22. Verleiding (Rayuan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Boleh, setel lagu enggak?" tanya Juwita.

Mobil yang Revan kendarai menyusuri jalanan malam yang ramai lancar. Karena sedang tidak butuh obat nyamuk, Revan membiarkan Aldi pulang sendiri. Padahal mereka pergi sejak siang dengan mobilnya. Ya, Revan tidak perlu mengkhawatirkan laki-laki yang lebih muda tiga tahun darinya itu. Aldi bukan anak TK apalagi bayi yang perlu diantar pulang atau dikawal. Terserah, Aldi mau naik kendaraan umum atau menumpang mobil Lydia itu bukan urusannya. Adik tirinya tentu saja akan menawarkan tumpangan dengan penuh sukarela. Jatuh cinta selalu berhasil membuat segalanya jadi indah. Termasuk menjadi budak secara terselubung.

Oke, barusan teori primitif dari efek jatuh cinta. Sementara yang Revan lakukan sekarang adalah sekedar mengantar teman.. teman kantor? Ah tidak cocok, ini hari libur. Teman.. kencan? Belum, mereka berdua belum sampai sana. Atau teman.. Ah ya, teman Lydia. Malam ini Revan sedang menikmati perjalanan mengantar teman Lydia pulang!

"Kenapa harus tanya?" Revan bertanya tanpa beralih dari jalanan.

"Takutnya kamu lagi enggak mood dengar suara bising," kata Juwita. Satu tangannya sudah bergerak memutar volume speaker di mobil Revan.

"Paling juga yang kamu putar lagunya John Legend."

"Kok kamu tau?" Juwita menoleh untuk memandang Revan dari samping setelah menyambungkan bluetooth dari ponselnya. Lalu Written In The Stars milik John Legend menjadi teman perjalanan mereka.

"Ini bukan pertama kalinya kita semobil, Juwita."

Revan pernah beberapa kali menemukan Juwita tertidur di sampingnya saat Aldi menjadi supir dadakan mereka. Bahu Revan bahkan pernah jadi tempat berlabuhnya kepala Juwita. Aneh, posisi itu justru membuat Revan nyaman. Padahal kemarin-kemarin ia sempat menjaga jarak cukup jauh dengan Juwita. Entahlah, seringkali cara kerja waktu yang merubah sesuatu secara drastis, sulit diproses logika.

"Aku suka lagu-lagunya John Legend." Juwita bertopang dagu dengan siku yang ditempelkan ke jendela mobil.

Laki-laki yang duduk di sebelahnya dengan kemeja formal atau non-formal terlihat sama saja. Sama-sama menyenangkan untuk dipandangi. Juwita tidak menyukai laki-laki yang kulit dan rambutnya mirip dengannya. Ia menyukai kombinasi wajah Revan, alisnya tebal, hidungnya tidak seruncing milik Juwita namun tetap masuk kategori mancung. Matanya tidak sipit, namun cukup tajam untuk menelanjangi orang lewat tatapan. Oh ya, satu tambahan lagi. Mungkin bahu dan dada bidang Revan menyenangkan untuk menjadi tempat bersandar kepalanya.

"Tapi sepertinya kamu lebih suka lihat aku nyetir." Laki-laki itu tersenyum jail ketika mata mereka bertemu.

Secara serta-merta Juwita memalingkan wajah ke jalanan di samping jendelanya. Jangan sampai Revan melihat wajahnya yang semerah kepiting rebus. Karena sekarang pipi Juwita terasa panas. Arrgh... Juwita benci kulit kaukasoidnya! Memandangi kelap-kelip lampu jalanan kelihatan jauh lebih baik daripada tertangkap basah menatap Revan lekat-lekat. Niat awal Juwita memang begitu ketika melakukan gerakan buang muka. Akan tetapi, ia malah kembali memperhatikan gerak-gerik Revan lewat pantulan kaca mobil.

"Van, berhenti sebentar," ujar Juwita saat melihat anak perempuan yang menjual kerupuk keliling di trotoar dekat taman kota.

"Berhenti sebentar, Revan.." katanya lagi, merasa Revan tidak mendengar ucapannya tadi.

"Sabar, Sayang... Ini mau minggir," sahut Revan. Matanya fokus pada kaca spion mobil. Detik berikutnya Revan malah mengumpat dalam hati. Apa yang dikatakannya barusan?? Sumpah, membandrol rayuan bak kaos diskonan sama sekali bukan gaya Revan.

Hangat kembali menjalari pipi Juwita. Harusnya Juwita bisa merobek sudut bibir Revan dengan cincin di jari tengah. Satu atau dua tinjuan mungkin cukup. Namun demi jutaan fosil di muka bumi, rongga dadanya justru terasa hangat. Ayolah, itu gurauan sepele! Tidak mungkin Revan serius memanggilnya begitu. Lagi pula Juwita sering mendapat sapaan jenis itu dari sejumlah laki-laki penebar pesona di awal perkenalan. Revan jauh dari tipe laki-laki murahan. Murah senyum, murah janji, murah rayuan. Tunggu.. Apa Juwita baru saja berharap Revan serius ketika memanggilnya sayang? Parah. Ada yang mencampur minumannya dengan happy five pasti. Efek halusinasinya lumayan mengerikan. Sudah pusing dengan berbagai spekulasi menyebalkan, Juwita membuka pintu mobil. Berjalan menghampiri anak kecil yang menjual kerupuk.

Di bawah cahaya lampu jalanan yang agak redup, Revan bersandar pada kap mobil. Matanya enggan melepaskan wanita yang baru saja dibuatnya kesal. Serius, tingkat bahaya dari spontanitas setara dengan mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman. Jelas-jelas yang tadi diucapkannya pada Juwita bukan sebatas deja vu. Tidak ada pengaruh rasa Adriaan terhadap Fleur, ketika mulut sampahnya melontarkan kata sayang pada Juwita. Sungguh, Revan bukan orang yang gemar menggunakan sapaan tadi sebagai bahan candaan. Terlalu frontal, ia lebih suka bermain teka-teki sejujurnya. Ah sial, kenapa posisi otak Revan jadi di bawah telapak kaki sekarang? Mau tidak mau Revan harus siap jika hidungnya mimisan karena tinjuan Juwita.

"Kalau Tante beli seratus ribu, berapa bungkus?" Juwita bertanya diselingi canda dalam nada suaranya. Revan dapat mendengar cukup jelas dari sini.

Anak itu terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Aku enggak bisa menghitung Tante. Tapi kata Ibu, satu bungkus dua ribu."

Senyum Juwita mengembang. "Ya sudah. Tante beli seratus ribu, kamu kasih lima bungkus ya.. Terus pulang ke rumah."

Anak itu mengangguk antusias dengan cengiran lebar. Lalu melakukan apa yang Juwita minta. "Terima kasih, Tante," katanya setelah menerima selembar uang.

Juwita berdiri menatap anak kecil itu sampai menjauh. Berbagi dengan orang lain merupakan cara terbaik menyingkirkan rasa kekurangan. Kemudian langkah kaki membawa Juwita pada laki-laki yang tengah menunggunya di depan mobil. Sial, atmosfer canggung telah menguap. Namun ia tetap memilih bersandar di samping Revan setelah menyimpan kerupuk tadi di mobil. Juwita saja yang terlalu berlebihan atau satu detik memang terasa seperti satu abad? Dan kenapa mereka masih bergeming di sini? Laki-laki itu tengah menatapnya ketika Juwita menoleh. Cukup lama mereka bersitatap tanpa percakapan. Bising kendaraan tersamarkan oleh degup jantungnya sendiri. Juwita menyerah, lantas memalingkan wajah. Ia benci terjebak di situasi ini bersama Revan. Mereka sedang berada di luar ruangan, namun cara Revan menatapnya mengakibatkan udara yang dihirup Juwita jadi menipis.

"Ada yang mau kamu bicarakan? Kita enggak nongkrong di sini sampai pagi kan?"

Revan berdeham. Membuyarkan rasa bimbang aneh yang sempat menyelimuti. Biasanya rasa ingin menyentuh hanya muncul dalam deja vu-nya sebagai Adriaan. Dan gadis yang Revan sentuh dalam deja vu itu Fleur bukan Juwita. "Kamu sering bertemu anak tadi?" Catat ini, Juwita merupakan satu dari sekian populasi perempuan yang mampu membuatnya mendadak bisa berbasa-basi.

"Oh, beberapa kali lewat sini sih. Kasihan, harusnya anak sekecil itu dunianya cuma bermain dan belajar. Tapi dia malah cari uang," jawab Juwita dengan pandangan menerawang. "Saat seumuran dia, jam segini aku pasti lagi baca buku dongeng atau main barbie."

"Kamu main boneka? Aku pikir kamu mainannya samsak tinju dari kecil."

Juwita mengerucutkan bibir lantas memukul bahu Revan. "Nyebelin."

"Tuh kan benar, baru juga diomongin udah main pukul," ucap Revan dengan nada setengah bercanda. Sebab pukulan Juwita memang tidak berefek apa pun padanya.

"Perempuan tuh harus bisa sedikit bela diri tau!"

"Perempuan wajib dilindungi kok. Contohnya begini.." Kali ini Revan menghilangkan jarak di antara mereka dengan rangkulan ringan.

Juwita memutar bola mata sembari menyingkirkan lengan Revan. "Modus!"

"Median lebih gampang sih, Ta, serius." Revan menambahkan raut wajah teramat serius saat menyebut salah satu rumus matematika tadi.


"Apa sih, Van? Enggak nyambung!"

Dan di bawah kanvas milik Tuhan yang bertabur berlian, mereka tertawa bersama. Ada keuntungannya juga Revan membawa Aldi saat bergabung makan dengan Juwita dan Lydia. Kalau Revan datang sendiri, Lydia pasti mengajaknya tarik urat leher dulu demi sekedar mengantar Juwita pulang. Ada hal picisan yang Revan simpan sendiri, ia menyukai tawa dari Juwita Kaluna. Sekedar tawa, tidak masalah kan?

"Van, kamu.. enggak begitu suka sama keberadaan Lydia?" Juwita langsung mengutuk mulut sialannya. Ia tidak bermaksud mencampuri urusan keluarga orang. Sayangnya, rasa penasaran sudah terlanjur sampai ke mulut.

Alis Revan seketika bertaut. "Aku bukan anak kecil, Juwita. Aku enggak memiliki kadar kebencian untuk ibu atau saudara tiri."

"Kalian kelihatan enggak pernah akur." Juwita mengedik.

"Enggak pernah akur bukan berarti saling membenci. Kalau kamu mau tau, apa yang membuat Yth. Bapak Lesmana bahagia sebenarnya juga membuat Revan bahagia."

Juwita menoleh bersama senyum semanis gulali. Revan sempat terpana dalam waktu lima detik. Padahal ini bukan kali pertamanya Revan melihat Juwita tersenyum. "Kamu sebenarnya punya hati Teddy Bear ya?"

Revan mengedik. "Jangan menilai orang terlalu cepat."

Anggukan kepala Juwita diiringi tanya, "Oh iya, kenapa sih kamu enggak pernah menyebut Pak Direktur dengan sebutan Papa?"

"Juwita, kamu banyak tanya."

"Serius, aku penasaran."

"Iya, kebiasaan di kantor. Prana corporation memang perusahaan yang dirintis keluarga, tapi kami menjunjung tinggi profesionalitas."

"Itu bagus banget menurutku. Malah jadi tersamarkan kalau itu perusahaan keluarga."

"Ya, karena memang dibangun bukan berdasarkan asas kekeluargaan."

Di tengah percakapan, Juwita mengecek ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Lydia.

Anak cantik jangan pulang larut malam. Nenek bilang itu berbahaya :)

Lydia dan segala kejailannya.

Kemudian Juwita iseng membuka notifikasi dari salah satu aplikasi online shop. Ada produk baru yang sedang promo biasanya. "Van, lihat deh ...." Juwita tiba-tiba menggenggam tangan Revan secara tidak sadar. "Stiker ini bagus ditempel di dinding ruang meeting," katanya lagi.

Alih-alih menatap layar ponsel Juwita, ia justru terpaku pada mata pemiliknya. Atas nama naluri laki-laki, sepasang mata Juwita Kaluna itu memiliki resiko berbahaya jika dilihat sedekat ini. Apalagi bibir ranum yang terpulas lipgloss tipis itu, Revan curiga jangan-jangan ada magnet tertanam di sana. Ditambah lagi aroma parfum yang semanis tawa si pemilik. Jadilah detik ini ia sedang berusaha keras menahan kepalanya sendiri supaya tidak bergerak menghapus jarak. Lalu membuat sebuah tabrakan ajaib.

Revan beralih menatap objek yang Juwita maksud. Mengenyahkan istilah meletus balon hijau, pikiran jadi kacau. "Iya bagus," jawabnya singkat seraya menggenggam balik tangan Juwita. Tidak tahu kenapa, rasanya ingin saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro