekehan lirihnya mengudara. Menjadi anak tunggal dari milyader bernama Lesmana Pranadipa membuatnya berpegang teguh bahwa waktu adalah uang. Memang uang bukanlah segalanya. Namun uang membuat segalanya jadi mudah. Begitulah kira-kira prinsip yang bersarang di otaknya selama ini. Contohnya sebelum ia merencanakan pergi ke Amsterdam, Revan sudah mengalihkan separuh pekerjaannya pada Rifaldi Mahardika.

Dalam keadaan sadar Revan membuka ruang chat mereka. Ya, isinya tidak lain dan tidak bukan adalah ejekan, hujatan dan sindiran. Tidak lebih dari itu. Akan tetapi, kali ini Revan malah mengirimkan sebuah alamat.

Lydia kembali berbalik secepat kilat setelah beberapa langkah. "Apa ini?" Ia bertanya sembari memamerkan layar ponsel.

"Tadi gue menelepon Aldi, katanya dia sakit. Barang kali lo mau menjenguk," ucap Revan dengan ekspresi yang tidak pernah berganti di wajahnya. Datar tanpa minat.

Mendengar itu, mulut Lydia terbuka lebar bersamaan dua alisnya yang terangkat tinggi-tinggi. "Van, besok lo belum mau mati kan?"

Bagaimana pun Lydia, tetap terasa kurang ajar bagi Revan.

"Lo masuk daftar salah satu orang yang enggak tahu diri setelah gue tolong."

"Aww.. Aku sayang kamu!" Wanita itu hendak bergerak menerjangnya.

Revan sontak mengangkat sebelah tangannya. "Stop sampai sana! Alergi gue bisa kambuh!"

Lydia mengernyitkan dahi sembari memandang dengan pandangan jijik. "Lo alergi sama perempuan? Lo bahkan udah mencium Juwita lebih dari tiga kali!"

Tatapan tajam langsung Revan layangkan. "Gue alergi dengan sifat manja lo. Jadi jauh-jauh dua meter!" Berdeham sejenak, Revan kembali melanjutkan, "Jangan melebih-lebihkan fakta. Nyatanya gue cuma melakukannya sekali dan enggak sadar..."

Terkekeh pelan, Lydia menggerakkan jari telunjuknya di depan wajah Revan. "Revan, 99% laki-laki berlomba-lomba ingin memanjakan gue." Lydia mengibaskan rambutnya. "Yang 1% sudah pasti orang tidak normal dan itu e-l-o."

Mendengar penuturan Lydia yang tidak pernah mau kalah sombong dengannya. Revan menganggukkan kepala lamat-lamat. "Oh iya, lo benar. Dan Aldi juga termasuk di dalam 1% itu." Lantas ia menyeringai sebelum berlalu meninggalkan Lydia.

Sejujurnya Lydia ingin melempar apa saja di sekitarnya ke arah laki-laki itu. Kalau saja membunuh tidak masuk di dalam undang-undang. Sudah sejak lama Lydia menyewa penembak jitu. Demi membumihanguskan kakak tirinya.

***

Langkah kaki Revan berhenti di samping wanita yang tengah duduk sendirian di depan kamar pemandian jenazah. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Dan wajahnya sengaja ditutup oleh kedua telapak tangannya. Tatanan rambutnya tidak serapih biasanya. Sesekali bahu itu berguncang pelan.
Juwita menangis tanpa suara.

Sekretaris yang tidak jarang mendebatnya mirip ibu-ibu gila harga goyang di pasar. Sekarang lebih mirip cerminan dari lagi Maroon 5 berjudul she will be love. Tentu saja, detik ini Revan datang bukan untuk membawa Juwita ke arena debat apalagi arena tinju. Sebab tinjuan perdana dari Juwita di pernikahan ayahnya masih sangat bekas. Dari rasa sakit sampai tulang hidungnya yang hampir patah.

"Juwita.." panggilnya pelan.

Wanita itu mengangkat kepalanya. Jejak-jejak air mata itu sangat terlihat jelas. Bahkan hidung Juwita yang memerah dan bibir pucatnya. Kemudian, Juwita memeluknya erat. Dan Revan merasa seperti memeluk seseorang yang sudah dirindukannya setengah mati. Hal aneh itu menyerangnya begitu saja.

Juwita Kaluna adalah orang asing yang bekerja sebagai sekretarisnya. Akan tetapi, Revan selalu merasa, wanita itu adalah separuh nyawanya.

Juwita Kaluna bukan semacam cinta pertama atau bahkan kekasihnya. Akan tetapi, Revan selalu merasa, wanita itu seharga jiwa dan raganya.

Kenapa begitu? Deja vu-nya sebagai Adriaan van Denveer seharusnya tidak memberi dampak lebih terhadap hidupnya. Adriaan memang mencintai Fleur, tapi tidak lantas membuatnya juga mencintai duplikat dari dara jelita itu kan? Iya, seharusnya begitu.
Otak dan hatinya berkata, lepaskan Juwita. Tapi raganya bertolak belakang, Revan justru mengusap punggung wanita itu lembut. Memberi kecupan samar di bahu Juwita. Seharusnya persendian di seluruh tubuh bekerja atas perintah otak. Akan tetapi, Revan tidak tahu siapa yang jadi penggerak raganya detik ini.

"Verblijf hier.." pinta Juwita di sela-sela isakannya.

Juwita Kaluna sadar bahwa apa yang dilakukannya detik adalah hal yang tidak layak dilakukan. Revan itu atasannya dan ia sendiri salah satu dari karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinan laki-laki itu.

Revandio Pranadipa adalah orang asing yang kebetulan dikenalnya sebagai kakak tiri Lydia. Tapi Juwita selalu merasa, laki-laki itu menjadi kebutuhannya. Setara dengan setiap udara yang dihirupnya.

Revandio Pranadipa juga bukan kekasihnya. Tapi Juwita selalu merasa, hanya ia satu-satunya yang akan menjadi tempat pulang untuk laki-laki itu. Juwita seperti mengulang kejadian di pesta pernikahan Lesmana Pranadipa. Ia seolah tidak memiliki raganya sendiri. Bukan Juwita yang mengendalikan dirinya sendiri.

"Ik ben altijd hier.." sahut Revan secara spontan.

Percakapan singkat yang terlontar tanpa proses otak masing-masing, menjadi sebuah kunci dari pintu bernama dimensi waktu.

*Verbliejf Hier : Tetaplah di sini
*Ik ben altijd hier : Aku selalu di sini.

Sorry ini sebenarnya mau bikin angst gitu kan cuma kok ya gak bisa💔

Yodalahya :v

Btw, 1/2 Sendok Teh memang receh yang apaya.. ya lebih bucin dari receh Aradi yang lain sih. Soalnya gimana ya.. kan membawa kisah cinta belum tuntas gitu di masa kolonial cuy, jadi maklum aja kalo gaya bahasanya begini 😂

Terima kasih sudah mampir 😊

18 Mei 2020.

Kali aja ada yg mau polow Ig ku 🤭💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro