26. Een Ring (Sebuah Cincin)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Magenta hampir menghilang dihisap langit biru, ketika mobil yang Revan kendarai keluar dari jalan tol. Udara pagi di Bandung lumayan menggigit, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Revan melirik ke samping, perempuan itu masih tertidur lelap dalam balutan jaketnya. Ia beralih pada jalanan, lagi-lagi kaca mobil Revan beberapa kali ditutupi embun. Sesudah melaju sekian puluh meter, hamparan kebun teh menjadi pemandangan di kiri jalan. Hijaunya meneduhkan mata. Revan sengaja memilih perjalanan malam supaya Juwita bisa tidur dan menghindari kemacetan parah.

Revan menyingkirkan helai rambut di dahi Juwita. Gerakannya dibuat seperti kepakan sayap kupu-kupu. Begitu pelan, supaya lelap Juwita tidak terusik.

"Kita udah sampai di mana?" Suara serak khas bangun tidur terdengar, setelah Revan kembali fokus pada stir mobil.

"Kamu tidur lagi, nanti aku bangunkan kalau udah sampai di rest area," jawab Revan. "Ini masih terlalu pagi buat anak Papa yang semalam suntuk menemani ngobrol."

Terkadang Revan menjuluki Juwita sebagai anak Papa saat sedang bersenda gurau. Perbedaan umur mereka tidak terlalu signifikan. Namun, dalam segala arah Revan tentu jauh lebih dewasa dibanding Juwita. Pun, panggilan anak Papa digunakan supaya Juwita yang ketus jadi melunak.

Juwita meniup kasar helaian rambut di dahinya. "Kamu yang belum tidur sama sekali. Sini gantian aku yang pegang kemudi."

Sebelah tangan Revan terjulur mengacak puncak kepala Juwita. "Kamu tidur aja lagi-"

"Kamu enggak percaya banget kalau aku bisa bawa mobil.." rengek Juwita.

Mau tidak mau Revan beralih dari jalanan, bibir Juwita yang mengerucut menjadi sumber tawa kecilnya. "Iya, aku percaya. Kamu kan pembalap F1."

"Mulai deh.. bisa banget kalau mengejek," keluh Juwita.

"Mobil Papa yang pada penyok kan saksi bisu betapa handalnya kamu di jalanan." Revan meringis ketika cubitan Juwita mampir di perutnya.

"Itu cerita basi, karatan, lumutan! Namanya juga anak SMA baru pertama kali pegang mobil," seru Juwita yang berusaha membela diri mati-matian.

"Pantesan enggak lulus dapat SIM. Mobil itu dikendarai, Juwita, yang kamu pegang cukup janji suci aku."

Kali ini tawa Revan pecah karena Juwita memukulnya pelan dengan bantal mobil.

"Ta, aku lagi nyetir nih masa dipukul." Revan mengadu, pandangannya berganti menatap Juwita lalu jalanan di depannya.

"Biar tau rasa!"

"Tau rasa apa? Kalau rasanya dicium kamu kayaknya aku udah lupa.."

"Revan.." panggil Juwita sembari menggeram kecil.

"Yes, Sugar?"

"Ish, aku enggak mau dengar." Juwita memalingkan wajah, sementara tangan Revan menyentuh puncak kepalanya.

Mereka menyambangi kota Bandung karena Seno yang mengadakan pesta pertunangan di sana. Awalnya Juwita tidak ingin ikut, namun Revan memaksa. Katanya perjalanan sedekat apapun terasa membosankan jika Juwita tidak duduk di sampingnya. Omong-omong Revandio Pranadipa cukup halus dalam merayu. Keputusan Juwita menerima laki-laki itu adalah sebuah langkah besar. Ia hanya berharap déjà vu mereka tidak berdampak dahsyat terhadap keputusan yang mereka ambil. Seperti yang pernah Revan katakan ketika menemaninya di makam Papa, Revan memang selalu ada di samping Juwita tanpa perlu dicari.

Tidak ada salahnya bila mencoba kan? Kita tidak tahu jika garam rasanya asin tanpa pernah mencoba. Ataupun kopi yang terasa pahit jika diminum tanpa takaran gula. Kisah mereka tidak perlu semanis secangkir teh manis. Karena yang terlalu manis biasanya cepat habis. Cukup layaknya secangkir kopi, punya dua rasa berbeda namun menyatu. Tak terlalu manis, tak terlalu pahit. Proses pembuatannya memang tak semudah membuat secangkir teh, namun aroma dan rasanya tak pernah mengecewakan. Dan Juwita adalah orang yang sangat menghargai sebuah proses.

Itu alasan kenapa Juwita memilih perumpamaan secangkir kopi dalam hubungan mereka. Sekalipun perjalanan hubungan mereka terasa getir bahkan pahit, hasil dari prosesnya akan tetap terasa manis bagi Juwita. Dan sebesar apapun ombak menerjang atau badai menyapu, Juwita selalu berharap mereka masih memiliki pondasi yang akan mengembalikan semuanya tetap utuh.

"Masih pagi udah melamun." Wajah Revan muncul dari jendela di sampingnya. Setelah itu pintu mobil terbuka.

"Sebentar, Van. Duh.. kaki aku keram," keluh Juwita, ia memegangi sebelah kaki. "Kamu mau ngapain?" Juwita bertanya karena Revan berjongkok di depannya.

"Ya ampun, Nek.. baru juga perjalanan Jakarta-Bandung naik mobil, supirnya ganteng lagi. Masih aja kena keram," ujar Revan sembari melepas sepatu kets yang Juwita kenakan.

Juwita menyelipkan sejumput rambut, berusaha terlihat normal meski pipinya menghangat. Demi apapun, Revan versi romantis baginya tetap semanis kembang gula. Jangan menyalahkan Juwita yang dramatis, hati yang telah merasakannya secara otomatis. "Kalau mau bantu ya bantu aja, Mas. Enggak pakai ejekan berapa ya harganya?"

"Mahal lho, Mbak. Yakin sanggup bayar?"

"Pacar saya sahamnya banyak kok tinggal dirampok aja." Juwita mengedipkan sebelah mata.

Revan mengangguk lamat-lamat. "Sayangnya saya enggak terima bayaran pakai uang, Mbak. Kalau cuma saham saya juga punya. Bayarnya menemani saya pakai sisa hidup Mbak. Gimana?"

"Jadi Masnya modus bantu lepas sepatu sekaligus berlutut melamar gitu?" Juwita masih mengikuti alur candaan Revan. "Mana coba cincinnya?"

"Cincinnya menyusul ya, Mbak. Soalnya masih dipakai Saturnus."

Lantas dinginnya udara Bandung di pagi hari terkikis oleh hangatnya peluk dari sorot mata dan tawa kecil mereka berdua.

***

"Juwita, kamu tau ini?" Revan bertanya seraya menyodorkan sebuah kotak musik berwarna merah muda.

Juwita sempat terdiam setelah menerima kotak musik tersebut. Tentu ia tahu barang indah dalam genggamannya itu. Perlahan Juwita membukanya, memutar pelan tuas kecilnya hingga suara dentingan manis menyapa. Juwita pernah memiliki kotak musik ini saat menjadi Fleur Jansen dalam déjà vu. Rangkaian nada dari kotak musik ini seolah menyampaikan kisah singkat pemiliknya, Adriaan dan Fleur. Indah namun tersirat kepiluan mendalam.

"Kamu dapat ini dari mana?" Juwita bertanya kala berhasil menarik diri. Nostalgia lintas masa hampir saja menenggelamkannya.

"Aku beli di toko barang antik, enggak sengaja mampir sepulang dari Bogor sama Aldi."

"Kamu udah tau kotak musik ini ada di sana?" Juwita mengangkat kotak itu.
Revan menarik napas panjang. "Enggak tau, firasat aja."

Jauh di dalam paling hati, Revan lebih senang jika mengetahui kotak musik itu disimpan keturunan Fleur Jansen. Dibanding menemukannya terbengkalai bersama debu dalam lemari pajangan sebuah toko kuno. Malam yang semakin menua belum mampu membuat kantuk menguasai mereka berdua. Vila milik Revan berada di kawasan Lembang, Bandung. Ia sempat memberi banyak pilihan dan Juwita memilih vila ini sebagai tempat singgah sementara.

Juwita kembali menyodorkan kotak musik yang langsung ditahan tangan Revan. "Ini punya Adriaan."

"Kamu mau enggak menyimpannya?" Lalu Revan mengambil sebuah cincin yang terselip di sana. "Dan memakai ini?" tanya Revan.

"Kenapa memangnya?"

Juwita ingin tahu kenapa Revan memintanya menyimpan benda bersejarah ini. Oma tak menunjukkan barang ini sewaktu Juwita bertanya tentang Fleur Jansen, Oma hanya menceritakan kisah singkatnya saja. Oma juga tidak memberi tahu di mana makam nenek buyutnya itu, lalu Juwita menyudahi tanda tanya sampai di sana. Oma belum tahu tentang déjà vu yang Juwita alami. Meski sempat tertegun begitu lama ketika Juwita memperkenalkan Revan.

"Ya, masa aku yang simpan. Bisa jadi bahan ejekan Lydia sama Choky seumur hidup."

Juwita tertawa kecil. "Ya udah, aku simpan."

Di bawah cahaya rembulan yang mengintip dari celah tirai jendela, Revan menarik tangan Juwita pelan. Kemudian laki-laki itu menyematkan cincin di jari manis kanan Juwita pelan-pelan. Cincin yang Adriaan pesan untuk Fleur. Ukurannya cocok di jari Juwita, tampak begitu cantik. Juwita terus memandangi cincin itu seakan tidak percaya, bagaimana ukurannya bisa begitu cocok? Belum sepenuhnya menarik diri dari keterkejutan, Revan mengecup keningnya cukup lama.

Setelahnya, mereka sempat bertaut bersama hening sebelum Revan mengikis jarak di antara wajah mereka. Laki-laki itu memberi kecupan ringan di bibir Juwita. Tanpa menolak gejolak di dalam dada, Juwita secara sadar memeluk tengkuk laki-laki itu, padahal Revan hendak menjauhkan wajah. Pagutan lembut memabukkan itu berlanjut sampai posisi duduk Juwita berganti menjadi terbaring. Suara lenguhan Revan justru membuatnya menyelipkan jemari di sela-sela helaian rambut Revan.

Tak ada satu pun hal yang dapat mengalihkan mereka berdua. Bak aliran deras air sungai yang bermuara di satu tempat.

***

Juwita menggigit bibir, satu tangannya digunakan untuk meremas bagian sandaran sofa. Baru saja ia merasakan bibir Revan menyusuri setiap inci tubuhnya, atau waktu memang bergulir terlalu cepat? Kalau Oma tahu tentang ini, mungkin Juwita harus rela mendengarkan ceramah 24 jam non-stop. Terlebih lagi Lydia, wanita itu akan menari samba dengan kipas selama tiga hari. Karena teorinya mengenai make out menjadi kunci utama, nyata terwujud.
Suhu pendingin ruangan mendadak tidak berfungsi, Juwita kembali melenguh. Semua yang Revan lakukan secara bersamaan membuat syaraf otak melumpuh, sedang lainnya bekerja keras.

Revan melepaskan tautan di bibir mereka. "Ik hou van je, Fleur.."

Seketika itu juga mata Juwita terbuka lebar, ia melirik sekitar. Mereka masih berada di ruang tamu yang sama. Berarti laki-laki yang berada di atasnya sekarang adalah Revan kekasihnya kan? Bukan Adriaan, kekasih Fleur? Mereka sedang tidak menyelami rangkaian déjà vu kisah cinta dua orang itu kan?
Tapi kenapa...

Kata orang, di setiap penyatuan-seperti yang mereka lakukan sekarang, segala percakapan yang mengalir merupakan isi dari palung hati sekaligus alam bawah sadar. Juwita segera mengenyahkan pikiran aneh yang baru saja melintas. Sebelah tangan Juwita membelai kepala Revan, laki-laki itu membenamkan wajah di ceruk lehernya. Napas mereka kini sama-sama berembus lebih teratur.

"I love you, Revan.." bisik Juwita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro