23. Nederlaag (Kekalahan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

R E V A N

Matahari belum terbenam saat saya menginjakkan kaki di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat. Tidak tahu apa yang membawa saya kemari. Tapi saya sudah duduk di sebuah bangku panjang bersama sekaleng pocari sweat. Beruntungnya urusan kantor belakangan ini lancar, semua proyek berjalan dengan baik. Satu yang mengganggu pikiran saya adalah surat pengunduran diri dari Juwita. Perempuan itu beralasan ingin fokus dengan skripsinya. Padahal yang saya tahu dia hanya perlu menunggu undangan wisuda. Juwita juga berkata, pekerjaan sebagai sekretaris bukan passion-nya.

Juwita memang tidak terlahir dari jurusan sekretaris seperti Anneke. Sebenarnya saya pun tidak keberatan jika harus memindahkannya ke bagian HRD. Menyesuaikan dengan program studi yang diambilnya, yakni Manajemen SDM. Rasa kehilangan saya sebagai atasannya memang tidak sebesar rasa kehilangan untuk Anneke. Tapi, aneh rasanya tidak melihat Juwita menggerutu di pagi hari karena kemacetan. Iya, saya punya jadwal menjemputnya di apartemen tanpa diminta.

Saya kembali memutar percakapan di kantor dengan Juwita beberapa hari yang lalu.

"Pak Revan... Boleh saya bicara sebentar?" Juwita bertanya setelah saya mempersilakannya duduk.

Kami kembali menggunakan sapaan formal ketika berada di area kantor. Dia yang memaksa, jujur saja saya lebih suka bicara layaknya teman dengan Juwita. Pun saya lebih suka Juwita memanggil nama saya tanpa embel-embel Bapak. Sudah pasti saya lebih cocok jadi kekasih dariapada Bapak angkat Juwita kan? Ah sontoloyo!

"Tentang?" Saya mengerutkan dahi.

Matanya bergerak gelisah sebelum kembali membuka suara. "Saya sangat berterima kasih karena Bapak sudah melunasi hutang dan biaya rumah sakit Papa. Saya tidak dapat menggantinya dengan jumlah yang sama, saya tahu, saya.."

"Kamu tidak memiliki utang apapun." Saya menatapnya lurus sembari memikirkan alasan yang masuk akal kenapa saya melakukan semua itu. "Saya hanya membantu sedikit," ucap saya pada akhirnya. Karena saya juga tidak memiliki alasan spesifik saat melakukan semua itu. Juwita terdiam cukup lama.

"Saya juga tidak membuat kamu terikat masa pengabdian di perusahaan ini, kalau itu yang sedang kamu pikirkan," kata saya lagi.

Manik mata Juwita bersipaku dengan milik saya. "Terima kasih banyak, Pak Revan.."

Ya ampun, Bapak lagi, Bapak lagi.

Saya kembali beralih pada berkas yang sempat tertunda. "Revandio.. panggil Revan atau Dio."

"Ini area kantor.. kalau begitu saya permisi, Pak."

Masih juga dipanggil Bapak.

"Kita cuma berdua." Saya menyahut.

Sempat kembali sunyi sebelum saya mendengar Juwita mengucapkan, "Terima kasih, Revan.. terima kasih banyak.."

Suaranya yang mendadak berubah selembut beledu seperti saat Fleur merajuk atau telinga saya sedang bermasalah? Saya kembali mengangkat kepala dan Juwita Kaluna masih duduk di depan saya.

"Ada apa?" Juwita seperti bisa menebak isi pikiran saya.

Saya menggeleng dan kembali berkutat pada berkas-berkas MOU. "Kamu bisa kembali ke ruangan. Lima menit lagi sepertinya Aldi ke sini."

Juwita mengangguk bersama senyumnya. Begitu hendak mencapai pintu, saya kembali memanggil Juwita. "Kamu masih berutang jam makan siang dan malam. Jangan pergi sama yang lain."

"Kamu bilang.. aku enggak berutang apapun," katanya lirih.

"Aku cuma bilang kamu enggak berutang biaya rumah sakit dan biaya lainnya."

"Oke.." Juwita mengangguk lamat-lamat.

"Kamu kelihatan senang." Membuat juwita kesal selalu jadi hiburan tersendiri untuk saya.

Matanya membulat sempurna. "Apa? Enggak! Kamu yang mengajakku karena bilang aku punya utang ya.." Dia mulai terdengar kesal. "Aku enggak memanfaatkan keadaan."

Ya, saya tahu, Juwita. Bukan kamu yang memanfaatkan keadaan tapi saya. "Iya.. Jangan teriak, Ta. Dinding kantor ini punya banyak telinga, hati-hati."

Kenapa percakapan kecil itu membuat saya jadi ingin pergi ke apartemennya sekarang? Parah. Jangan sampai saya juga mewarisi virus bucin Adriaan.

Suara anak kecil yang berteriak, "Bun aku mau naik sepeda lagi!" Di sana mengalihkan perhatian saya.

Bosan duduk, saya beranjak. Pada dasarnya membuang waktu sangat jarang saya lakukan. Namun kaki saya yang menuntun ke Museum Fatahillah menjadi bukti kalau saya memang berniat membuang-buang waktu. Gedung megah bercat putih dengan jendela besar khas Belanda menjadi titik fokus pandangan saya. Bangunan yang mirip istana Dam di Amsterdam ini, merupakan gedung Balai Kota yang dikenal sebagai Stadhuis van Batavia. Di dalamnya dilengkapi penjara dan pengadilan.

Sedikit yang saya tahu, Oud Batavia ini dibangun pada masa pemerintahan J.P. Coen di tahun 1620. Gubernur jenderal VOC pada masa itu, ingin membangun Batavia sebagai pusat perdagangan dunia setelah Tanjung Harapan.

Saya pernah membacanya dari sebuah buku dan melihat bangunan aktifnya lewat mata kakek buyut saya, Adriaan van Denveer. Kemudian dentang lonceng menyerap segala kebisingan dari hilir-mudik orang-orang di sekitar. Pengendara ojek online, angkutan umum dan bis yang lewat disulap menjadi beberapa Nederlander dalam dokar, bendi dan sepeda.

"Londo bangsat!"

Saya menoleh cepat dan menemukan diri sebagai wujud dari kakek buyut saya. Sebab kawan setianya berdiri di samping saya. Rajendra, salah satu anak bangsawan dari Kesultanan Ngayogyakarta yang menimba ilmu di sini.

"Mereka memasang papan besar bertuliskan, anjing dan pribumi dilarang masuk!" seru Rajendra.

Hanya dia yang pergi, mencoba masuk ke gereja yang sedang melangsungkan acara pernikahan dan saya di sini. Bisa saja saya nekat menerobos masuk ke sana seperti kemarin-kemarin. Namun saya enggan melakukannya. Saya tahu, semesta juga enggan memberi peluang.

Suara lonceng yang berdentang di gereja Sion adalah tanda dari kekalahan saya. Suara yang juga menandakan Fleur Jansen benar-benar terlepas sepenuhnya dari dekapan erat saya. Semesta merenggutnya secara paksa. Saya memang tidak pernah lagi melihatnya, namun melihat Fleur dengan balutan gaun pengantin masuk ke dalam cita-cita saya, entah sejak kapan. Bersama rasa sakit tidak kasat mata, saya kembali menghajar pohon di depan. Berharap rasa itu pindah ke tangan saya. Namun tidak, tangan saya terasa kebas.

Rajendra berdecak. "Sudah hancur itu tangan, mau dibuat patah juga??"

"Kau tidak tahu rasanya," ujar saya sebelum menggertakkan gigi. Kembali menghajar pohon tanpa ampun.

"Payah! Ayo pergi dari sini! Tidak ada gunanya, lebih baik pergi minum." Sekarang Rajendra benar-benar menarik paksa saya.

Saya menepis tangannya kasar, kami saling bertatapan. Kilat amarah di mata Rajendra tidak dapat disembunyikan, pun dengan gemuruh dalam benak saya.

"Itu bukan caraku."

"Lantas kau mau apa?? Gantung diri? Kau tembakkan kepalamu dengan pistol pun Bapaknya tak kan merestui! Sadar Adriaan!"

Saya kehilangan kendali dan langsung mencengkeram kerah jas Rajendra. "Sudah kubilang kau tidak tahu rasanya! Surya terbit di barat dan memporak-porandakan negeri ini pun rasa ini enggan sirna!"

"Kenapa?? Karena kau tidak pernah lupa bagaimana rasa menidurinya hah??"

"Bangsat!"

Rajendra tersungkur setelah saya melayangkan pukulan.

"Aku tidak bermaksud menghina atau apa pun. Aku hanya menyadarkanmu, Adriaan. Sekarang dia istri orang!"

Dengan napas tersengal-sengal, saya meninggalkan Rajendra. Berjalan sembari memukuli sebelah dada karena sulit bernapas. Gemuruh itu bahkan mengganti udara yang harusnya mudah saya hirup.

"Adriaan!"

Ketika berbalik, saya menemukan Lies, juru rawat Fleur. Dia berlari tergopoh-gopoh.

Saya mengatur napas sebelum bertanya, "Ada apa, Lies?"

Lies tidak menjawab, namun mengulurkan sepucuk surat dan saya menerimanya. Tanpa perlu meneliti, surat itu pasti dari Fleur. Aroma mawar khasnya tidak pernah saya lupakan dan itu hinggap di setiap surat darinya. Di setiap sudut kepala. Saya menyimpan surat itu ke saku jas, belum ingin membacanya sekarang. Tanpa meninggalkan salam untuk Fleur seperti hari-hari lalu, saya kembali melangkah meninggalkan Balai Kota. Bahkan kalau bisa, meninggalkan perasaan juga di sini.

Adriaan van Denveer dan ungkapan bodohnya. Saya mulai menertawakan diri sendiri.

Di penghujung senja, tempatmu biasa menantiku

Kemudian di ufuk timur, tempatku biasa menjemputmu

Surya tidak terbit di sisimu

Pun tidak terbenam di sisiku

Meskikita bernaung di dalam cakrawala yang sama...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro