18. Een Feit (Sebuah Fakta)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu ruangan terbuka, awalnya Revan pikir itu Juwita. Namun di luar dugaan, yang berdiri di hadapannya dengan napas terengah-engah adalah Choky Siregar. Laki-laki itu berjalan mendekati mejanya bersama sebuah brankas di samping tubuh. Lantas Revan menutup berkas yang sedang ditekuninya. Beberapa teman Revan dari mulai, Kai, Seno atau Choky memang seringkali berkunjung. Akan tetapi, Choky datang hari ini tanpa meneleponnya terlebih dahulu. Itu yang membuat Revan agak terkejut.

"Ada apa ke sini?" tanya Revan.

"Gue datang ke sini mau membuktikan kesalahan lo." Choky langsung duduk di depannya tanpa dipersilakan. Lalu meletakkan kedua tangan di atas meja ditambah jemari yang bertaut.

"Lo datang ke sini cuma mau ngelindur? Pekerjaan gue masih banyak." Revan hendak kembali meraih berkas-berkas yang menumpuk di atas mejanya untuk diteliti.

"Pernyataan gue benar. Lo memang satu garis keturunan sama Adriaan."

Ucapan Choky membuat gerakannya terhenti disertai sebelah alis yang terangkat. "Jangan mengada-ada. Masa iya gue enggak tahu silsilah keluarga sendiri."

"Ya nyatanya lo memang enggak sepenuhnya tahu, Van." Kali ini Choky menyeret brankas dari samping kakinya ke atas meja.

"Ibunya Adriaan itu nenek buyut lo. Dia menikah dengan kakek buyut lo setelah Meneer van Denveer dan Adriaan meninggal. Lo mungkin cuma berpikir, mencari menggunakan marga Belanda dari silsilah keluarga lo. Tapi lo enggak pernah mencari tahu, tentang siapa itu Larasati Widyadharma alias Larasati Rahayu," jelas Choky.

Dahi Revan berkerut dalam. Larasati Widyadharma sudah pasti istri kakek buyutnya. Sebab berdasarkan silsilah keluarga, garis keturunan keluarganya dominan dengan nama belakang Widyadharma dan Pranadipa. Kemudian lembaran-lembaran duplikat dari lukisan dan foto-foto lawas terhampar di atas meja Revan.

"Gimana? Lo masih meragukan kekuatan super orang-orangnya Choky Siregar?" Satu sudut bibir Choky terangkat sempurna.

"Enggak mungkin."

Sebelah tangan Revan meraih selembar potret kuno wanita Jawa dengan kebaya hitam. Revan masih tidak percaya bahwa ia ternyata satu garis keturunan dengan Adriaan van Denveer. Berarti antara nyata dan tidak nyata, Adriaan van Denveer juga merupakan kakek buyutnya yang tidak tertulis dalam silsilah keluarga. Wanita dalam potret itu memang ibu dari Adriaan. Revan sangat mengenalnya, rangkaian déjà vu déjà vu itu melibatkan seluruh orang-orang terdekat Adriaan dan Fleur. Apa yang sebenarnya semesta inginkan dari semua fakta yang terbongkar ini?

Revan memijat pelipisnya.

"Dia istri kedua dari kakek buyut lo, setelah nenek buyut pertama lo meninggal. Dan Yth. Yang Terhormat Bapak Lesmana lahir dari keturunan Ibu Larasati Widyadharma. Meski sebagian sanak keluarga lo di Surabaya, juga ada yang terlahir dari nenek buyut yang pertama," tutur Choky.

"Itulah alasan kenapa lo bisa semirip itu dengan Adriaan. Gue dengar dari beberapa mitos, katanya memang di setiap keturunan itu akan ada yang memiliki wajah dan fisik yang mirip. Meski jaraknya jauh, contohnya lo dan Adriaan yang jarak kelahirannya jauh. Istilahnya itu reinkarnasi Van, cuma ada alasan tertentu kenapa fisiknya begitu mirip. Ada sesuatu di masa silam yang belum tuntas dan harus dituntaskan."

Matanya tidak beralih dari foto itu.

"Gue jadi ingat sama perempuan gila yang gue dan Juwita temui di makam. Dia manggil gue dan Juwita dengan nama Adriaan dan Fleur."

Choky terdiam cukup lama.

"Lo tahu doppelganger? Dalam mitologi Mesir kuno itu 'kembaran roh' berwujud yang punya perasaan dan ingatan yang sama dengan orang yang memiliki pasangan tersebut. Jangan-jangan lo berdua kayak gitu," jelas Choky.

Doppleganger? Apa mungkin Revan dan Juwita adalah doppelganger dari Adriaan dan Fleur? Ah, semua ini semakin membuat pikiran Revan bak benang kusut.

Kali ini Choky menyodorkan selembar foto lawas yang menampilkan duplikat dirinya sendiri di masa kolonial.

"Ini satu-satunya potret dari Adriaan van Denveer yang disimpan rapih sama Bu Laras. Dia memang menyayangi Adriaan sedalam itu, meski Adriaan lahir sebelum dia dinikahkan secara sah. Tapi tetap ... sSampai detik ini gue belum menemukan juga di mana makam Adriaan dan Fleur berada."

Revan menatap foto itu sekilas. SekedarSekadar memandangi foto saja, jantungnya bergemuruh tidak wajar. Banyak hal yang sulit dijelaskan ketika matatatapannya beradu dengan sepasang mata dalam foto itu. Lantas ia memilih kembali menatap foto Larasati Widyadharma.

"Nah, pertanyaan gue sekarang setelah lo tau semua ini. Apa yang mau lo lakukan? Menikahi Juwita atau bagaimana? Karena berdasarkan fakta, Adriaan sama Fleur kan nggak bisa bersatu. Sudah lebih dulu dipisahkan maut. .. Ck, siang ini gue mendadak jadi orang bijak," kata Choky usai menenggak kopi kalengan yang ada di atas meja Revan.

Detik itu Revan juga bertanya pada dirinya sendiri. Apa ia benar-benar punya rasa yang murni untuk Juwita? Atau... seperti yang pernah terbesit jika Revan berada di dekat Juwita, ia seolah tidak memiliki raganya sendiri.

"Gue enggak akan menikahi Juwita dengan alasan konyol semacam itu. Cuma karena kakek buyut gue enggak bisa bersatu sama gadis impiannya. Pernikahan enggak selelucon itu, Ky."

"Rumit, gue jadi lapar. Pesan makan dong, Van. Siang-siang begini enaknya makan—..."

Suara Choky tiba-tiba menghilang, Revan menahan napas begitu mengangkat kepala. Choky Siregar yang duduk di depannya digantikan oleh sosok wanita dalam potret yang sejak tadi Revan pandangi. Meja kerjanya juga berubah menjadi meja makan dengan ukiran rumit dari kayu jati. Ia tidak pernah lupa dengan meja ini, semua kegiatan dan akhir kegiatannya dalam sehari melibatkan meja makan ini.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Nak?" tanya wanita yang tersenyum penuh keibuan di hadapannya.

Sementara ia mengulas senyum kecil di bibir. "Fleur memenuhi pikiran saya, Ma."

Mama menumpukan tangan di atas tangannya. "Temui dia. Katakan bahwa Mama merestui kalian sepenuhnya."

"Besok saya memang berniat pergi ke rumahnya."

"Laki-laki memiliki hak untuk memilih, Adriaan. Maka jika Fleur adalah pilihanmu, Mama tidak memiliki hak untuk menentang. Hanya saja kejadian kemarin membuat kondisi kesehatan Papa terganggu. Orang-orang suruhan Papa Fleur hampir saja mengobrak-abrik rumah kita hingga papamu jadi murka."

"Saya tidak membawanya kabur.."

Senyum ayu yang khas kembali tertarik dari dua sudut bibir wanita itu. "Seseorang yang tidak menyukai kita memang tidak akan pernah menganggap kita baik."

Ia menganggukkan kepala, menyetujui ucapan sang ibu. "Saya tetap akan membuat Fleur Jansen memiliki nama belakang yang sama dengan saya. Bagaimanapun caranya. Tidak peduli siapa yang menentang. Karena saya sudah berjanji padanya."

"Ada perlu apa kamu?"

Dari nada bicaranya saja, sudah menjadi ciri bahwa Revan tidak menyukai kehadiran perempuan itu.

Naura menelengkan kepala dan berujar, "Aku baru pulang dari Roma loh, kamu enggak kangen??"

Tawa sumbang Revan terlontar begitu saja. "Kamu benar-benar enggak punya harga diri, ya?"

Perempuan itu tidak memedulikan sama sekali sikap dingin dari Revan. Justru Naura malah berjalan mendekati mejanya dengan senyum yang memuakkan. Sementara Revan malah kembali berkutat pada grafik saham di tablet. Ia hanya perlu menelepon satpam untuk menyeret perempuan itu jika berani bertingkah gila.

"Lama enggak ketemu. Kayaknya kamu makin ganteng dan angkuh dari yang terakhir aku lihat.." Naura menumpukan kedua tangan di atas meja. Dengan tubuh yang sangat sengaja condong ke arahnya. "Serius kamu beneran enggak kangen sama aku?"

Revan meletakkan tablet-nya yang sudah terkunci sebelum menumpukan siku di atas meja. Jemarinya saling bertaut dan pandangan lurus ke depan.

"Saya beri kamu dua pilihan, kamu keluar dari ruangan ini sendiri atau ditarik satpam?"

Ketika Revan sudah bicara seformal itu. Tandanya ia memang menganggap orang tersebut sebatas orang asing yang tiba-tiba menyapanya di jalan. Tidak terlalu penting untuk ditanggapi berlebihan.

"Aku sudah cerai dengan suami keparatku. Kita bisa mulai semuanya dari awal. .. Bilang kangen misalnya?" bisiknya di telinga Revan.

Mengembuskan napas kasar, Revan berdiri dari kursinya. "Saya tidak ingin bersikap kasar terhadap perempuan. Sebaiknya kamu pilih opsi pertama."

"Kenapa sih, Van? Aku tahu kamu enggak pernah berubah bahkan dari aroma parfum kamu."

Perempuan itu kembali menelengkan kepala seraya melepaskan tawa yang memuakkan di telinga Revan. Begitu menyelesaikan tawa, hal yang tidak Revan duga adalah perempuan itu menubruknya. Naura hampir menciumnya, namun Revan sudah mendorongnya hingga menabrak meja.

"Tadi saya sudah memperingatkan." Lantas Revan lantas men-dial sebuah nomor di ponselnya. "Sepupu lo di sini, Kai. Mau dijemput sama lo atau ambulans RSJ?"

Tanpa menunggu jawaban di seberang sana, ia menutup panggilan itu. Naura memeluk sebelah lengannya ketika Revan hendak melewati perempuan itu.

"Van,.. please, aku cuma kangen kamu.. Kamu kenapa, sih? Semasa SMA kamu enggak pernah bersikap begini sama aku!"

"Kita udah hampir sepuluh tahun lulus dan putus. Buat apa kamu kayak gini?"

Revan melepas kasar tangan perempuan itu. Ia lLantas meninggalkan perempuan itu begitu saja di ruangannya. Biar saja satpam atau Kai yang mengurus Naura. Revan punya urusan lain yang lebih penting.

"Aku enggak punya tempat pulang selain kamu, Van!" teriak Naura histeris.

Revan memijat pelipis setelah menutup kasar pintu ruangan. Selanjutnya, ia justru tidak menemukan Juwita di meja sekretaris. Biasanya perempuan itu menghampiri ruangannya saat jam makan siang. Karena ia kerap memberi protokol terselubung tentang tidak makan dengan siapa pun kecuali dengannya.

Revan mengernyitkan dahi saat melihat segala macam benda berantakan di meja Juwita. Itu bukan gaya Juwita Kaluna. Sekretarisnya itu tipikal orang yang akan menyusun baju sesuai warna dan merk di lemari. Tipikal orang yang akan mengukur jarak sekian senti antar dinding hanya untuk memasang pigura foto wisuda. Sebelah tangan Revan merogoh saku jas, mengambil ponsel.

Ia berdecak saat mengetahui nomor Juwita tidak aktif.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro