24. Tot Ziens (Sampai Jumpa)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surya telah bergerak ke arah barat ketika Adriaan mengembuskan napas pendek. Ditatapnya sekali lagi kotak yang ia bawa. Sementara Rajendra di sana sudah menyumpah serapah tanpa suara. Tidak perlu menoleh, Adriaan tahu suara sepatu yang terdengar berjalan ke arahnya adalah Fleur Jansen. Ralat, Fleur De Blois. Adriaan berdiri di sini bersama seluruh kebodohannya demi memenuhi permintaan isi surat dari Fleur. Pun sejatinya, ia juga ingin bertemu dengan gadis yang nama belakangnya sudah berganti Minggu lalu.

"Lies, tinggalkan kami di sini," ucap Fleur pada juru rawatnya.

"Tapi, Mevrouw.."

Sapaan Mevrouw yang Lies ucapkan untuk Fleur terasa gatal di telinga Adriaan. Lalu menimbulkan perih tidak kasat mata di balik wajah tenangnya. Dia dan gadis Nederlander itu sudah berakhir. Entah Adriaan sanggup mengganti sang penakluk jiwanya atau tidak. Yang jelas, timpukan kerikil di depannya sudah pasti dari Rajendra.

"Jangan membantahku."

Setelah itu Lies benar-benar meninggalkan Fleur berdua dengan Adriaan. Menyelipkan sejumput rambut, Fleur memperhatikan laki-laki yang bergeming di depannya. Adriaan terlihat lebih kurus dari yang terakhir ia lihat. Lebam-lebam sudah tidak berbekas di wajah pria itu. Namun tatanan rambut yang tidak serapih biasanya serta sorot mata kosong itu. Menambah denyutan nyeri di keseluruhan kepingan hati Fleur.

Fleur tahu, Adriaan menyadari keberadaannya. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming terselimuti dingin yang tak kasat mata.

"Adriaan.." Fleur memanggil lirih.

Seolah belum cukup dengan semua nyeri yang juga dirasakan Fleur. Adriaan bergerak dari diamnya dengan tatapan yang jatuh pada rumput di bawah kaki mereka. Sapaan hangat dan tatapan lembut itu sirna, tersapu bersama debu bernama kenangan.

"Ada titipan dari Mama," kata Adriaan. Tangannya menyodorkan kotak terbalut kain batik, masih enggan menyapa Fleur lewat tatapan.

Fleur sengaja tidak langsung mengambil kotak tersebut. "Kau masih tidak ingin melihatku? Lantas untuk apa kita bertemu?" Suaranya saat ini terdengar bergetar.

"Kita memang seharusnya tidak bertemu," sahut Adriaan. Laki-laki itu meraih sebelah tangan Fleur supaya menerima kotak pemberian dari Nyai.

Fleur menyisipkan tawa di antara bulir hangat yang mengalir begitu saja. "Adriaan, kau tahu benar. Ini bukan mauku."

"Aku tahu, Fleur.."

"Kalau begitu lihat mataku!"

Adriaan akhirnya beralih dari rumput di bawah kaki mereka. Kini wanita itu dapat melihat mata Adriaan yang memerah. "Seharusnya kau tahu bahwa ketidaksanggupan yang kumiliki terletak di mana.."

"Kenapa??" tanya Fleur lagi.

Mereka bernaung cukup lama di dalam ruang hening yang tercipta.

"Aku sangat ingin memelukmu ketika mata kita bertemu," kata Adriaan. Tersirat rasa putus asa yang terselip dalam rangkaian kalimat itu. Pun ditemukannya luka dari sorot mata Adriaan van Denveer.

"Kalau begitu lakukan," ujar Fleur sesudah maju selangkah.

Detik itu juga Adriaan mundur selangkah. "Kau milik orang lain."

Tidak sampai di sana, Fleur akhirnya memilih menubruk dada pria itu. Ya, ketika semesta memberikan kesempatan untuk bertemu dengan Adriaan. Memang ini yang ingin dilakukannya. Fleur memeluk laki-laki itu erat. Tidak peduli Adriaan atau dirinya yang kesakitan. Tidak peduli juga meski Adriaan tidak membalas pelukannya. Kedua lengan laki-laki itu tetap berada di sisi tubuh.

"Aku mencintaimu, sampai rembulan menggantikan singgah sana mentari."

Fleur ingin mengucapkan itu berulang kali hingga rembulan benar-benar menggantikan singgah sana mentari di pagi hari. Hingga mereka akhirnya bisa bersama entah bagaimana caranya.

"Kau harus pulang, Mevrouw.." Adriaan memilih tidak membalas ucapan wanita itu. Meski ia sangat ingin.

Semua orang kini memanggil Fleur dengan sapaan Mevrouw. Sapaan itu boleh terlontar dari siapa saja kecuali Adriaan van Denveer. Fleur lebih ingin Adriaan menyebut namanya. Bukan memanggilnya dengan julukan sialan yang harusnya ia miliki jika sudah mengucap janji suci bersama Adriaan.

Seharusnya.

Namun sekali lagi, asa hanyalah asa. Dan dongeng hanyalah dongeng.

Ya, mereka adalah bentuk dongeng dari sebuah negeri bernama Hindia Belanda.

Fleur mengurai pelukannya. "Sampai jumpa, Adriaan.." Lidahnya kelu mengucapkan itu. Ada banyak ketidakrelaan dan rasa enggan untuk pergi meninggalkan Adriaan. Kemudian ia menyerahkan kotak musik berisi cincin yang pernah Adriaan berikan.

Adriaan terdiam sejenak menatap kotak musik itu. Cincin di dalamnya menjelma sebagai sebuah kenangan yang belum terukir sesuai harapan saat Fleur mengembalikannya. "Sampai jumpa, Fleur.." Dengan berat hati ia menerima kotak musik itu.

Di antara langit yang mulai menggelap, Fleur beranjak meninggalkannya. Bersama seluruh rasa sialan bernama kenangan, Adriaan ujung-ujungnya memilih mengucapkan kalimat yang sama dengan Fleur. "Aku mencintaimu, sampai rembulan menggantikan singgah sana mentari, Fleur..."

Selanjutnya Adriaan menemukan wanita itu berbalik dengan mata yang melebar. Diiringi dedaunan yang luruh akibat angin, langkah kaki mereka kembali bertemu di satu titik. Lalu Adriaan membalas pelukan Fleur yang awalnya tidak berbalas. Bahkan jauh lebih erat.

Rasa kehilangan yang tak terelakkan di depan sana seakan merampas seluruh jiwa. Meski sang penawan dari rasa kehilangan masih nyata di depan mata. Fleur tidak pergi ke negeri antah berantah nun jauh di mana. Adriaan sendiri pun tidak mendekam dalam bui ataupun gua tak bercahaya.

Akan tetapi, definisi hilang yang mereka maksud lebih dari itu. Tidak teraih meski di depan mata.

***

Suara tapak kaki kuda menjadi satu-satunya pengisi keheningan di antara Adriaan dan Rajendra. Sesekali Adriaan menatap celah jendela yang menampilkan rembulan. Lalu kembali menatap kotak musik di tangannya. Adriaan membawa segalanya. Si kotak musik, si cincin, si rindu, si luka dan si pedih. Kecuali satu.

Si pemilik dan si akibat semua yang disebutkannya. Fleur.

Tiba-tiba suara jeritan tertahan berasal dari arah kusir. Adriaan dan Rajendra saling berpandangan sebelum menyibak tirai di depan mereka. Alangkah terkejutnya begitu mereka menemukan kusir yang lehernya berlumuran darah tanpa kepala. Dalam hitungan detik kereta kuda yang mereka tumpangi, roboh, menabrak keras pohon besar di sana-sini. Sebab kusir yang mengendalikan kuda tewas tak bernyawa.

Sungguh biadab. Sungguh keji. Manusia yang menghabisi nyawa orang dengan alasan apa pun.

Mereka terlempar sebelum terkapar di atas tanah bertabur kerikil. Kusir tanpa kepala, kuda yang pincang serta kereta yang hancur memenuhi pandangan mereka. Adriaan seketika meraih kotak musiknya yang terjatuh dan bangkit. Namun, desingan peluru dan jeritan tertahan dari Rajendra membuat matanya melebar sempurna. Dalam hitungan detik, dua orang tewas tak bernyawa. Meski napasnya mulai memburu, Adriaan menoleh, siap menghajar siapa saja dengan tangan kosong. Ia menyipitkan mata ketika menemukan Espen berdiri di sana dengan tiga orang di belakangnya.

"Apa maksudmu?" tanya Adriaan setelah berdiri tegap.

"Nampaknya aku memilih cara yang salah untuk memisahkan kalian kemarin. Tapi sekarang aku tidak akan salah langkah."

Espen mengangkat senapan dan tanpa basa-basi menarik pelatuknya. Seketika itu pula, dua peluru bersarang tepat di dada Adriaan. Sulit bernapas dan nyeri luar biasa membuat Adriaan akhirnya jatuh berlutut. Jemarinya mencengkeram segenggam kerikil, ia mencoba menarik napas untuk bangkit, kembali berdiri tegap.

Namun, satu peluru lagi bersarang tepat di jantungnya. Seketika lututnya tidak lagi sanggup menjadi tumpuan tubuh. Tenaganya menguap entah ke mana. Ia menahan segala rasa nyeri tak terucap lalu membiarkan dirinya menyatu dengan tanah bertabur kerikil. Bibirnya sudah tidak sanggup berkata-kata. Lantas manik matanya menatap kilau dari cincin yang sangat cantik bila terpasang di jemari Fleur. Ia mencoba meraih benda yang mencolok di antara taburan kerikil jalanan. Harusnya melakukan hal itu mudah, seringan kapas.

Adriaan tidak ingin putus asa. Ia tidak ingin sampai jumpa yang sempat terucap untuk Fleur menjadi kali terakhir. Adriaan berbohong, ia masih ingin bertemu dengan Fleur lagi. Kemudian Tuhan seolah mengabulkan rapalan Adriaan di tengah rasa sakit yang menjalar. Sebab ia dapat melihat wajah yang serupa Dewi dari Swargaloka, sang perenggut lautan rindu.

Dua sudut bibir Fleur tertarik sebelum bertanya, "Als je van me houdt. Wil je met me trouwen?"

"Ik hou van je.. En ik zal later met je trouwen," jawab Adriaan lirih.

"Verblijf hier.." pinta Fleur begitu Adriaan berhasil mendekapnya.

"Ik ben altijd hier," bisik Adriaan di telinga gadis itu.

Di sisa napas terakhirnya, suara manis Fleur masih terdengar begitu jelas. Seolah mereka kembali melakukan percakapan penuh canda serta tawa yang sempat menghilang. Kemudian rasa sakit di sekujur tubuh Adriaan lenyap ditelan gelapnya malam dan sepinya jalan.

Meski kata takdir dan masa depan tidak dapat kita raih. Berjanjilah untuk menungguku di kehidupan selanjutnya. Karena aku akan menemuimu lagi. Itu sumpah matiku, Fleur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro