17. Doppelganger

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cumulonimbus tidak bertengger di atas kepala Revan. Namun, menggelayuti sepasang mata Juwita. Area pemakaman yang sudah sepi sejak sekian puluh menit lalu menyisakan mereka berdua bersama keheningan. Tidak ada percakapan, Juwita dengan monolognya dan Revan dengan pembangunan dinding lamunannya.

Juwita terpaku bersama rasa kehilangan. Di setiap kepergian dari orang-orang tercinta memang selalu seperti itu. Orangnya sudah tak dapat disentuh bahkan dilihat. Namun kenangannya tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Akan tetap ada selama kita masih bisa merasakan oksigen masuk ke paru-paru.

Raga Revan tetap menemani Juwita sampai detik ini. Namun, pikirannya mengkhawatirkan dara jelita dalam déjà vu. Apa yang terjadi dengan gadis itu setelah kembali ke penjara megahnya? Parah.. Revan harus menghentikan pikiran gilanya yang satu ini. Lagi pula untuk apa ia menghabiskan waktu memikirkan Fleur Jansen? Toh, déjà vu déjà vu itu juga akan merangkai cerita dengan sendirinya tanpa perlu remot atau kursor.

"Ta, ayo kita pulang,.." ajak Revan untuk yang ketiga kalinya. Upayanya membatalkan pembangunan dinding lamunan telah berhasil.

Juwita bergeming dan Revan menghela napas. Mereka berdua pernah berada di posisi ini, Revan mengerti. Ia pernah kehilangan ibunya dan itu adalah rasa sakit yang hebat bagi Revan. Hanya saja Juwita merasakannya dua kali, sementara Revan sekali. Atas nama Sang Pencipta pun Revan enggan merasakannya dua kali. Kepala Revan tertoleh dan mendapati Juwita yang matanya terpejam.

"Kamu tahu kenapa aku belum ingin beranjak dari sini?" tanya Juwita.

Revan tidak menjawabnya, karena ia yakin saat ini Juwita Kaluna hanya butuh didengarkan.

"Aku merasa ... Aaku enggak memiliki banyak waktu dengan Papa. Dan aku memang sudah kehilangan beliau dua tahun lalu. Aku cuma menipu diriku sendiri, Papa memang enggak bisa bertahan lebih lama. Alat-alat itu lebih menyiksanya ketimbang membuat Papa terlepas dari sakit." Juwita menatapnya sendu.

"Aku gagal berbakti.." Lalu bulir air matanya luruh.

Selanjutnya yang Revan pilih adalah merengkuh Juwita tanpa ragu. "Enggak ada yang mengatakan kalau kamu gagal berbakti.. Kamu sudah melakukan semuanya. Sampai batas akhir kemampuan kamu."

"Sejak tadi aku berpikir, apa selama ini aku melakukan hal yang sia-sia? Karena sejak awal harusnya aku memang merelakan Papa pergi dengan Mama."

"Sedetik yang lalu aku sudah bilang, kan? Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk Papa selama ini." Sebelah tangannya mengusap surai Juwita lembut. "Aku memang enggak mampu mengisi ruang kosong yang Papa dan Mama tinggalkan. Tapi aku akan selalu ada, tanpa perlu kamu cari.."

Ucapan terakhir Revan di ujung percakapan mereka membuat Juwita mengeratkan pelukan.

Ajaib sekali bagaimana Revan dengan mudahnya menjanjikan hal semacam itu. Mereka tidak memiliki hubungan yang lebih dari lingkup pekerjaan. Sejak kapan juga Revan mulai sepicisan ini? Ah, persetan. Ia tahu Juwita membutuhkannya, magnet dalam tubuh wanita itu yang menyampaikannya. Lagi, Juwita menangis di bahunya. Terserah, Revan tidak peduli jika Juwita kembali meninju hidungnya. Kali ini ia mengecup puncak kepala Juwita cukup lama.

Layaknya dua kepingan utuh yang menyatu. Yakni kepingan yang tadinya hilang membawa sesuatu bernama separuh jiwa. Begitulah cara bahasa tubuh mereka saling bicara. Meski sudah kedua kali, segumpal kata asing bernama rindu tetap hinggap dalam sanubari. Apa yang dimaksud dengan kata asing tadi? Karena mereka memang tidak pernah saling menitipkan rindu. Bahkan sekedarsekadar mencetuskan kata itu dalam otak pun tidak.

Lantas rindu yang hinggap begitu nyata tanpa dapat tersentuh namun mengikat erat, sebenarnya milik siapa? Jika mereka tidak saling mengakui sebagai pemilik.

Dan pertanyaan belum terjawab hingga rintik hujan mulai jatuh ke permukaan tanah. Juwita mungkin tidak akan pernah melupakan Adriaan sebagai mimpi terindah dari segala mimpi indah dalam lelapnya. Namun kali ini, ia memilih membiarkan dirinya hanyut dalam pelukan Revan. Sebab laki-laki itu memeluknya sebagai Juwita Kaluna. Sedang Adriaan memeluknya sebagai orang lain, Fleur Jansen. Kalau boleh, Juwita ingin Revan tetap memperlakukannya seperti ini. Rasanya begitu nyaman.

***

"Lydia, lo pernah mengalami déjà vu?" Juwita bertanya ketika melihat Lydia yang menelungkup dengan kaki terangkat di atas kasur.

Kening Lydia berkerut samar sebelum berucap, "Enggak pernah. Kenapa memangnya?"

Juwita sadar ia sudah mengalaminya berbulan-bulan, tapi ia belum pernah menceritakannya pada Lydia. Alasannya sepele, ia hanya menganggap itu hal yang tidak penting. Namun setelah pulang dari pemakaman Papa bersama Revan. Déjà vu-nya tentang Adriaan dan Fleur mendominasi pikiran. Wanita yang Revan sebut gila itu bicara mengenai Adriaan dan Fleur. Dan wanita itu memanggilnya dengan nama Fleur.

"Ly, kalau tentang adanya reinkarnasi. Apa lo percaya?"

"Hmm ... fifty-fifty sih, Ta. Karena kepercayaan masing-masing orang tidak bisa dipaksakan," jawab Lydia.

Juwita lantas mendudukkan diri di samping Lydia. Ia sedang berpikir bagaimana mengawali cerita anehnya. Barang kali dengan menceritakannya pada Lydia dapat mengenyahkan benang kusut dalam otak.

"Gue belakangan ini sering mengalami semacam déjà vu, Ly. Gue merasa pernah hidup di zaman kolonial dengan nama Fleur Jansen. Wajah gadis itu agak mirip sama gue ...." Kalimatnya terhenti ketika Lydia tiba-tiba bangkit, mengabaikan agendanya.

Lydia yang sekarang terduduk, menatapnya cukup serius. "Terus??"

"Iya.. Dia punya hubungan dengan seseorang bernama Adriaan van Denveer. Dan-..." Juwita menarik napas panjang. "Adriaan ini entah kenapa mirip banget sama Revan," tuturnya.

Lydia mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamar.

"Lo mau tahu sesuatu? Supir Papa yang pernah mengantar lo pulang dari wedding party waktu itu cerita, katanya lo dan Revan akrab banget. Jelas-jelas gue tahu kalian enggak pernah saling kenal sebelumnya. Kalian ngobrol dengan bahasa ... kKalau gue tebak sih mungkin bahasa Belanda. Gue menyatukan fakta itu dengan cerita lo barusan."

Lantas Lydia kembali menatapnya lekat.

"Dan apa lo ingat saat insiden di pesta pernikahan? Saat gue cerita, kalau kami sampai nggak bisa bergerak. Semacam terkena sihir jadi manekin, cuma bisa lihat kalian berdua. Gue rasa déjà vu déjà vu yang lo alami juga ada hubungannya dengan kejadian-kejadian ganjil itu. Karena tadi lo bilang Adriaan sangat mirip Revan."

"Iya, gue juga merasa begitu." Pandangan Juwita kini menerawang. "Sehabis dari makam Papa, gue sama Revan ketemu orang aneh. Dia memanggil Revan dengan nama Adriaan. Dia juga bilang, kalian hanya perlu menuntaskan lembaran akhirnya supaya semua kepingan menjadi utuh. Gue belum berani menyimpulkan apa maksudnya. Tapi berdasarkan déjà vu, Fleur dan pacarnya itu memang enggak direstui orang tua mereka."

Lydia terdiam cukup lama setelah mendengar penuturannya. Ia juga bersyukur Lydia mau mendengarkan tanpa menjeda atau menganggapnya setengah tidak waras.

"Lo pernah dengar istilah doppelganger?"

Juwita menggelengkan kepalanya. "Belum, memangnya apa? Gue baru denger."

"Doppelganger dalam mitologi Mesir kuno adalah 'kembaran roh' berwujud yang punya perasaan dan ingatan yang sama dengan orang yang memiliki pasangan tersebut. Perempuan tadi benar-benar manggil lo sama Revan dengan nama Adriaan dan Fleur, kan?"

Juwita mengangguk lamat-lamat sembari berpikir keras.

"Fix, kalian doppelganger," ucap Lydia dengan penuh keyakinan.

Sejak dulu Juwita tahu jika Lydia memang penggemar berat mitologi Yunani sampai Mesir kuno. Istilah doppelganger yang Lydia sebut bisa jadi benar dan nyata.

Pertama ia memang mirip dengan Fleur Jansen.

Kedua, déjà vu déjà vu dan perasaannya ketika bersama Revan sulit ditampik. Belum lama ia bahkan bisa merasakan apa yang Fleur rasakan terhadap Adriaan dalam sosok Revan. Revan yang ada di dunia nyata, bukan Adriaan dalam déjà vu-nya.

Juwita bisa merasakan jika rongga dadanya menghangat hanya karena Revan meraih tangannya. Iya, laki-laki yang menjadi atasannya di kantor. Laki-laki yang ucapannya terkadang lebih pedas dari kiloan cabai di pasar. Penggemar berat Linkin Park dan punya selera warna favorit yang payah. Sebab dari barang-barang yang Revan punya tidak memiliki warna lain selain hitam dan putih.

"Tapi gue merasa ini tetap tidak masuk akal. Maksud gue, mungkin cuma gue yang mengalami ini sendirian. Sementara Revan enggak mungkin.," Llanjut Juwita.

"Takdir itu selalu menendang kata tidak mungkin jauh-jauh, Ta. Mungkin, Fleur dan Adriaan di kehidupan sebelumnya punya sesuatu yang ingin dituntaskan. Tapi maut lebih dulu menjemput ...."

Jadi, Juwita dan Revan harus melanjutkan kisah gadis Nederlander dan pria Indische di zaman kolonial itu?

"Tapi gue perlu mencari informasi dulu, apa Adriaan dan Fleur memang benar pernah hidup di dunia ini atau khayalan gue semata."

"Lo kan punya garis keturunan Belanda, Ta. Coba deh lo tanya lewat pihak keluarga Papa."

Saran Lydia menjadi akhir dari pembicaraan rumit serta tidak masuk akal yang berawal darinya. Juwita akan mencari tahu tentang silsilah keluarganya besok. Rasa penasarannya jadi meledak. Sebab wanita gila yang ia temui di pemakaman seperti mencoba menyatukan kepingan déjà vu-nya.

Kemudian sebuah pertanyaan lain muncul dalam benak Juwita.

Apa Revan mungkin juga pernah mengalami déjà vu déjà vu yang sama dengannya? Meski hanya sekali?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro