21. Drama (Drama)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Revan yang keluar terburu-buru dari ruangan, menghampiri meja Juwita dengan raut wajah gelisah. "Ta, kita ada meeting dadakan. Kamu jadi notula ya."

Jemari Juwita yang tengah menari di atas keyboard terhenti secara otomatis. Wanita itu mendongak dan berujar, "Baik, Pak." Diiringi anggukan kepala.

"Aku telepon Aldi dulu. Nanti kita sama-sama ke ruang meeting," ujar Revan. Laki-laki itu seketika sibuk dengan tablet di tangan.

Juwita menahan napas sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Belakangan ini Revan seringkali lupa akan sapaan formal mereka di kantor. Bahaya kalau sampai karyawati pakar gosip mendengar ini. Reputasinya dan Revan akan semakin menjadi-jadi akibat olahan dari mulut pedas bin jail ala barisan karyawati kurang kerjaan itu. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari sapaan mereka yang berbentuk aku-kamu. Hanya saja jajaran penggemar berat dari General Manager Revandio Pranadipa memang sulit diabaikan. Cerminan Big Boss muda berparas dingin dengan penampilan memukau. Serta aroma parfumnya yang niscaya dapat membawa khayalan tembus sampai langit ke tujuh, memang cocok disematkan pada Revan.

Tentunya laki-laki semacam itu masih jadi pujaan sejuta umat wattpad dan drama Korea dari segala jenjang umur. Jika Juwita adalah tokoh cerita di wattpad, dukungan untuk menaklukkan cinta sang manajer pasti mengalir deras bak tanggul yang bocor. Sementara di dunia nyata, nasib sekretaris seperti Juwita biasanya diibaratkan banjir bandang, tsunami dahsyat, gunung meletus dan badai siklon. Ya, intinya mala petaka pelengkap derita. Semua yang Juwita lakukan pasti selalu dikaitkan dengan cari perhatian dan sensasi di mata para penggemar yang budiman.

"Tolong siapkan data perkembangan resor di Raja Ampat," kata Revan lagi.

"Baik, Pak," jawabnya cepat.

Ketika Juwita hendak menelepon kepala divisi yang mengolah data tersebut. Revan menahan gagang telepon di tangan Juwita hingga kembali ke posisi semula.

Laki-laki itu melirik sekilas arloji di pergelangan tangan sebelum bertanya, "Kamu udah makan?"

Detik itu Juwita kembali menahan napas, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa karyawati yang lewat di lantai ini seketika mematung.

"Sudah, Pak.." jawab Juwita sembari meringis.

Pemandangan di mana tangan mereka saling bertumpu dan pertanyaan sepele dari Revan. Mungkin lebih mirip pertanda kiamat bagi jajaran karyawati pengidap meriang-merindukan kasih sayang-akut menahun. Menyadari sinyal dari bumi gonjang-ganjing yang akan meruntuhkan dunia persilatan, Juwita mencoba menarik tangannya. Namun Revan tetap menahannya di sana. Udara di sekeliling Juwita menghilang ketika ia mendongak dan mata mereka bersirobok. Dalam irama detak jantung yang sama, mereka saling menunggu. Hingga sekian detik berlalu, tidak ada yang berubah. Dari tempat yang mereka pijaki hingga diri mereka masing-masing. Revan masih mengenali perempuan di depannya sebagai sekretarisnya, Juwita Kaluna. Begitupun sebaliknya, Juwita mengenali laki-laki di depannya sebagai Revan.

"Tapi.. mata kamu bilang, kamu belum sarapan..."

Suara Revan berhasil mengembalikan gravitasi dunia. Karena setelah itu terdengar suara bindex yang jatuh ke lantai. Revan maupun Juwita serentak menoleh ke arah suara itu berasal. Dan benar saja, semua kubikel menampilkan para karyawan sampai sebatas dada. Tanpa perlu ditanya mereka pasti memasang mata dan telinga baik-baik. Terlihat jelas, sebagian dari mereka terperangah. Sebagian dari mereka menatap tidak percaya. Terlebih lagi, sembilan dari sepuluh karyawati telah mengalami patah hati massal.

Makhluk bernama perempuan yang sering berinteraksi dengan Revan di kantor sebenarnya bukan hanya Juwita. Beberapa manajer fungsional di bawah kepemimpinan Revan juga terdiri dari perempuan. Namun tidak bisa dipungkiri, di mana-mana Bos dan sekretarisnya ibarat perangko. Juwita akan ikut ke mana Revan pergi. Dari mulai meeting di dalam kantor, di luar kantor sampai ke luar kota. Orang-orang yang hendak menemui Revan pun pasti akan lebih dulu bicara dengan Juwita. Maka dari itu, cerita atau film seputar bos dan sekretaris yang jatuh cinta sampai menikah. Sesungguhnya memang terjadi di dunia nyata. Bagaimana tidak? Waktu dalam sehari yang dimiliki karyawan di perusahaan baik dalam bentuk lembaga atau instansi dll. Sudah pasti 60% dihabiskan di tempat kerja, 20% di jalan dan sisanya di rumah.

Lantas suara dehaman Revan membuat mereka kembali duduk. Tidak lama deretan kubikel ramai dengan suara ketikan di keyboard, printer, dan lembaran kertas yang dibolak-balik. Revandio Pranadipa memang tidak lebih sakti dibanding Avatar The Legend of Aang. Tapi sebatas dehamannya bisa disamakan dengan remote control.

"Iya, nanti saya sarapan.." bisik Juwita.

"Kamu ngapain sih bisik-bisik?" Revan bertanya dengan wajah polos.

"Bapak jangan bikin saya punya banyak penembak jitu yang ngiler mau bikin kepala berlubang. Tolong," pinta Juwita. Wanita itu masih berbisik namun raut wajahnya agak kesal.

Revan tertawa kecil. Ia tidak pernah gagal terhibur dengan sikap blak-blakan dan ketus khas Juwita Kaluna. "Memangnya aku ngapain? Aku cuma tanya hal yang wajar."

Juwita membuang napas jengah lalu menyingkirkan tangan Revan dari tangannya. Setelah teleponnya tersambung, Juwita bicara mengenai data yang diperlukan untuk meeting. Sebulan lalu setelah mereka sama-sama mengetahui deja vu yang mereka alami berkesinambungan. Tidak banyak hal yang mereka bicarakan mengenai deja vu itu. Mereka memilih menyimpannya masing-masing. Karena ibarat pemain film, mereka sudah memegang skenario dan peran masing-masing tanpa perlu bicara bercerita panjang lebar mengenai isi naskahnya. Pun setelahnya deja vu mereka tiba-tiba terhenti begitu lama, entah karena apa. Terlepas dari semua itu, jarak dan praduga yang sempat mereka buat tiba-tiba terabaikan begitu saja.

Contohnya detik ini. Kepergian Revan menyisakan sebungkus Kit-Kat di atas meja Juwita. Siapa yang menyangka kalau ternyata General Manager sekelas Revandio Pranadipa mengantongi cemilan itu di saku jas?? Ia meraih ponsel yang bergetar di atas meja.

Itu buat mengisi lambung kamu yang lagi kebakaran. Tapi maaf, kalau buat mengisi hati kamu, enggak bisa aku tinggal di atas meja.

Belakangan Juwita baru tahu kalau Revan terkadang bisa menjengkelkan sekaligus menyenangkan di waktu yang bersamaan. Tanpa pikir panjang, ia segera mengetik balasan untuk sang pengirim pesan.

Maaf lagi enggak punya stok kata terima kasih.

Tidak lama sebuah balasan masuk dari Revan.

Jangan khawatir ... aku enggak lihat kamu nyengir kok.

Cengiran Juwita langsung meluntur. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling lantas berhenti di pintu ruangan Revan.

Jangan dicari, Ta. Aku tunggu di depan lift.

Setelah membaca pesan tersebut, Juwita menyambar MacBook dan kit-kat di atas meja. Ya ampun! Demi jajaran mantan pacar Lydia, ia bahkan hampir setengah berlari. Konyol. Hidupnya sudah mirip drama Korea dengan judul mengejar cinta sang manajer kalau begini.

***

"Jadi kalian itu dalam konteks apa sebenarnya??" tanya Lydia.

Wanita itu mengajak Juwita singgah sejenak di sebuah restoran. Mereka menghabiskan waktu sekian jam dari siang hingga sore untuk membeli kebutuhan bulanan di sebuah pusat perbelanjaan. Bukan Lydia namanya jika kegiatan semacam itu tidak juga diselingi window shopping. Fakta membuktikan, 95% dari populasi perempuan hobi berbelanja dengan rentan waktu paling sedikit satu jam untuk membeli satu barang.

"Ya, seperti yang lo lihat. Dia atasan dan gue sekretarisnya," jawab Juwita santai.

"Bos dan sekretarisnya yang enggak pernah absen makan siang dan makan malam bersama. Ditambah ngopi cantik di apartemen seharian dan jalan bareng tiap weekend." Lydia menggunakan tangannya untuk membuat tanda kutip. "Oke ... gue sangat paham."

"Lo jangan mulai nyinyir kayak jajaran penembak jitu gue deh ...." Juwita berdecak. "Revan baik kok. Masa iya gue harus selalu mengangkat bendera perang sama orang yang memberi gue banyak bantuan. Dan jalan bareng tiap weekend? Lo terlalu berlebihan! Gue cuma menemani dia beli hadiah buat keponakannya sekali. Dan dua kalinya enggak sengaja ketemu di kafe."

Entah karena urusan pekerjaan atau karena deja vu yang membiasakannya dengan Revan. Intinya Juwita nyaman-nyaman saja tanpa mau repot-repot berpikir terlalu jauh. Mereka hanya dalam konteks akrab karena terbiasa bersama dalam urusan pekerjaan mungkin? Juwita akan menganggapnya begitu. Singkirkan dulu deja vu sebagai Fleur dan Adriaan, itu di luar kendali mereka.

Lydia mengarahkan bola mata ke atas. "Terserah deh alibi lo mau bagaimana. Wajar aja sih kalau Revan naksir, pesona lo kan mengalahkan badai siklon yang memporak-porandakan satu kota. Wajar juga kalau lo naksir Revan, duitnya yang enggak berseri itu bisa bikin lo siang ini makan di Samarinda nanti sorenya makan di Surabaya. Dan tampangnya, bolehlah mirip sama D.O EXO."

"Ngawur! Enggak ada apapun itu di antara gue dan Kakak tiri lo. Jadi berhenti nyinyir."

Juwita terdiam sejenak, ucapan Lydia mungkin menjadi sebagian pemikiran orang-orang di kantor. Ia menggunakan fisiknya untuk mendapatkan apapun dari Revan. Temannya itu memang sekedar bergurau, tapi ketika disambungkan dengan gosip orang-orang kantor tentangnya. Nafsu makan Juwita jadi menurun. Ponsel yang berdering membuat Juwita menghentikan kegiatannya membaca daftar menu. Ia menyerahkan masalah pesan makan pada Lydia. Lantas memulai sebuah panggilan setelah menggeser tombol hijau.

"Kamu lagi di mana?" tanya seseorang di seberang sana usai Juwita memberi sapaan halo.

Juwita tahu Lydia mengawasinya. Ia menyebutkan restoran tempatnya dan Lydia singgah. "Aku.. sama Lydia. Kamu lagi di jalan?"

"Iya, sama Aldi. Kamu kirim lokasinya ya."

Kemudian panggilan itu berakhir dan Juwita mengirim lokasi di mana ia berada. Pelayan restoran menata pesanan mereka di atas meja sesudah Juwita memasukkan ponsel ke tas.

Tatapan datar Lydia membuatnya sedikit terusik. "Kenapa?" tanya Juwita.

"Oh... jadi ini yang namanya kebetulan ketemu di mall atau kafe ya.." Lydia menganggukkan kepala lamat-lamat. "Tadi Revan kan?"

Juwita meringis. "Iya, enggak apa-apa kan? Bagaimanapun juga dia Abang lo, Lydia."

"Bete gue." Lydia melanjutkan makan setelah menggerutu.

Bukan apa-apa, Lydia sedang malas jadi obat nyamuk. Revan mungkin tidak akan bicara banyak dengan Juwita, tapi sikap ATM Revan pasti mengganggu matanya yang suci. Iya, Lydia kerap kali menyebutnya ATM. Atasan Tapi Mesra.

"Dia sama Aldi."

Lydia kembali mendongak, raut wajahnya antusias. "Serius?? Gue mau ke WC dulu kalau gitu. Ini kesempatan yang enggak boleh dilewatkan. Bagaimanapun caranya gue harus terlihat tiga kali lipat lebih cantik dari lo!"

Juwita tertawa kecil sembari menggelengkan kepala.

"Ta, by the way.. bisa enggak ya itu ketawa lo dibikin biasa aja gitu. Kalau perlu lo pakai masker deh." Lydia menyodorkan masker dari tasnya.

Sebelah alis Juwita terangkat. "Ngapain gue pakai masker? Gue tuh mau makan, Lydia!"

Lydia berdiri seraya mengarahkan matanya ke atas. "Please, beri gue kesempatan dong, Juwita! Gen Sundanese-Nederlander lo itu susuk tersakti abad ini! Posisi cewek jomlo kualitas lokal macam gue terancam enggak dilirik!"

"Lo berlebihan," kata Juwita yang mengibaskan satu tangan.

Sempat-sempatnya Lydia tertawa mengejek padahal sudah memboyong pouch make up dalam pelukan.
"Nih, gue kasih tau. Kalau Revan enggak congkak dan punya wibawa aja, mungkin dia tiap hari meneteskan liur, punya sekretaris selevel Dewi Yunani macam lo."

Sekali lagi Juwita tertawa. Seseorang bernama Revandio Pranadipa adalah laki-laki terakhir di dunia ini yang akan melihat Juwita dengan tatapan lapar. Jadi apa yang dikatakan Lydia sangat tidak mungkin terjadi. Mereka hanya dua orang yang kebetulan bertemu dalam satu deja vu dan satu tempat kerja. Iya, kebetulan.

"Kamu kebiasaan, sayurnya pasti digeser semua ke pinggir."

"Kan aku bukan kambing, Ta." Revan mengelak.

Juwita memutar bola mata. "Terus orang yang banyak makan sayur cocok disamakan dengan kambing?"

Jenis perdebatan kecil yang biasa mereka lakukan saat makan. Sepuluh menit sebelum Revan dan Aldi sampai, Lydia sudah memesankan makanan untuk dua laki-laki itu. Aldi duduk berseberangan dengan Lydia, seperti biasa sibuk dengan tabletnya. Laki-laki itu sudah kebal jadi obat nyamuk jika kebetulan harus makan bertiga dengan Revan dan Juwita. Tapi tidak dengan Lydia yang kelihatan jengkel.

Senyum tipis Revan tersemat saat melihat isi piring Juwita. "Pengecualian buat kamu."

Juwita mengarahkan sumpitnya yang berisi olahan salad ke mulut Revan. "Kenapa?"

Sejak berbagi spaghetti di rumah sakit. Mereka seringkali tidak sadar melakukan hal semacam itu saat makan bersama. Entah itu hanya berdua atau bertiga dengan Aldi.

"Enggak ada alasannya." Revan menerima suapan salad dari sumpit Juwita.

Lydia membuang napas jengah, siasatnya yang ingin membuat Aldi terkesan hancur luluh lantak. Bagaimana Lydia bisa memulai jurus flirting? Jika pasangan di sebelahnya sudah lebih mendominasi! "Tolong, Yth. Bapak Revan dan Ibu Juwita berhenti membuat mata dan batin gue ternodai!" seru Lydia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro