19. 1/2 Sendok Teh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Al, berhenti di sini."

Aldi menyipitkan matanya saat memandang sebuah toko yang Revan maksud. "Di sini, Pak?" Ia bertanya untuk memastikan.

"Apa saya harus mengulang dua kali?" Revan mengangkat sebelah alis.

Tidak ingin memperpanjang sindiran dari atasannya, Aldi akhirnya berucap, "Baik, Pak."

Tidak lama mobil memang Aldi parkirkan di depan toko yang Revan minta. Oh ya, selain tangan kanan, Aldi juga merangkap sebagai supir dan samsak tinju dari atasannya. Ya, selama gaji dan bonus mengalir Aldi akan menjalaninya dengan suka rela. Mereka baru saja melakukan pertemuan perkara pembebasan lahan di Bogor. Langkah kaki Revan meninggalkan Aldi jauh di depan. Aldi sendiri tipikal orang yang tidak begitu menyukai toko barang antik semacam ini. Lampu-lampu kuno zaman nenek moyang menggantung di atas kepalanya. Piring-piring serta guci bergambar orang-orang berpakaian kuno pun menyapa netranya.

Aldi tidak habis pikir, di zaman millenial masih ada saja orang yang membuka toko berisi barang-barang kuno. Barang-barang yang baginya hanya berguna untuk dipajang, tidak lebih dari itu. Ia berhenti melangkah karena Revan juga berhenti. Mereka berdiri di depan sebuah lemari kaca besar berisikan kotak musik dan fonograf dari berbagai era. Revan bergeming dalam waktu yang sangat lama. Hingga atensi Aldi beralih dari bentuk-bentuk kotak musik berganti memandangi atasannya dengan gamang.

"Maaf sedang mencari barang apa?" tanya seorang pria baya yang Aldi tebak sebagai pemilik toko.

Aldi mengulas senyum pada pria itu dan kembali menatap Revan. "Pak Revan cari barang apa? Ini pemilik tokonya," tutur Aldi.

Pandangan Revan kosong seketika, namun sendu menyelimuti raut wajahnya. Entah karena apa.

"Pak Revan, Bapak ini mau membantu mencari barang yang Pak Revan cari." Aldi kembali bersuara karena tidak ada respon dari atasannya.

"Kotak musik yang berisi cincin itu," kata Revan tanpa menunjuk kotak musik mana yang dimaksud. "Saya mau beli."

Sang pemilik toko mengangkat sebelah alisnya sebelum berkata, "Maaf, Pak.. tapi kotak musik di sini tidak ada yang berisi cincin."

Revan beralih menatap Aldi yang berdiri di sampingnya. "Ambil cek."

Aldi berlalu ke luar dari toko setelah mengangguk. Beberapa menit kemudian laki-laki itu menyerahkan selembar cek pada sang pemilik toko. Tanpa Revan perlu menjelaskan, Aldi sudah tahu bahwa cek itu memang dikeluarkan untuk sang pemilik toko supaya segera menyerahkan barang yang atasannya minta. Sementara sang pemilik toko kebingungan dengan dua orang di hadapannya.

"Tapi saya tidak menjual kotak musik berisi cincin," ujar sang pemilik toko.

"Satu-satunya kotak musik berukuran sedang warna merah muda yang ada di rak kedua, sebelah kanan, bagian paling belakang."

Pria baya itu menatap Revan dengan sorot mata tidak percaya. Ia yang notabenenya sebagai pemilik toko saja tidak begitu ingat barang apa yang dijual sampai letaknya ada di mana. Bahkan spesifikasi barangnya.

"Keluaran dari Jenewa, Swiss. Saya tahu, karena saya yang membelinya langsung.." Lanjut Revan.

Dua orang pria lainnya kini saling termenung karena setiap ucapan yang Revan lontarkan. Tidak ingin membuat calon pembeli aneh itu menunggu lama. Akhirnya sang pemilik toko dengan agak ragu mencari barang yang diminta. Alangkah takjubnya sang pemilik toko ketika menemukan fakta bahwa apa yang Revan katakan tidak meleset sama sekali.

***

"Saya lagi enggak di apartemen." Juwita berbohong.

Usai menutup panggilan ia kembali berbaring. Sejak semalam Juwita demam dan pagi ini pun kepalanya masih sedikit pening. Hari ini ia sudah izin tidak masuk kerja karena memang tidak sanggup menyeret tubuhnya sendiri dari kamar. Lydia sempat memaksanya ke dokter, namun ia menolak. Selain itu ketika Lydia menawarkan diri untuk menemani, ia malah mengusir perempuan itu supaya pergi bekerja saja. Juwita bukan bayi yang harus ditunggui saat sakit. Begitulah keras kepalanya Juwita.

Tiba-tiba ia teringat adegan intim antara atasannya dengan seorang perempuan seminggu yang lalu. Ketika hendak mengambil berkas yang sudah ditandatangani. Juwita sendiri tidak mengerti kenapa hal itu sangat melekat dalam ingatannya. Ia juga tidak mengerti dengan sikapnya yang terang-terangan mendiami Revan bahkan menghindari. Parahnya, Juwita sendiri tidak mengerti pula kenapa sebagian hatinya remuk melihat itu.

Revandio Pranadipa, kehadiran laki-laki itu selalu membuatnya bimbang.

Bimbang dengan perasaannya sendiri, serta ia yang seolah tidak memiliki raganya sendiri. Setelah istilah doppleganger yang Lydia sebut, Juwita pulang ke rumah neneknya. Dan menemukan informasi mencengangkan bahwa ia satu garis keturunan dengan Garritt Jansen. Sempat mengorek tentang Fleur Jansen juga, namun neneknya tidak memberi informasi yang akurat. Sekedar mengatakan, wajah Juwita memang mirip dengan adik kesayangan kakek buyutnya itu. Tapi, hanya sampai di sana.

Ia tidak tahu ke mana perginya Fleur. Dan apakah gadis itu akhirnya menikah dengan Adriaan?

Hampir terlelap, Juwita membuka kelopak mata begitu merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. "Bapak kenapa bisa ada di sini??" tanya Juwita. Nada terkejutnya tidak bisa disembunyikan.

Bagaimana tidak? Orang yang baru saja mampir di pikirannya kini ada di depan matanya.

Revan yang tengah membaca buku, menatapnya datar. "Saya masuk lewat pintu." Dagunya diarahkan ke pintu kamar Juwita.

Demi jajaran mantan Lydia, Juwita memang paham Revan pasti masuk lewat pintu. Karena tidak mungkin juga kesaktian Revandio Pranadipa sampai bisa menembus dinding.

"Maksud saya apartemen ini kan dikunci dari dalam. Bapak tahu password apartemen ini?"

Alih-alih menjawab, Revan hanya tersenyum kecil lalu meninggalkannya begitu saja. Sebelah tangan Juwita akhirnya meraih ponsel di atas nakas samping tempat tidur.

Kakak tiri lo ada di sini.

Tidak lama kemudian balasan dari Lydia masuk.

Tadi dia memang tanya password-nya sih.

Memutar bola mata, Juwita meletakkan ponselnya seraya menggerutu. Ia pura-pura tidur ketika merasakan Revan duduk lagi di tepi kasurnya.

"Juwita... Kamu sarapan dulu."

Juwita enggan membuka matanya. "Saya mau tidur, sebaiknya Bapak-"

"Revandio. Panggil Revan atau Dio," kata Revan. "Jangan pura-pura tidur. Aku tahu kamu sedang sulit untuk tidur."

Lagi-lagi Revan mengganti kata sebutan saya menjadi aku tanpa sadar.

Juwita berdecak. "Jangan sok tahu." Ia jadi mengenyahkan sapaan formal karena tiba-tiba merasa kesal.

"Bangun dulu, Juwita. Buburnya nanti dingin."

"Aku lagi sakit dan mau tidur aja" Juwita masih bertahan dengan sikap ketusnya.

"Mau bangun atau dipaksa bangun?" tanya Revan lagi.

Perempuan itu bergeming. Satu sudut bibir Revan terangkat karenanya. Kemudian ia mendekati Juwita, membuka paksa kelopak mata Juwita dengan jarinya. "Bangun."

Mata mereka bersirobok sekian detik, sampai Juwita memukulnya dengan bantal.

"Jangan kurang ajar ya!" Perempuan itu terus menghujani Revan dengan pukulan bantal.

"Katanya sakit tapi tenaga kuli, aneh," kata Revan yang hanya pasrah saja dipukuli. "Jangan marah-marah lagi. Makan sana.."

"Siapa yang marah? Kamu aja yang pulang sana!" Juwita kembali memukuli laki-laki itu dengan bantal tanpa ampun.

Pukulan Juwita berhenti ketika Revan menangkap bantal itu dan menyingkirkannya. "Kamu makan ya? Jangan sakit lagi. Aku khawatir.." ucapnya lirih sesudah berhasil memeluk Juwita.

Kali ini tidak ada sisi Adriaan yang ikut campur. Pelukan ini adalah murni milik Revandio Pranadipa untuk Juwita Kaluna. Revan membenarkan bahwa ia mengkhawatirkan perempuan itu dan Juwita membenarkan bahwa ia ingin selalu dikhawatirkan laki-laki itu.

***

"Kamu ada perlu apa ke sini? Aku udah izin sakit." Juwita sudah bertanya untuk ketiga kalinya. Terserah Revan mau berpikir apa yang penting hatinya merasa puas.

Revan menghela napas. "Kan aku udah bilang, aku khawatir sama kamu."

Kali ini mereka sadar bahwa percakapan formal di antara mereka menghilang begitu saja. Namun Revan sedang tidak ingin berpikir lebih jauh bagaimana ia bisa merasa lebih nyaman sesudah mengganti gaya percakapan mereka. Juwita apalagi, ia enggan menambah pening di kepala karena hal sepele itu. Ya, detik ini mereka berdua setuju jika perubahan gaya percakapan mereka hanyalah hal sepele.

"Kenapa kamu khawatir?" Juwita benar-benar ingin mendengar jawaban yang tidak bertele-tele apalagi terkesan ambigu.

Sebelah alis Revan terangkat. "Orang khawatir memang harus ada alasannya?"

Juwita memalingkan wajah ke luar jendela. Malas melihat Revan yang duduk di seberangnya. "Kalau begitu kamu pulang."

Revan masih menekuni buku bacaannya sebenarnya sadar ia sudah diusir berulang kali. Akan tetapi, laki-laki itu enggan beranjak dari sofa ruang tamu Juwita sama sekali. "Lama-lama apartemen ini aku beli enggak kamu enggak berhak mengusir."

"Perusahaan kamu bergerak di bidang properti. Kamu tinggal tunjuk salah satu dari jajaran apartemen yang kamu bangun."

Baik, saat ini Revan tertarik melihat ekspresi wanita itu. "Kamu ketus banget akhir-akhir ini.." keluhnya.

"Aku enggak merasa begitu. Daripada kamu buang-buang waktu di sini lebih baik temui pacar kamu yang Minggu lalu mencari kamu sampai mengobrak-abrik mejaku."

Revan menutup buku yang sejak tadi ia baca. Cengirannya melebar, sekarang Revan tahu apa yang membuat Juwita dua kali lipat lebih ketus daripada biasanya. Keadaan Juwita sudah lebih baik setelah memukulinya, makan bubur dan minum obat. Revan menatap lekat perempuan yang tengah duduk bersila sembari bersedekap di hadapannya.

"Siapa yang kamu maksud? Naura?"

"Ya mana aku tau namanya.. Bukan urusan aku juga."

"Kalau bukan urusan kamu.. Kenapa hal itu membuat kamu terusik dan ketus belakangan ini?" tebak Revan.

Juwita kembali menatapnya. "Maksud kamu apa?"

"Kamu cemburu." Senyum Revan terukir dengan mudahnya.

Entah kenapa Revan menyukai fakta yang satu itu. Terbaca jelas dari pancaran iris mata Juwita kala mata mereka bertemu pandang.

"Aku enggak cemburu. Itu bukan urusan aku." Juwita beranjak dari duduknya.

Revan menahan pergelangan perempuan itu ketika berjalan melewatinya. "Mau ke mana?"

"Bukan urusan kamu," jawab Juwita.

Revan menghela napas dan membiarkan perempuan itu beranjak ke arah dapur. Aneh juga, padahal Revan tidak pernah sesabar itu terhadap orang lain. Justru biasanya orang-orang yang banyak menghela napas saat berhadapan dengannya.

"Naura bukan pacarku. Ya, dulu memang pacar, semasa SMA. Tapi setelah lulus, kami putus. Dia yang memintanya dan kami sudah bicara secara baik-baik. Enggak tahu juga, setiap tertimpa masalah dia memang selalu mencariku. Padahal aku enggak pernah meresponnya secara berlebihan." Revan tetap menjelaskan meski Juwita hanya diam, menyesap teh herbal di cangkirnya.

"Kai bilang, Naura sebenarnya punya rasa penyesalan yang dalam karena keputusannya menyudahi hubungan kami. Jadi setiap hubungannya bermasalah, dia selalu berpikir bahwa bersamaku adalah pilihan terbaik. Laki-laki yang selalu bersamanya setelah aku, rata-rata ringan tangan dsb. Tapi itu bukan urusanku lagi." Lanjut Revan.

Juwita berhenti menyesap tehnya. "Kamu enggak perlu repot-repot menjelaskan. Itu bukan urusan aku."

Sekali lagi, bicara dengan Juwita memang seringkali sesulit itu. Namun Revan percaya, perempuan itu memasang pendengarannya baik-baik ketika ia menjelaskan. Sebelah tangan Revan terjulur, meraih cangkir teh yang perempuan itu suguhkan. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang juga menjadi tujuan lain dari mengecek keadaan Juwita.

"Dan dalam setengah sendok teh, kita temukan rasa itu. Menjadi secangkir dari rasaku dan rasamu."

Revan beralih dari kepulan asap di cangkir, menatap perempuan yang sepasang matanya tengah melebar. Jika Juwita juga mengalami deja vu yang ia alami. Perempuan itu pasti mengenal penggalan puisi milik Adriaan yang satu ini. Ekspresi Juwita yang membeku di tempat membuatnya semakin yakin.

"Di penghujung senja, tempatmu biasa menantiku. Kemudian di ufuk timur, tempatku biasa menjemputmu." Revan menarik dua sudut bibir. "Dariku, masa yang tidak memiliki detik bahkan batas ... Adriaan van Denveer."

Ia sengaja mengubah sedikit penggalan puisi tersebut. Karena Adriaan van Denveer memang seperti masa yang tidak memiliki detik bahkan batas. Ingatan Adriaan hidup di dalam ingatan Revan juga. Semesta menciptakan mereka di masa dan skenario perjalanan hidup yang berbeda. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka menemukan perempuan yang sama. Fleur Jansen, gadis Nederlander yang ingatannya juga menjadi ingatan Juwita Kaluna. Seketika cangkir kosong terlepas dari tangan Juwita. Beradu dengan lutut sebelum jatuh ke permukaan lantai. Lalu pecahannya berserakan di samping kaki Juwita.

"Kamu juga mengalami kan?" tanya Revan penuh yakin.

20 Juni 2020.
Terima kasih sudah mampir :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro