25. Eerste Dans (Dansa Pertama)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Revan?" tanya Juwita. Dahinya berkerut sesudah membuka pintu apartemen.

Matahari memang sudah tenggelam di ufuk barat. Perempuan itu tidak menyangka kalau Revan akan mengunjunginya sore ini. Mereka tergolong cukup akrab di luar urusan pekerjaan. Namun sebelum surat resign Juwita sampai ke tangan HRD, ia sudah menjaga jarak sejauh mungkin dari Revan. Terlalu dekat dengan Bos di saat ketika memiliki niat untuk angkat kaki bukanlah pilihan yang bagus.

Revan berdeham sebelum memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Aku ingin bicara lagi tentang alasan kamu resign."

Bohong. Jika saja hidung Revan berubah seperti Pinokio ketika berbohong tentang segala alasannya menemui Juwita. Mungkin panjang hidung Revan dapat mengalahkan galah jemuran ibu-ibu penghuni rumah susun Jakarta. Pun tidak lupa memboyong piala oscar kategori kebohongan paripurna.

Juwita membuang napas jengah. "Jadi aku benar-benar terikat masa pengabdian? Terus kenapa kamu menandatangani surat resign-ku?"

Serius, mereka sudah membicarakan perkara utang-piutang sebelum Juwita melayangkan surat pengunduran diri. Dan Revan sendiri sudah berkata bahwa Juwita tidak memiliki utang-piutang selain ajakan makan. Oke, skip saja bagian di mana melambungnya Juwita bisa sekedar makan bersama laki-laki itu. Ah, sial.. Juwita sudah seperti ABG labil yang baru pertama kali diajak dating! Tolong garis bawahi, Juwita hanya senang makan bersama Revandio Pranadipa karena makan sendirian itu membosankan. Wajar kan?

Ada jeda hening sebelum Revan mengatakan, "Enggak dan ya, aku hanya mengabulkan apa yang menjadi keinginan kamu."

"Maksud kamu?" Dahi Juwita berkerut secara otomatis.

Embusan napas pendek lolos dari bibir Revan. "Kamu beneran enggak berniat mengizinkanku masuk?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Juwita menggeser tubuhnya supaya Revan bisa masuk. Hari ini Lydia tidak berada di apartemen karena hari kerja. Sedangkan Juwita memang izin tidak bekerja, tadi pagi kepalanya berat. Meski surat resign sudah lolos, Juwita memiliki sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi sampai hari ini Juwita masih berstatus karyawan di Prana corporation, paling tidak sampai awal bulan depan.

Juwita mengarahkan bola mata ke atas, tangannya berhenti menata cake di piring. "Kamu ngapain sih ikut ke dapur? Bokong kamu bisulan?"

Setelah berbalik, tebakannya benar, Juwita menemukan Revan bersandar pada mini bar dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Demi jajaran mantan pacar Lydia, cara Revan menatapnya membuat perut Juwita melilit.

"Aku kangen kamu.." katanya.

Tiga kata tadi seperti Bahasa Swahili yang lama ditelaah otak Juwita.

"Sepertinya ada yang salah sama kamu, Van." Juwita beranjak dari tempatnya berdiri. Lalu menempelkan punggung tangannya di dahi Revan.

"Aku memang selalu merasa ada yang salah. Dan aku salah karena selalu menyangkal." Jarak tubuh mereka yang tipis itu dihilangkan Revan dengan sebuah pelukan. "Tolong jangan menghindar," tuturnya lagi.

Semenjak deja vu yang Revan alami di Kota Tua, perasaannya jadi semakin tidak menentu. Memang di setiap deja vu yang ia alami, apa yang dipikirkan dan dirasakan Adriaan akan begitu saja dipikirkan dan dirasakannya juga. Maka dari itu Revan melajukan mobilnya ke apartemen Lydia. Tempat di mana wanita itu berada. Biarkan Revan meletakkan segala penjelasan rumit di belakang sana. Ia hanya ingin merengkuh perempuan bernama Juwita Kaluna supaya gemuruh dalam benaknya membaik.

Di detik berikutnya Revan merasakan tangan Juwita yang mengusap pelan punggungnya. "Aku tau.. Kamu begini pasti karena deja vu acara pernikahan Fleur. Tapi kita bukan Adriaan dan Fleur."

Tentu saja Juwita tahu, deja vu mereka berkesinambungan. Tepat setelah Juwita menyelesaikan kalimatnya, perempuan itu melepaskan diri. Bukan apa-apa, Juwita tidak ingin berharap lebih. Ia juga tidak ingin tragedi saat di pesta pernikahan Om Lesmana terulang kembali. Sebab rasa yang Adriaan dan Fleur tularkan-entah bagaimana caranya-membuat mereka melakukan sesuatu diluar kendali masing-masing di beberapa waktu. Sebagai wanita normal, Juwita tidak ingin dipeluk atau dicium dengan alasan deja vu mereka yang sejalan.

Tidak, itu tampak sangat menyedihkan.

Meski Juwita masih ingin memeluk laki-laki itu lebih lama, ia harus menyudahinya. Melihat Adriaan membawa rasa patah hati membuat Juwita ingin berlari menghampiri, lalu memeluk erat. Sebab apa yang Fleur pikirkan dan rasakan tersalur padanya. Pasti hal itu juga yang membuat Juwita ingin memeluk Revan lebih lama. Ya, Revan adalah duplikat dari Adriaan.

Revan mendesah frustrasi. "Bukan, memang yang boleh punya rasa kangen itu cuma Adriaan?" Kemudian menatap Juwita lurus. Ingin tahu jawaban sesungguhnya lewat sorot mata perempuan berdarah campuran Belanda itu.

Juwita mengulas senyum tipis. "Revan, jangan pernah mengatakan itu. Karena kita adalah dua orang yang mustahil berada dalam satu kata itu." Ya, mereka bukan Fleur dan Adriaan yang memang cocok melebur dalam satu kata bernama rindu. Juwita menunjuk sofa ruang tamu. "Kamu duduk di sana ya, tunggu sebentar."

"Kenapa?" Revan meraih tangan Juwita.

"Revan, stop it. Aku enggak mau memikirkan hal-hal rumit."

Lama saling bercakap-cakap lewat sorotan mata. Juwita menyerah dan melanjutkan kegiatannya. Sekali lagi, ia berusaha keras memisahkan dunia nyata dan déjà vu. Pun Revan enggan memikirkan segelintir benang rumit yang berkelindan di antara mereka. Lantas kalau mereka sepakat mengenyahkan segala hal rumit itu. Kenapa juga mereka belum bisa sepakat membiarkan semua mengalir apa adanya? Revan menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Jelas-jelas mereka masih berada di posisi penyangkalan hebat.

***

Juwita dan musik seperti tak terpisahkan. Terhitung sedikit kegiatan yang dilakukannya tanpa ditemani musik. Bagi Juwita, musik dapat mengolah suasana hati menjadi lebih baik. Lagi pula keberadaan lagu dari Best Part milik H.E.R dan Daniel Caesar masih jauh lebih baik daripada kecanggungan serta keheningan di antara mereka berdua. Ingin rasanya mengusir Revan dari sini, tapi bagaimana caranya? Serius, Juwita butuh sendiri, menyusun langkah-langkah baru demi menyongsong masa depan. Ya, keberlangsungan hidupnya jauh lebih penting daripada hal-hal cengeng tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Gayung tak bersambut dan sebagainya.

Revan bangkit dari duduk dan mengulurkan sebelah tangannya. "Mau coba?"

"Apa?" Juwita bertanya maksud dari uluran tangan Revan.

"First dance."

Terakhir kali, Juwita berdansa di acara prom night dengan pasangan tersialnya. Juwita benci mengingat itu, ia pernah sengaja dikunci dalam mobil pasangan sialannya itu. Nyaris saja mengalami pelecehan seksual jika Tuhan dan teman-temannya terlambat memberi pertolongan. Lantas ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Namun, Revan berdecak dan langsung menariknya bangkit dari duduk. Ia jadi gugup karena kembali berdiri di hadapan laki-laki itu tanpa jarak. Sekali lagi, tubuhnya sulit bergerak untuk menolak. Jangan bilang kalau setelah ini déjà vu mereka bekerja! Sial.

Juwita menjatuhkan pandangannya pada kerah kemeja laki-laki itu, enggan melakukan kontak mata berlebihan. Seiring waktu bergulir, satu tangan Revan sudah memeluk pinggangnya. Juwita mengangkat kepala saat laki-laki itu menggenggam tangannya yang lain.

"Jangan takut, aku enggak akan menggigit."

Ringisan tersemat di bibir Juwita. "Terserah. Aku cuma mau mengingatkan, jangan salahkan aku kalau kaki kamu bengkak habis ini."

"Sejak kecil kamu suka dansa sama mendiang Papa kan?"

"Kamu lebih mengerikan dari stalker, Van."

Revan tertawa kecil, toh dia memang mencari banyak informasi tentang Fleur dan Juwita. Langkah kaki mereka bergerak maju-mundur sesuai irama musik. Namun jantung mereka tidak berirama selembut musik yang mengalun. Mengembuskan napas pendek, Juwita kembali mencoba menormalkan degup jantung. Jika Adriaan van Denveer memiliki tatapan lembut menenangkan jiwa, Revandio Pranadipa justru sebaliknya. Tatapan Revan belum pernah gagal memporak-porandakan sanubarinya, membuatnya sulit menghirup napas.

"Berhenti menatapku begitu," kata Juwita.

Satu sudut Revan terangkat seraya mendekatkan wajahnya. "Memangnya gimana?" bisik Revan tepat di depan bibir Juwita.

"Ish.. mata kamu tuh.." Juwita berdeham kecil, matanya bergerak gelisah. "Berhenti, Revan."

Lalu Juwita memilih beralih pada kerah kemeja Revan. Biasanya ia mampu menampik segala jenis pesona Revandio Pranadipa yang katanya dapat membuat seluruh karyawati di Prana corporation kejang-kejang tak berdaya. Sekalipun Revan tidak pernah membalas sapaan mereka. Hal itu juga yang membuatnya mengundurkan diri karena bosan menjadi bahan pergunjingan di kantor. Sekretaris Revan yang sebelumnya bernama Anneke, umurnya jauh di atas Revan. Sementara dia justru dua tahun di bawah Revan. Orang-orang sudah membicarakannya yang macam-macam. Mulai dari Juwita yang mengandalkan paras dan penampilan fisik sebagai cara untuk lolos seleksi. Sampai ia yang dituduh sebagai penghangat ranjang Revan karena insiden ciuman di pernikahan Lesmana Pranadipa.

Juwita yakin banyak tempat kerja di luar Prana corporation yang membuatnya nyaman. Sebab, pekerjaan yang langgeng itu pemicu utamanya tidak melulu gaji besar. Kenyamanan juga diutamakan.

Pandangan mereka kembali terkunci karena Juwita terkejut. Laki-laki itu mengarahkan lengan Juwita untuk memeluk tengkuknya. Posisi mereka sekarang jadi jauh lebih rapat. Sial, jantung Juwita pun bekerja tiga kali lebih keras. Sebab embusan napas laki-laki itu sedang mengelusi pipinya.

"Kamu boleh tinju hidung aku habis ini. Aku enggak akan mengelak," kata Revan.

Seharusnya Juwita menjauhkan wajah seperti perintah otaknya. Namun terjadi ketidaksinkronan pada otak dan hati, jadi ia mengangguk pelan. Layaknya waktu yang berhenti bergulir, dansa mereka berakhir kala bibir Revan menyentuh bibirnya. Ada rasa lain selain hangat dalam dada Juwita. Itu bukan jenis ciuman tanpa jeda yang membuat sesak napas. Entah jenis ciuman itu bisa diwariskan atau tidak, terdengar bodoh memang.

Akan tetapi cara Revan sama dengan cara Adriaan melakukannya pada Fleur.

Terserah apa yang perempuan itu pikirkan. Ini bukan kali pertamanya Revan mencium perempuan. Dan ia juga tidak mengerti kenapa hatinya berkata Juwita Kaluna memiliki perbedaan yang signifikan dengan wanita-wanita lain. Pun yang terjadi di sini penyebabnya adalah Revan dan nalurinya. Tanpa embel-embel dari deja vu sebagai Adriaan. Demi apapun, bibir Juwita sepertinya memang ditanam magnet sehingga Revan berani mengesampingkan segala resiko. Ia memiringkan kepala untuk memperdalam ciuman setelah Juwita memberinya respon.

If you love me wont you say something? Begitu kata lirik lagu Best Part yang terputar secara ulang.

"Gue enggak percaya kalian bisa ciuman selama itu tanpa status hubungan yang jelas." Lydia berdecak dramatis.

Seketika tautan bibir mereka terlepas.

"Lo sejak kapan di sana?!" tanya Juwita yang terkejut setengah mati, melihat Lydia duduk di sofa sambil bersedekap entah sejak kapan.

***

Cukup lama mereka berpandangan sampai akhirnya Juwita membuka suara. "Aku.. Resign bukan karena bosan di posisi sekretaris. Alasan sebenarnya.. Karena aku capek jadi bahan omongan orang."

Setelah tertangkap basah oleh Lydia, mereka memilih melarikan diri dari apartemen. Revan menepikan mobilnya yang sempat melaju tanpa tujuan supaya mereka bisa bicara. "Omongan yang bagaimana?"

"Iya, omongan miring dari orang-orang di kantor yang berpikir kalau aku bisa ada di posisi sekretaris karena fisik dan paras. Padahal aku nol besar dari segi kemampuan," jawab Juwita.

"Kamu tau siapa yang jadi biangnya?"

"Enggak, kenapa memangnya?"

"Mau kupecat."

Juwita menghela napas. "Mana bisa begitu. Kamu jangan sembarangan memecat orang. Aku baik-baik aja dengan resign dan kamu juga enggak perlu merasa terbebani. Itu kan yang membuat kamu menemuiku?"

"Bukan. Tadi aku sudah bilang kan? Aku kangen kamu."

Tawa renyah Juwita menggema. "Kamu enggak bisa seenaknya bicara hal semacam itu, Revan."

Ini sudah terlalu bertele-tele. Revan berdecak sebelum bertanya, "Kenapa aku enggak bisa?"

"Ya, kita enggak terikat hubungan apa-apa."

"Tapi tadi kamu mau aku cium."

Juwita berpikir keras untuk membantah hal yang sangat tidak mungkin dibantah. "Van, kita memang punya hubungan. Atasan dan bawahan, juga Kakek dan Nenek buyut yang dulu punya hubungan di masa kolonial. Tapi maksudku meski begitu kita-"

"Ya udah, aku sayang kamu, Juwita. Sekarang aku punya alasan kan?" potong Revan tidak sabaran.

Dua alis Juwita terangkat tinggi-tinggi. Lantas ia melambai-lambaikan tangan di depan wajah Revan. "Kamu lagi ngelindur ya? Adriaan?"

Revan menangkap tangan Juwita. "Aku sadar sepenuhnya, Juwita."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro